Tapi sejak awal, kedamaian yang aku inginkan bukanlah milikku. Rasa sayang ini langsung hancur dihancurkan oleh suara dari hutan belantara disekitar. Lalu terdengarlah suara laki laki yang sudah sangat kubenci itu.
"Wah.... Lihatlah, ternyata kau punya orang orang yang membantumu melarikan diri dariku yah..." suara laki laki itu menbuat tubuhku merinding. Tanpa sadar tubuhku gemetaran, tubuhku dengan tanpa sadar ketakutan. Ketakutan yang sudah mendarah daging akibat luka cambukan dan darah yang mengalir setiap harinya.
Mana dengan sigap menarikku kebelakang, dia dengan sengaja memasang tubuhnya didepan, menjadikannya menjadi tameng hidup.
"Apa lagi yang kau inginkan?!" bentak Mana marah. Hanya karena hujan, itu tak berarti hujan bisa menyembunyikan segala amarah Mana. "Padahal kau sudah memiliki bukunya. Memangnya apa yang kau dapatkan lagi dari Kakak?!"
Mendengar hal itu, pria itu mangut mangut mengerti. Akhirnya dia mengerti siapa gadis pemberani yang mau melindungiku saat ini. "Oh, jadi kau adiknya yah..."
Dengan senyum yang terlihat punya maksud buruk, dia mengatakan perkataan selanjutanya. "Kau sepertinya sangat menyayangi adikmu yah... Hingga dia rela berkorban demi menyelamatkanmu"
Aku merinding, merasakan hawa terancam. Dia, dia pasti merencakan sesuatu yang buruk pada Mana. Kita harus lari, tak seharusnya kita menghadapi laki laki ini dengan kondisi babak belur begini.
"Mana, ayo cepat lari!!!" seruku sambil menarik tangannya dengan keras. Tapi yang dituju hanya berdiri diam, masih memasang badannya dihadapanku.
"Mana, apa yang kau lakukan?! Cepat lari!" teriakku pada dirinya yang sepertinya sudah mendengar perkataanku.
"Tu-tubuhku tak bisa bergerak," katanya tergagap. Aku mengerutkan kening tak mengerti, apa dia bercanda disaat saat seperti ini?
Tapi sepertinya Mana sama sekali tak bercanda. Dia tak bergerak seberapa keras aku mencoba menariknya untuk melarikan diri.
"Percuma saja. Sekarang tubuh kalian berada dibawah kendaliku. Kalian takkan bisa lepas dariku" kata pria itu disertai tawa yang membelah suara hujan. Aku meneteskan keringat dingin, bagaimana ini?
Tubuhku tiba tiba menjadi kaku. Bahkan untuk menggerakkan ujung jariku, aku sudah tak bisa lagi. Mana membalikkan badannya kaku, dia terkejut mendapati aku dalam kondisi yang sama dengannya.
Pria itu tersenyum senang. Pertunjukan teater kecil sebentar lagi akan dimulai baginya. Melihat dua saudara yang saling mencintai membuatnya terpikir ide gila lainnya.
"Jika kau ingin benar benar lepas dari kemampuanku, ambil ini," dia berjalan mendekat dan menyodorkan sebuah pisau belati. Aku menatapnya tak mengerti, apa yang harus kulakukan dengan benda itu?
"Bunuh adikmu, maka kau akan terlepas dengan sendirinya. Atau dia bisa membunuhmu. Pokoknya antara kalian berdua, satu harus mati. Dengan begitu yang satu akan bebas," katanya sambil tersenyum senang. Aku kehilangan kata kata, tak bisa lagi menjawabnya.
"Ini adalah kebaikan hatiku padamu yang telah menanggung berbagai siksaan. Tidakkah kau tak merasa kesal, mempunyai adik yang tak tahu apa apa tentangmu. Bukankah kau juga ingin membunuhnya? Aku beri kesempatan awal padamu, dia takkan bisa bergerak jadi kau bisa puas menusuknya" katanya sambil menyerahkan pisau ketanganku yang terulur begitu saja. Bisikan panas ditelingaku tak lebih layaknya bisikan setan. Tapi yang paling mengenaskan dari itu adalah tubuhku maju mengikuti perkataannya. Seolah dia sengaja mengendalikan tubuhku untuk membunuh Mana.
Aku sama sekali tak menginginkannya. Aku sama sekali tak mengharapkan ini. Untuk hidup diatas darah Ibu dan saudara perempuan, aku takkan bisa menghadapi kenyataan itu. Cukup Ibu saja, cukup Ibu saja yang berkorban demi diriku.
Tanganku bergetar hebat. Pupil mataku menciut. Tapi tetap saja, tangan dan kakiku bukan berada dibawah kehendakku. Mereka tetap saja maju, menuruti perintah lelaki itu.
Mana dihadapanku menatapku tak percaya, tubuhnya gemetar ketakutan. Dia pasti takkan percaya kalau akhir hidupnya kali ini akan berada ditangan kakaknya yang dicintainya. Apalagi kakaknya itu melakukannya dengan air mata berlinang, seolah juga tak mau melakukannya.
Jarak semakin dekat. Antara aku dan Mana, kini tak ada lagi ruang yang memisahkan. Pisau itu belum munusuk dada Mana, tapi itu hanya soal waktu sampai kejadian itu terjadi tepat dihadapanku.
Otak, ayolah berpikir cepat. Ini akan berakhir seperti ini. Jika berakhir, bagaimana aku akan hidup dengan membawa dosa telah membunuh saudara sendiri.
Salah satu diantara kita harus mati demi membebaskan yang lain. Tak peduli aku atau Mana, yang penting satu harus mati.
Terbesit ide gila dibenakku. Ayolah tangan, kau bisa lepas dari kendalinya walau hanya sekejap bukan?!
"SAMPAI AKU MATI, AKU TAKKAN MEMBUNUH SAUDARAKU SENDIRI?! LEBIH BAIK AKU YANG MATI DARI PADA MELAKUKAN HAL ITU?!"
Teriakku kencang, tekad membulat di dadaku. Tangan yang tadinya berada didalam kendalinya kini terbebas, lepas begitu saja keudara.
Pisau itu terangkat. Yang tadinya teracung kedepan kini langsung berbalik arah kebelakang. Pisau itu dengan sekuat tenaga menghujam diriku.
Air mata mengalir, aku benar benar berharap aku bisa tetap hidup. Tapi demi keselamatan Mana, apapun akan kulakukan.
Jleb.... Terdengar suara tusukan yang memilukan telinga.
Darah mengalir dari luka yang tembus langsung kejantung. Darah juga mengalir dari mulut, akibat reaksi tusukan yang ada didada.
"Kakak.... Cepatlah pergi Kak," kata Mana terbata bata sambil memegang pisau belati yang menancap tepat didadanya. Napasnya dengan cepat menjadi memburu, darah keluar setiap kali ia hendak mengeluarkan kata kata.
"Bohong.... Ini tak mungkin terjadi..." ucapku dengan muka tak percaya. Darah Mana yang terciprat ditanganku masih terasa hangat. Aku manahan napas saat melihat punggungnya.
Saat aku hendak menusukkan diriku sendiri, Mana bergerak cepat. Mungkin dia tak yakin bisa menghentikan laju pisau dengan tangannya yang gemetaran, jadi dia berteleportasi dan muncul tiba tiba diantara aku dan pisau yang sedang berayun. Tanpa sempat melakukan apapun, pisau langsung menusuk tepat diarah dada dirinya.
"TIDAK!!!!!" jeritku saat melihat tubuhnya limbung dan jatuh ketanah. Pria yang melihat kejadian tak terduga itu tertawa terbahak bahak. Ini semakin lucu untuknya.
"Mana, tidak Mana. Jangan lagi... Kumohon..." ratapku sambil memeluk tubuh adikku yang dengan cepat memucat. Baru saja tadi Ibuku, sekarang tinggal adikku.
A-aku tergagap dengan kenyataan akulah yang membunuhnya. Rasa sakit dalam dada yang tadinya kutahan kini meluap tanpa ada yang bisa menghentikan. Apa apaan ini?! Kenapa harus begini?!
"Kakak, jangan merasa bersalah" dia berkata pelan nan lemah. Aku terkejut melihatnya.
"Tenang Mana, apapun yang terjadi aku akan menyelamatkanmu" isak tangis tertahankan. Air mata mengalir dari mata kananku, sedangkan air mata darah mengalir dari mata kiriku.
"Kak, kau tidak membunuhku, akulah yang membunuh diriku sendiri" kata kata itu menghentikan napasku sejenak. Tidak, itu salahku... Sungguh itu salahku.
"Dalam kondisi apapun kau harus hidup, bukankah itu yang dikatakan Mama?"dia mengelus pelan pipiku, lalu kembali kemata kiriku. "Jadi apapun alasannya, kau harus hidup. Bahkan jika harus mengorbankan hidup adikmu ini. Karena itulah janjimu pada Mama. Kau harus melaksanakan wasiatnya," air mata menggenang dalam pelupuk matanya. Aku tak sanggup, aku tak sanggup lagi melihat keadaan ini.
"Tidak, Mana. Jangan mengatakan hal kejam seperti itu" bentakku padanya. Rasanya ada gunungan emosi yang sedang meletus dan meluap bersama dengan derasnya air mata. Bahkan hujan tak lagi bisa menyembunyikan air mataku yang mengalir deras.
"Ingatlah Kakak, aku sungguh menyayangimu, sangat sangat menyayangimu" kata kata itu keluar dari muluutnya yang mulai membiru. Ratapan, itulah kata Mana yang keluar dari mulutnya. "Jadi kakak harus bertahan hidup apapun yang terjadi. Kakak harus kuat menghadapi semua cobaan. Jangan pernah mengeluh pada takdir"
"Ini adalah perintah dariku, tetaplah hidup Kakak....." tapi pada akhirnya, waktunya sudah tiba. A-aku kehilangan kata kata. Tunggu Mana, jangan mengatakan wasiat mustahil untukku. Ba-bagaimana bisa aku hidup tanpa penyesalan setelah semuanya pergi meninggalkanku. Bagaimana bisa aku bertahan tanpa kalian disisiku.
Tapi bahkan pertanyaan yang belum sempat mendapat jawabannya kini sudah tak bisa didapatkan lagi jawabannya. Karena orang orang yang punya jawabannya kini telah pergi selamanya, meninggalkanku sendiri.
Tangan Mana yang memegang pelan luka dimataku kini jatuh lemas ketanah. Aku menatapnya tak percaya. Kenapa semuanya berakhir seperti ini?
"TIDAKKKK!!!!!"
Jeritan putus asa itu menggema diseluruh hutan. Kenyataan pahit yang baru saja kuterima begitu mengaduk adul isi hatiku, membuatku kehilangan kendali atas emosiku
Dan yang keluar pada akhirnya hanya air mata dan suara putus asa itu. Semuanya berakhir disini....