Papa berduduk sambil menghabiskan martabak coklatnya dengan cepat. Begitu juga dengan Lia, dia juga ikut lomba makan cepat melawan Papa untuk menghabiskan martabak. Aku tak tahu kalau mereka sangat menyukai martabak coklat.
"Jadi Papa, ada kabar bahagia apa?" tanyaku saat keduanya sudah menghabiskan satu kotak martabak manis coklat hanya dalam satu menit.
"Ah, itu..." Papa mengelapkan coklat yang menempel pada jari jari tangan pada tisu lantas langsung membuang tisu kotornya. Ia tersenyum misterius saat mendapat pertanyaan dariku.
"Kamu akan menjalani operasi pemasangan bola mata," dia berkata ceria, seolah itu memang benar benar kabar bahagia untukku.
Tanpa sadar aku menyentuh mata kiriku. Saat ini aku menutupinya dengan penutup mata hitam agar tak terlalu terlihat.
"Aku sudah menemukan pendoronor mata yang sesuai denganmu. Dan lagi, mata ini bukan mata biasa. Ini adalah Mata Permata." begitu Papa mengatakan hal itu, aku langsung menelan ludah ketakutan. Tanganku seketika gemetar tak terkendali.
"Mata Permata?! Dari mana kau mendapatkan mata langka seperti itu?!" Lia berteriak tak menyangka. Dia menatap Papa dengan tatapan curiga.
"Ada deh..." tapi Papa memilih menyimpan rahasia dan tak mengatakannya.
"Riana, kau mendengarnya kan?! Kau mendapat Mata Permata!! Itu Mata yang sangat langka bahkan diluasnya dunia ini," Lia tentu saja senang mendengarnya. Ia sangat antusias.
Sekejap ia melupakan kekesalannya padaku. "Kau bisa melihat dengan jelas ketika kau menggunakan mata itu!!"
Tapi kata kata Lia langsung melirih saat melihat diriku yang gemetar ketakutan. Aku memeluk diriku sendiri, menutupinya dengan selimut karna mengingat kejadian yang sangat mengoncang mentalku.
"Pa .... Pa...." kataku gagap. Tapi sepertinya Papa sudah menyadari reaksiku. Ia sengaja mengatakannya padaku. "Jangan katakan padaku kalau itu adalah Mata Permata milik Ibu."
Hening menggantung. Papa sama sekali tak berkata apapun. Lia kehilangan kata kata. Ia tak lagi seantusias tadi. Bagaimanapun, Lia tahu kalau Ibu adalah trauma besar bagiku.
"Tak mau... Aku tak mau itu..." gumamku lirih. Air mata langsung menggenang dimataku. Ibu dan Mana mati karna menyelamatkanku, aku tak mau membebani mereka lagi. Tapi tampaknya pemikiranku sama sekali tak sejalan dengan pemikiran Papa.
"Tapi itu adalah wasiat dari Ibumu," mendengar hal itu tubuhku langsung tersentak. Aku tak menyangka Papa akan kembali mengingatkanku dengan hari hujan itu.
Bibirku gemetaran saat ingin mengatakan satu lagi alasan penyangkalan. Pengelihatan hari itu kembali melintas dipikiranku, seolah aku mengalami hal itu satu kali lagi.
"Tak mau... Aku tak mau..." cicitan keluar dari mulutku. Aku memegangi kepala kesakitan, ingatan ingatan itu terus membanjiri kepalaku, membuat kepalaku sakit seolah olah sebentar lagi akan meledak.
"Tapi, Sayang. Kau harus menerimanya. Dengan mata itu kau pasti bisa melindungi dirimu sendiri lebih lagi. Ini juga wasiat Ibumu, Ibumu pasti akan sangat sedih kalau kau mengabaikan wasiatnya, kan?" Papa memberikan pertanyaan yang sama sekali tak bisa kujawab. Aku diam, menangis sesegukkan.
Melihatku menangis sedih begini, Lia pun mengambil tindakan. Ia memelukku yang masih duduk diranjang rumah sakit.
"Aku tahu ini berat," dia mengelus punggungku. "Tapi Papamu juga benar, ini demi kebaikanmu. Bukankah kau tak mau pergi ke dunia lain dengan sebelah pengelihatan? Itu bisa menjadi masalah gawat kalau kau bertemu musuh yang hendak menyerangmu. Jarak pandangmu jelas sudah berkurang, tapi jika kau menggunakan mata yang diberikan Ibumu, kau akan mendapat kebalikannya." kata kata Lia benar. Tapi otakku sama sekali tak bisa menerimanya. Tidak, untuk menggunakan mata dari Ibu itu terlalu....
Tapi kemudian Papa tanpa perasaan mengatakan fakta dan alasan sebenarnya ia ingin aku memakai mata Ibuku.
"Sayang, kau tak bermaksud memberatkan kami semua, bukan?" tanyanya padaku. Aku tersentak, memberatkan? Apa aku memberatkan mereka semua?
"Coba pikirkan seperti ini saja, Sayang. Andai kau menolak dan membiarkan begitu saja mata Ibumu, maka jarak jangkauan matamu pasti berkurang jauh, kan? Dan andai saja kalau kau saat itu diserang musuh dan dalam keadaan terdesak, apa yang akan kau lakukan? Tentu jawabannya tidak ada karna kau sama sekali tak bisa melihat dengan jelas musuhmu dan kau juga punya titik buta dari arah kiri. Tak apa jika kau diserang sendiri, tapi bagaimana kalau kau sedang diserang bersama temanmu? Sama seperti kejadian Ibumu, bagaimana kalau orang yang lain itu berusaha melindungimu dengan mengorbankan nyawanya. Dan akhir dari pertarungan itu adalah orang lain itu tewas saat melindungimu karna kau tak punya jangkauan luas dalam memandang dan itu membuatmu tak bisa berbuat apa apa. Jika saja saat itu kau punya Mata Permata, kejadian itu takkan terjadi. Jika kau punya mata pemberian Ibumu, kau bisa menghadapi lawan itu. Dengan kata lain, dia mati karna kau tak menerima mata dari Ibumu. Dia mati karna kenaifanmu," aku tahu Papa bukan orang yang benar benar baik hanya dengan mendengar kisah yang keluar dari mulutnya. Aku tergagap, tak bisa berbicara apa apa. Teganya Papa mengatakan hal itu pada anak yang kehilangan Ibunya ditangannya.
"Hei, kau sudah terlalu berlebihan," Lia berkata marah. Tapi respon Papa hanya mengangkat bahunya, seolah yang ia lakukan adalah hal biasa. Lia mendecakkan lidahnya sebal.
"Bagimana, Sayang..." "Kau, cukup!" bentak Lia marah.
Aku menenangkan diri, setelah tenang beberapa saat, aku akhirnya bisa melepaskan diri dari pelukan Lia.
Papa benar. Aku tak boleh selemah dan senaif ini. Ini bukan hanya tentang diriku sendiri, tapi ini juga demi keselamatan orang orang yang mungkin kedepannya akan kutemui. Tapi aku masih saja penasaran akan satu hal...
"Papa, Lia, apakah jika aku berada dalam bahaya, kalian akan mengorbankan diri kalian demi menyelamatkanku?" tanyaku lirih. Lia dan Papa terdiam mendengar perkataanku.
"Aku tak tahu," jawaban sedih Lia bukannya membuatku terluka, tapi membuatku sedikit merasa lega. Jika saja... Jika saja Lia mati karna diriku, aku tak yakin bisa hidup dengan percaya diri. Cukup dengan Mana dan Ibu, aku tak mau membuat korban lagi.
"Iya." tiba tiba Papa mengatakan jawaban yang sangat mengejutkanku. Papa menatapku dengan mata yakinnya. "Karna Riana adalah putriku, aku takkan membiarkannya mati," ucap Papa dengan penuh percaya diri.
Aku menelan ludah susah payah. Aku sudah mendapat jawabannya.
"Baiklah, aku akan menggunakan mata Ibuku." kataku memutuskan, Papa tersenyum, ia seolah sudah menduga ini akan terjadi. Sedangkan Lia, dia sudah lompat lompat kegirangan.
"Sungguh, Riana? Kau akan melakukannya?" Lia berkata sambil memasang raut muka senang. Padahal Lia yang kukenal bersifat dingin, tapi kenapa dia malah menjadi ceria begini?
Ehem... Begitu sadar aku menatapnya dengan raut muka bingung, Lia berdehem dan memalingkan mukanya malu.
"Kalau begitu aku saja yang mengoprasinya. Aku bisa mengoprasi mata. Dan lebih ini adalah Mata Permata, aku tahu banyak tentang mata jenis ini." gumam Lia pelan. Papa mengangguk setuju, ia akan menyerahkan semuanya pada Lia.
Aku menghela napas, memikirkan kembali perkataanku. Ibu, keputusanku sudah benar, kan? Ini yang kau harapkankan?