Chereads / Ramalan Takdir / Chapter 34 - Rencana Membunuh Eiji

Chapter 34 - Rencana Membunuh Eiji

Tanganku gemetaran, tubuhku tak bisa berkata kata. Papa di depanku hanya bisa menghela napas melihat reaksiku.

"Kau sepertinya cukup terkejut, yah. Wajar sih kalau kau begitu terkejut," Papa berkata lirih, "tapi bagaimanapun, Riana. Ini juga demi kebaikanmu."

Mendengar ucapan Papa membuatku hanya bisa memasang raut muka tak percaya. Selimut tidur yang sekarang ada dipangkuanku kini kuremas kuat kuat, membuatnya kusut.

"Kau belum melihat masa depan lagi, bukan?" Papa berkata hangat, aku tersentak mendengar kata katanya. Lia dari tadi diam mendengarkan, ia tak berhak ikut campur dalam masalah ini.

"Itu karna buku masa depan memberikan keringanan untukmu. Tapi sebagai gantinya, kau harus mengemban tugas lain."

"Biarkan aku melihat masa depan saja. Tapi tolong jangan memintaku membunuh Eiji," gumamku. Papa mengelus kepalaku, ia nampaknya tahu kekhawatiranku.

"Tapi kalau begitu kau yang akan hancur," kata Lia terang terangan. Aku menoleh padanya. Apa katanya?

"Dilihat dari muka bingungmu, kau pasti belum mendengar ramalan tantang nasibmu dan Eiji kan?" tebak Lia, aku menggangguk tak mengerti.

"Kau maupun Eiji, kalian berdua harus saling menghancurkan. Kalian harus menghancurkan salah satu agar kalian bisa tetap hidup, Pelindung Hutan Serly mengatakannya padaku," Lia menatapku simpatik. Meski begitu ia tak benar benar sedih. Ia mungkin berpikir kalau tak apa bagiku membunuh Eiji. Itu karna baik Papa dan juga Lia tak tahu seberapa berharga Eiji bagiku. Mereka mungkin menganggapnya sebagai teman yang hanya datang sesaat dan kini pergi tak tahu rimbanya.

Aku menahan napas. Dadaku rasanya sesak, kepalaku juga berputar putar tak jelas. Oksigen di sekitarku menipis dan dengan cepat aku sesak napas.

"Sayang, tenangkan dirimu dulu," Papa kasihan melihatku yang terlalu syok sampai tak bisa bernapas. Ia mengurut punggungku, berharap aku mengambil napas dengan baik.

"Eiji sebenarnya bukan pria baik," Papa memberi tahuku. Tapi sayangnya aku sudah tahu, aku sudah tahu itu.

Mana ada orang yang masuk ke kamar seorang gadis dan berniat membunuhnya di juluki pria baik. Eiji itu hanya orang menjengkelkan. Tapi walau ia punya sifat menjengkelkan, ia tetap tak boleh dibunuh begitu saja.

"Kau pasti akan berpikir kalau ia hanya sedikit menjengkelkan, bukan? Nyatanya bukan seperti itu, Riana. Jangan mempertaruhkan nyawamu hanya karna kau pikir dia takkan tega melukaimu," Lia mengatakan apa yang kupikirkan. Ia pasti bisa membaca pikiran lewat gerak gerikku.

"Tapi aku jelas takkan bisa membunuhnya, aku tak punya kekuatan," aku mencari alasan. Lia mengerutkan kening, ia pasti berpikiran sama denganku. Tapi kini berbeda dengan Papa.

"Alu akan mengajarimu tentang sihir dan berbagai kekuatan lainnya. Kau pasti bisa melampuinya," Papa mengatakan hal yang nampak mustahil. Aku semakin gemetaran, ini semakin tak baik...

"Ta-tapi..." ucapku tergagap. Semua alasan sudah hilang, sepertinya aku sudah tak bisa lagi menyangkal.

"Riana, bukankah kau ingin hidup?" tanya Papa pada akhirnya. Aku tersentak kaget, kenapa Papa membahasnya disaat saat seperti ini?

"Kalau kau ingin hidup, kau harus melakukannya. Ini adalah nyawa pemberian Ibumu dan saudarimu, apa kau akan membuangnya?" tanya Papa. Tenggorokanku tercekat, aku tak bisa bernapas saat mendengar kata katanya.

"Hanya satu pilihanmu, Sayang. Kau tak bisa menolaknya. Kau takkan bisa menolak ramalan itu," seolah peduli padaku, Papa memelukku. Ia mungkin sedang berusaha menguatkanku.

Kurasakan kehangatan pada tubuh Papa. Dia hangat, dia masih hidup. Apakah Eiji juga hangat? Jika aku membunuhnya, tubuhnya pasti akan mendingin, aku takut itu.

Tapi kalau bukan aku, bisa saja dia membunuhku. Apakah dia tak merasakan apapun saat membunuhku?