Aku gemetaran. Membayangkan orang orang berjubah hitam itu kembali menangkapku membuatku merinding. Ditengah hutan dengan pohon yang agak senggang, pedang pedang putih berkilauan itu memancarkan kilatan putih yang mengerikan.
Ini adalah sekelompok orang. Sedangkan kami hanya berdua, itupun aku tak bisa bertarung karena terluka. Dan memangnya ibu bisa bertarung?
Dan sepertinya aku terlalu meremehkan ibuku. Buktinya ketika pedang menghunus ingin menikam dirinya, dia dengan mudahnya membalikkan pedang itu hanya dengan belati yang ditangannya.
"Riana, cepat lari nak! Kau harus selamat! Jangan khawatirkan Ibu!" teriaknya ditengah kepungan orang berjubah hitam. Dia mengambil semua musuh, menyuruhku kabur secepatnya.
Aku mengangguk mengerti. Walau hati ini rasanya lara meninggalkan ibu seorang diri seperti ini, tapi apalah daya, aku tak bisa terus jadi beban dirinya.
Bagaimana ibu bisa sampai disini? Kenapa dia pandai bertarung dan bisa bisanya dia menyamar menjadi pembantu? Itulah yang ingin kutanyakan nanti sepulangnya kerumah. Untuk alasan kenapa sikap ibu berubah, biarkan saja, mungkin itu hanya sementara, hanya aktingnya menjadi pembantu yang merasa kasihan. Dengan pemikiran seperti itu, aku mencoba kabur dan meninggalkan ibu sendiri.
Tapi waktu nanti, itu sudah tak ada lagi. Karena.....
"Riana, awass!!!!" seru Ibu panik ditengah para mayat berjubah hitam yang berhasil Ibu kalahkan . Aku menoleh kebelakang. Anak panah melaju cepat. Sial, sebelum aku sempat menghindar, anak panah itu pasti mengenaiku terlebih dahulu!
Dari awal targetnya adalah aku, jadi selagi ada orang yang menyibukkan ibu, ada juga yang bertugas memburuku. Dan sekarang orang itu melepaskan anak panah kearahku, ia tak peduli apakah panah itu melukaiku atau bahkan membunuhku.
Tepat sebelum panah itu menancap didadaku, Ibu menggunakan kemampuan yang selama ini ia sembunyikan.
Dia berteleportasi cepat. Muncul tepat diantara aku dan anak panah itu. Anak panah itu tetap melaju cepat.
Jleb....
Darah mengalir dari anak panah yang tertancap didada. Tanganku gemetaran, wajahku dengan cepat berubah menjadi pucat.
"Jangan lukai putriku" kata Ibu pelan sambil menunjukan tangannya yang masih terulur. Pisau belati yang seharusnya berada ditangannya kini menancap tepat didahi orang yang menargetkan diriku, membuatnya tewas seketika.
"I-ini bohongkan" kataku tergagap sambil mendekati Ibu yang kasih berdiri tegak. Mungkin ia masih waspada, mungkin dia juga ingin mengusir lagi orang yang menargetkanku.
"Ibu!!!" teriakku begitu tubuhnya melorot ketanah. Mulutnya memuntahkan darah, membuat cipratannya mengenai bajuku. Aku yang melihat itu tambah gemetar ketakutan.
"I-ibu.... Ini bohongkan...." kataku parau dengan air mata yang menumpuk dipelupuk mata. Tubuh ibu langsung berubah menjadi lemas, ia berseder didadaku.
Ah.... Apa apaan ini..
"I-ibu.... Kenapa...." kataku tak percaya. Anak panah itu menancap tepat dijantung Ibu, dia tadi menggantikan posisiku.
Tanganku gemetaran, antara mencabutnya langsung atau membiarkannya begitu saja. Biasanya aku akan mencabutnya langsung, tapi kali ini tepat mengenai jantung. Jika aku langsung mencabutnya dia akan mengalami pendarahan hebat dan langsung mati.
"Te-tenanglah Ibu, aku akan panggil dokter, tunggu sebentar Ibu" kataku gemetar. Lagi lagi air mata mengalir dari mataku, turun lebat dan jatuh ketubuh Ibu yang tepat bersandar lemah didadaku.
Tangannya bergerak, meraih tanganku yang gemetaran hebat. Mukanya dengan cepat menjadi putih pucat, darah terus mengalir dari luka didadanya.
"Ternyata benar, selamanya aku takkan bisa mengabaikanmu," Ibu, dia berbicara dengan nada lemah. Aku tak kuasa mendengarnya, lebih baik aku tak mendengarnya untuk saat ini.
"Ibu, jangan katakan yang aneh aneh. A-aku akan cari penolong, dia pasti akan menyembuhkan Ibu" kukatakan dusta dengan tangan bergetar. Bahkan aku tahu ini, selama ini aku sudah banyak menyaksikan kematian, jadi aku tahu ini artinya apa.
Ini tak benar, harusnya akhirnya bukan seperti ini. Bukan kematian Ibu yang harusnya kulihat.
"Sudahlah Nak, jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri," kata kata itu bagaikan pisau yang malah semakin menambah luka dihatiku.
Tidak, jangan ucapkan kata kata menyedihkan itu saat ini. Ucapkan saja nanti saat kita pulang kerumah.
"Ini salahku karena tak mengajarkanmu ilmu bela diri, kau jadi menderita karena itu..." tangannya terangkat, memegang pelan luka mataku yang baru saja dicongkel. Air mata segera terbentuk dipelupuk matanya, mengalir perlahan dan jatuh tanpa suara. "Ah... Kau kehilangan mata cantikmu" katanya pelan.
Ah... Tidak, jangan katakan kata kata menyedihkan disituasi ini. Kita harus kabur, Ibu! Kita harus kembali kerumah.
"Andai saja Ibu mengajari ilmu bela diri, pasti takkan jadi begini" gumamnya pelan sambil melihat tubuhku yang penuh dengan luka lama dan luka baru yang saling bertumpukan.
"Ti-tidak Ibu. Aku juga bisa beladiri. Cuma musuh yang terlalu kuat dan terlalu banyak, jadi Ibu jangan menyalahkan diri sendiri" kataku cepat cepat. Pembicaraan ini harus segera diakhiri, ini terlalu menyedihkan..
"Pasti sangat susah bertarung dengan sebelah mata saja, butuh waktu untuk terbiasa. Ambillah mataku, ini mata yang istimewa, ini adalah Mata Permata" katanya sambil menunjuk dua matanya. "Ini bisa melihat segalanya dengan sangat jelas. Akan ada keuntungan jika kau memiliki satu bola matanya"
Aku kehilangan kata kata. Apa yang sedang coba Ibu bicarakan?! Simpan pembicaraanmu, dan mari kita segera kabur. Kita pasti akan sampai kerumah dengan selamat.
"Riana, ini wasiat dariku," katanya pelan. Aku menahan napas. Tidak, kumohon jangan sekarang.
"Hiduplah. Apapun yang terjadi, tetaplah hidup. Bahkan jika kau telah terjatuh kelembah keputus asaan, bahkan jika kau menginginkan kematian, kau harus mengingat hari ini." perkataan tegasnya membuat air mataku semakin berderai. "Hari ini aku memberikan nyawaku untukmu, jadi jangan sia siakan nyawa pemberianku" katanya lagi.
Aku tergagap, tak bisa berbicara apapun lagi. Tangannya masihlah hangat, ia mengelus pipiku yang banjir air mata.
"Dan terima kasih telah memanggilku Ibu kembali" air mata mengalir dari kedua matanya. Senyuman tulus khas seorang ibu terpampang diwajahnya.
Tapi hanya itu. Kemudian tangannya yang bergerak diudara jatuh lemas, aku menangkapnya dengan satu tangan.
"Ibu, tolong jangan katakan hal menyedihkan itu. Ini salahku. Ini salahku karena durhaka pada Ibu. Ini salahku karena menganggapmu tak mencintaiku. Aku minta maaf ibu.... Sungguh aku minta maaf..." tangisku pecah sambil memegang tangannya yang sudah tak bisa bergerak lagi.
"Kumohon ibu... Jangan tinggalkan aku sendiri. Aku berjanji akan menjadi anak baik, jadi jangan tinggalkan aku sendiri..."
Hening. Ibu sama sekali tak menjawab perkataanku. A-aku tergagap, kehilangan kata kata. Kepalaku lunglai kedadanya, mencoba merasakan suhu hangatnya, mencoba merasakan detak jantungnya.
Harusnya ada!! Sesuatu yang berdetak dalam dada, harusnya itu ada!! Tapi sekarang, aku tak bisa lagi mendengar suara itu. Hening dan kosong, mirip hatiku.
Pada akhirnya, hujan yang kukira akan turun akhirnya turun juga. Air hujan menyapu darah disekujur tubuhku, air hujan menyapu semua luka yang berada ditubuhku.