Chereads / Ramalan Takdir / Chapter 25 - Mari Kita Kabur

Chapter 25 - Mari Kita Kabur

Ruangan itu hening. Tak ada lagi suara isak tangis dari mulutku. Aku berdiri pelan, dibantu oleh wanita misterius itu.

"Apakah benar kita bisa kabur dari sini?" tanyaku lemah. Mustahil, itulah yang selama ini kupikirkan. Tapi mendengar jawaban langsung dari wanita itu membuat hatiku sedikit berdetak kencang. "Selama kita tidak ketahuan, kita bisa melarikan diri."

"Sekarang sudah malam, para penjaga yang malas itu juga pasti sudah tidur," wanita itu berbisik pelan sambil membuka pintu kayu yang sebelumnya nampak tak bisa ditembus. Sebenarnya jika kita punya kuncinya, bukan hal yang sulit untuk keluar dari ruangan ini.

Kami berjalan mengendap endap pelan. Kakiku melepuh, tak bisa dibawa berlari. Wanita itu juga tak menyuruhku berlari sekarang.

Benar kata wanita itu. Ruangan luar tampak sepi. Lorong hanya ditemani beberapa lampu obor yang menyala. Tak ada penjaga sama sekali, membuat kami lengah.

"Berjalanlah pelan pelan, kita masih punya banyak waktu sampai matahari terbit," katanya pelan sambil memapahku dilorong sempit dengan tembok batu bata itu. Aku mengangguk mengiyakan, berusaha berjalan secepat mungkin. Pikiran bisa kabur menjadi fantasi yang sangat ingin kuraih saat ini.

"Kenapa kau membantuku?" tanyaku berbisik dikeheningan lorong. Dia menoleh mendengar pertanyaanku, tapi tak menjawabnya. Aku menghela napas lelah. Entahlah, ini bisa berakibat buruk baginya jika tertangkap.

"Kau bisa dihukum jika membantuku kabur," kataku menasehati. Tak mau lagi aku melihat orang menderita karena diriku.

"Tapi kau juga disiksa lebih keras lagi. Bahkan mereka bisa saja membunuhmu" katanya sedih. Keheningan lorong membantu menjawab pertanyaan miris itu.

"Mereka takkan membunuhku" kataku pendek. Dia pasti tak percaya dengan ucapanku. "Karena aku masih berguna bagi mereka, jadi mereka takkan membunuhku"

Aku tahu, jika mereka membunuhku, kemungkinan untuk tahu cara menggunakan buku itu akan menjadi nol. Palingan setelah mata, mungkin mereka akan memotong tangan atau kakiku. "Mungkin jika tertangkap, aku lebih baik dibunuh langsung saja"

Kata kata itu keluar dengan sendirinya, itu adalah perasaanku terdalam. Dia diam mendengar kata kataku.

"Kau tak boleh berkata seperti itu. Bagaimana dengan reaksi keluargamu jika tahu kau berkata seperti itu?" dia bergumam sedih. Aku tahu akhirnya akan jadi seperti ini.

"Tak akan ada yang bersedih akan hilangnya diriku. Toh pada akhirnya aku juga tak pernah ada"

Hening, hanya hening yang bisa menjawab semua kecemasan dan kesedihanku.

"Maaf"

"Untuk apa?"

"Mungkin aku mengingatkanmu pada sesuatu yang kau benci" suara perempuan yang meminta maaf padaku tulus. Terdapat kesedihan dalam nada bicaranya. Seolah dia telah menyakitiku sangat dalam.

"Jangan pikirkan itu, kita sebentar lagi sampai ujung lorong" kataku sambil mencoba memusatkan pandangan mata kananku kedepan. Bagaimana wanita ini bisa tahu jalan lorong yang langsung mengarah kehutan, aku tak tahu. Dari tadi banyak persimpangan, sepertinya dia memang sudah berniat membebaskanku dari awal.

Tapi tepat saat itu, masalah terjadi. Seolah tak mau membiarkanku kabur, suara terompet menggelegar bahkan sampai ketelinga kami yang berada diujung lorong.

Fuuuuuu....

Suara itu adalah simbol tahanan penting telah lepas. Simbol semua prajurit yang berjaga untuk segera berkumpul dan menangkap kembali buronan yang kabur.

"Riana, cepat lari!!!" kata ramah itu langsung berganti seruan panik. Tangannya yang semula menuntunku kini menarikku dengan kencang, memaksaku berlari dengan kondisi kaki yang terluka.

Sesaat setelah dia meneriakkan namaku, ingatan ingatan yang mulai kulupakan muncul kembali. Ingatan yang melekat dengan nama sederhana itu menghujani kepalaku dengan deras. Ingatan akan Ayah, ingatan akan Ibu dan ingatan akan Mana, semua ingatan yang telah terjadi dibumi membuatku tertegun, berdiri tanpa mau menapakkan kaki.

"Riana, kau tak apa apa?" tanyanya khawatir. Tapi bahkan suaranya tak sampai pada otakku. Tunggu dulu, otakku sedang berproses dengan cepat, mencoba mengenali suara yang dari tadi terdengar familier ini.

"Kakimu pasti sakit lagi, kau tak bisa berlari lagi?" tanya suara itu padaku. Lagi lagi nada suaranya terdengar khawatir, berbeda dengan nada suara yang berada dalam ingatanku.

Kenapa? Kenapa kau malah ada disini? Pikiranku kacau sekarang

"Kita harus segera kabur sebelum ketahuan. Aku akan menggendongmu. Kau harus pegangan erat erat" katanya tanpa apa apa dan langsung menggendongku dibelakang punggungnya. Aku tak bisa berkata apa apa.

Wanita itu berlari sambil membawa beban berat dipunggungnya. Dia berlari kearah hutan di tengah malam yang bahkan tak menampakan cahaya bulan. Awan petir berkali kali menyambar, memberi isyarat akan turunnya hujan yang paling aku benci.

"Kita akan sampai sebentar lagi, kau bisa pulang kerumah dengan selamat" katanya dengan napas yang memburu dan langkah kaki yang cepat. Tentu saja napasnya memburu, berlari dengan seorang gadis remaja dipunggung sambil menerobos semak dihutan bukanlah pekerjaan yang mudah. Kadang akar tanaman timbul akan menjadi penghalang. Tapi sepertinya wanita ini ahli sekali berlari seperti ini.

"Gawat, dasar bajingan gila! Kenapa dia mengerahkan pasukan pemburu sebanyak itu?!" gumam wanita itu pelan yang sayangnya masih didengar olehku. Hutan hening, hanya ada suara wanita itu yang sedang berlari dan bergesekan dengan semak semak. Kadang terdengar pula bunyi ranting yang patah karena diinjak.

"Tenang saja, aku akan melindungimu sampai dirumah" katanya seolah mengerti akan kekhawatiranku. Tapi bukan itu masalahnya sekarang. Masalah yang sebenarnya adalah ada pada kata kata munafiknya..

"Kenapa kau mengkhawatirkanku? Bukankah kau tak peduli padaku?" kataku dingin. Hilang sudah gambaran wanita baik hati yang tulus membantuku. Mungkin dibalik senyumnya hanya ada kemunafikan. Karena itulah sifat aslinya, dia sama sekali tak peduli padaku.

Dia diam mendengar kalimatku. Bibirnya juga tak mau membantah, seolah membenarkan begitu saja perkataanku.

"Ibu, apa sekarang kau juga tak mau menjawab pertanyaanku?" tanyaku padanya. Dia diam saja. Ya, dilihat dari suaranya harusnya aku langsung segera sadar bahwa wanita ini adalah ibuku. Tapi mungkin karena suaranya yang lembut dan penuh kekhawatiran terhadapku, membuatku tak bisa percaya fakta mencengangkan ini.

Kenapa kau mengkhawatirkanku?

Sejak kapan kau menyayangiku?

Apakah sejak aku menghilang kau jadi merindukanku?

Untuk wanita yang bahkan sudah tak ingin kupanggil dengan nama ibu lagi, kenapa kau sekarang bersikap seperti seorang ibu bagiku?

Tapi tak ada satu jawabanpun yang keluar. Mungkin dia ingin menjawabnya, hanya waktu saja yang belum mengizinkan.

Ya, waktu waktu seperti ini bukanlah saat yang tepat untuk menanyakan pertanyaan pertanyaan emosional seperti itu. Buktinya saja.

Ibu dengan cepat berbalik dan segera menurunkanku. Aku yang tak tahu apa yang ia pikirkan hanya bisa turun dengan rintihan karena kaki yang terluka.

"Riana, cepat lari!!!" tapi kata kata membuatku sadar. Ini bukan waktunya mengeluh, ini bukan waktunya bertanya. Yang harus ia lakukan saat ini adalah berlari sesuai perintah ibu.

Tapi lagi lagi ada yang menghalangi. Sekelompok orang berjubah hitam lagi lagi mengepungku dan juga ibu. Ibu dengan cepat mengeluarkan belati yang sudah disembunyikannya dibalik baju.