Tapi luka yang basah saat bertemu air hujan akan semakin perih. Itu juga yang kurasakan saat hujan turun membungkus diriku dan Ibu dalam selimut yang dingin.
Tes... Tes... Tes...
Rintikannya mengenai rambutku, rintikannya dengan cepat membuatku basah. Tanah juga dengan cepat menjadi becek. Tapi aku tak peduli akan hal itu semua. Masih saja kudekap tubuh Ibu agar tak kedinginan. Masih saja diriku tak bergerak walau sesenti untuk melarikan diri dan meninggalkan ibu sendiri.
Tidak, bukan seperti ini. Seharusnya akhirnya bukan seperti ini. Kenapa? Kenapa malah menjadi seperti ini?
Tanganku bergetar hebat, air mata mengalir tersamarkan air hujan. Aku menangis. Aku menangis sambil memeluk tubuh Ibu.
Tapi ditengah hujan itu, kudengar suara langkah kaki yang menapak dengan cepat. Aku tak peduli lagi apakah itu musuh atau orang orang yang bersiap menangkapku, aku tak ingin beranjak, ingin berada disini memeluk ibu saja.
"Kakak! Ternyata Kakak disini! Aku mencarimu kemanapun tapi tak ketemu. Katanya Mama akan mengeluarkanmu, Mama hebat juga bisa mengeluarkanmu dari benteng sulit ditembus itu. Kenapa kau malah masih berdiam disini, ayo cepat kabur" suara itu hinggap ditelingaku. Agak keras, mencoba mengalahkan suara hujan yang menempa.
Aku mengangkat wajahku yang sayu kearah suara. Siapa? Bahkan suaranya kini kulupakan. Sedangkan wajahnya? Mata kananku sudah tak bisa melihat dengan jelas ditambah rintikan hujan deras yang menghalangi pemandangan.
"Ma... Na.." entah kenapa nama itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku tak melihat mukanya dengan baik, tapi entah kenapa aku tahu kalau itu adalah Mana, adikku.
"Iya ini aku, dari tadi aku mencarimu!!" ucapnya kesal.
"Ngomong ngomong dimana Mama, Kak?" tanyanya padaku. Aku yang mendengar hal itu lagi lagi hanya bisa meneteskan air mata, tak bisa lagi berkata kata.
"Ya ampun, Mama!! Apa yang terjadi..." seruannya terputus begitu melihat panah lancip yang menembus dada Mamanya. Dia kehilangan kata kata. Wajahnya berubah menjadi pucat. Air hujan berusaha menenangkan emosinya.
"Mana, aku..." belum sempat menjelaskan, Mana menutup mulutku, menyuruhku segera diam.
Dari kejauhan kudengar suara kaki kaki yang berlari dalam tanah becek. Aku menelan ludah saat melihat ekspresi serius adikku.
"Kita harus cepat pergi dari sini. Ayo kak, kita harus pulang kerumah," kata Mana berusaha tegar. Aku menatapnya tak percaya.
"Tapi Ibu? Kita tak bisa meninggalkannya begitu saja disini?!" kataku marah pada sikapnya. Dia memandangku dengan raut muka penuh penyesalan.
"Tinggalkan Mama..."
"Tidak" jawabku tegas.
"Tinggalkan dia...
"Sampai kapanpun jawabanku tidak!!" bentakku marah. Aku tak bisa meninggalkan Ibu disini, bahkan memikirkannya saja aku tak mau.
"Sudah ikuti aku!!" Mana tak menerima penolakan. Dia menarik paksa tubuhku, memisahkannya dengan Ibu. Tubuhku yang lemah dan penuh luka ditarik dan dibawa berlari oleh Mana. Mana diam, dia mencengkram pergelangan tanganku erat, tak mau melepaskan.
"Mana, Ibu... Mana... Tolong Ibu..." tangisku sambil berlari ditarik olehnya. Tak kupedulikan semua rasa perih yang menggeroyoki tubuhku, yang kupedulikan sekarang adalah Ibu.
"Tinggalkan dia, Kak. Kita tak bisa melarikan diri sambil menggendongnya" katanya dingin. Wajahnya tak terlihat membuat kata katanya terdengar semakin kejam. Dia terus membawaku berlari, meninggalkan Ibu tergeletak sendiri.
"Mana!! Bukankah dia adalah Mamamu?! Kau harus membantunya" bentakku marah pada sikap acuh tak acuhnya. Tapi dia sama sekali tak menjawab. Seolah itu bukan urusannya.
Tapi getaran ditangannya kini menjadi sinyal nyata bagiku. Kata kata yang kuucapkan salah. Walaupun Mana tak menunjukannya, mungkin dia sedang menangis didalam.
Karena bagaimanapun, Manalah yang lebih dekat dengan Ibu dibandingkan diriku. Dirinyalah yang selalu berlari memeluknya dan bercerita serta bercanda ria. Sekarang dibandingkan diriku, Manalah yang seharusnya paling sedih.
"Mana, kenapa kau menyelamatkan diriku? Bukankah kau tak peduli padaku? Bukankah kau juga jadi mengacuhkanku?" kataku padanya dengan suara lirih. Apa pada akhirnya aku juga takkan mendapatkan jawabannya? Ibu juga tak sempat mengatakannya.
Kuusap kembali air mataku. Setiap teringat ibu, aku selalu meneteskan air mata.
Mana yang berlari didepanku kini berhenti. Kami sudah cukup jauh hingga kami takkan bisa kembali ketempat ibu berada lagi. Musuh juga mungkin sudah menyerah mengejar kami yang tak tentu rimbanya.
"Kakak bodoh!! Kakak tidak peka!! Kakak jahat!!" teriaknya berbalik. Dia memukul dadaku dengan tangan lemas dan gemetarannya. Dilihat dari balik punggungnya dia memang baik baik saja, tapi begitu melihat air mata menggenang diwajahnya, aku tak tahu harus berkata apa lagi.
"Kakak egois!! Kakak tak pengertian!!" ucapnya lagi. Pukulan tak berartinya memberi tanda bahwa ia juga menyerah. Menyerah pada kesedihan yang sedang memporak porandakan hatinya.
"Bagaimana bisa aku punya kakak bodoh sepertimu?!" akhirnya air matanya keluar, pukulan tak berartinya kini berhenti. Ia menunduk sambil menahan isak tangis.
"Kakak benar benar bodoh, tidak peka, tidak berhati nurani. Kakak adalah orang paling egois sedunia. Bagaimana bisa kakak menanggung semua penderitaan itu sendirian, bagaimana bisa kau menggantikanku?! Memangnya aku pernah memintamu menggantikanku?!" teriaknya marah. Tapi air mata kembali mengalir ketika dia melihat robekan baju ibu yang terpasang rapi di mataku.
"Lihatlah apa yang terjadi, kakak seharusnya membagi beban kakak padaku. Aku benar benar kesal! Kakak seharusnya membagi beban kakak padaku. Jangan menanggungnya sendiri, bukankah kita masih keluarga?" tanyanya sambil menyentuh pelan luka mata kiriku. Air matanya mengalir tertutupi derasnya hujan. Tapi ekspresi sedih dan menderita milik Mana, mungkin hujan takkan bisa menutupinya.
"Ini gara gara aku tak bisa melindungi kakak, ini gara gara aku tak punya kekuatan" ungkapnya pelan. Aku tak kuasa menahan tangis. Lelucon macam apa ini?!
Ibuku sangat menyayangiku, bahkan dia mati demi melindungi diriku. Tapi bahkan sampai sesaat sebelum kematiannya, aku masih tak percaya pada cintanya, aku menganggapnya sandiwara belaka. Dan sekarang, Mana yang selama ini bersikap dingin padaku selama setahun bilang padaku kalau dia marah karena aku mengambil buku masa depan, lambang keputus asaan darinya dengan mata yang penuh dengan air mata. Bukankah ini cukup lucu bahkan untuk ditertawakan?
"Maaf, Kakak karena selama ini aku merepotkanmu. Maaf juga kakak karena selama ini aku tak memahami perasaanmu. Pasti sangat sakitkan, memikul semuanya sendiri. Maafkan aku kak karena menjadi adik tak berguna yang sama sekali tak bisa membantumu. Maafkan aku karena merebut kasih sayang Papa dan Mama darimu" Mana menangis sesengukkan. Dia gemetar hebat. Kesedihan akibat kehilangan Mama pasti sangat menggoncang batinnya. Tanpa sadar aku mengulurkan tanganku, mencoba memeluknya.
Tak ada kebencian yang tersisa, karena sedari awal aku juga tak membenci Mana. Dialah gadis yang memberiku segala cinta, menggantikan Ayah dan Ibu. Karena itu aku tak bisa membencinya. Karena dia adalah satu satunya orang yang kutahu tulus mencintaiku.