Ctar.....
Bunyi itu membahana, memantul diruang sempit tiada jendela. Kilatan cambuk menerjang, menerpa kulit yang hanya dilapisi baju sederhana saja.
"Jawab pertanyaanku!! Bagaimana caranya kau menggunakan buku itu?!" lagi lagi pria itu. Dia berkata kasar dengan cambuk ditangannya. Sedangkan wanita pembawa obor itu berdiri dibelakangnya, bersikap tenang disituasi memilukan ini. Bukan hanya tenang, tapi senyuman juga tak luntur diwajahnya.
Aku menggigit bibir kuat kuat. Bukan hanya darah yang membekas dipakaian akibat luka cambuk, tapi juga darah dari bibir yang kugigit, semua itu membuat pakaian yang tadinya bersih kini penuh dengan bercak darah.
"Su-sudah kubilang aku juga tidak tahu..." kataku gagap. Pria dihadapanku menggeram marah mendengar jawabanku.
"Dasar gadis kurang ajar! Bersyukurlah kau sudah kubiarkan hidup! Kalau bisa aku ingin mencambukmu hingga mati tak berbentuk!" dia berkata sambil siap siap mengayunkan cambuknya lagi.
Ctar....
Perih...
Perih....
Rasanya mataku menjadi panas. Rasanya ada perasaan sakit yang tak bisa dilukiskan lagi....
"Bagaimana?! Cepat jawab pertanyaanku!!" dia mengangkat cambuknya lagi. Lagi lagi kilauan itu membuat hatiku kecut, aku menggigit bibir, manahan rasa sakit yang akan datang menempa.
"Aku mohon... Aku juga tak tahu apa apa..." kataku memohon sambil meletakkan kepalaku dilantai. Tak ada lagi harga diri, dibandingkan harga diri, rasa sakit ini lebih menyiksaku.
"Kau pasti merahasiakannya bukan?! Kau tak ingin mengatakannya bukan?!" bentaknya marah melihatku bersujud padanya. Aku kehabisan kata kata. Tak ada yang kusembunyian, sungguh.
Tapi apalah daya. Bagi sebagian orang, mempercayai kata kataku itu sangat tak masuk akal, seperti halnya ayahku.
Ctar....
Lagi lagi cambuk itu menghujam punggungku. Lagi lagi darah mengalir. Air mata mengalir tak tertahankan, isak tangis keluar bagai permintaan memohon bantuan.
Tapi apa gunanya itu? Bahkan saat aku sudah menjelaskan semuanya, bahkan saat aku sudah mengatakan apa yang kutahu, pria itu jelas tak akan melepaskanku saat dia belum mendapatkan jawaban pertanyaan apa yang dia cari.
Benar benar gila!
****
Akhirnya intrograsi berdarah itu selesai setengah jam kemudian. Walaupun hanya setengah jam, kurasa waktu itu sangat sangatlah panjang hingga membuatku bahkan mengiranya beberapa hari.
Aku duduk lemah. Darah segar mengalir dari seluruh tubuh tempat dimana cambuk itu mendarat. Aku menahan air mata yang hendak keluar dengan sekuat tenaga. Isak tangis tertahankan, membuat tubuhku berguncang hebat.
"Kau pasti laparkan, kau pingsan selama beberapa hari. Makan ini, aku menyiapkannya khusus untukmu" wanita itu lagi lagi menampilkan senyum menawannya. Tapi bahkan sekarang aku sedah sadar kalau sebenarnya senyumannya itu hanyalah tanda buruk bagiku, sama seperti senyumannya tadi.
Benar saja. Yang dihadapanku ini bukan makanan untuk manusia, melainkan makanan untuk tikus dan kecoak.
"Makan ya.... Kalau tidak aku akan menghukummu besok" katanya sambil menutup pintu ruangan, tempat satu satunya jalan keluar. Bahkan dari dalam terdengar gembok yang terkunci, seolah memberikan isyarat percuma saja kalau ingin lari.
Dihadapanku kini ada nampan berisi roti berjamur dengan sup yang bahkan sudah tak layak makan. Aku menatapnya dengan pandangan kabur, ingin menangis. Perutku dari tadi keroncongan. Tapi untuk berpikir memakan makanan tak layak ini sudah membuatku mual duluan. Pada akhirnya aku menghabiskan waktu itu dengan perut keroncongan tanpa satupun makanan yang bisa mengganjal.
Tapi keesokan paginya, seolah hal itu sudah direncanakan.
Byuuurrr....
Sup busuk kemarin malam menyiram seluruh wajah dan rambutku. Aku hanya menatapnya tanpa reaksi apapun. Bengong, tak percaya apa yang terjadi.
"Bukankah sudah kubilang untuk memakannya?!" bentak wanita itu dengan kasar. Aku menatapnya dengan pandangan tak mengerti. Wanita itu mengambil roti berjamur itu kasar dan segera menjejelkannya begitu saja kemulutku.
"Ummmm...." kataku sambil mencoba menolak roti tak layak konsumsi itu. Tapi apalah daya, tangan wanita itu memegang dua pipiku dengan keras, mencoba membuka lebar lebar mulutku dan memasukkan makanan itu seenaknya.
"Kubilang makan ya makan!! Cepat makan!!" wanita itu berkata geram sambil terus saja menjejelkan roti itu. Bahkan untuk mengunyahnya saja aku sudah sangat kesusahan, tapi dia menyuruhku menelan ini?
"Cih, menjengkelkan" gumamnya kesal sambil melepaskan tangannya dari roti dan mulutnya. Dia berbalik pergi, meninggalkanku sendiri.
"Tak ada sarapan untuk pagi ini, makan saja makananmu kemarin malam" katanya kesal sambil menutup pintu kayu yang nampak berat itu.
Aku menelan ludah tak percaya. Lagi lagi bintik air mata mulai mengalir pelan. Apa apaan ini?! Bukankah ini sudah terlalu kejam.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merindukan rumah. Bahkan jika diriku tak disambut, dianggap tak ada, tapi masih ada makanan layak dan hidup tenang tanpa penyiksaan.
"Kumohon.... Siapapun tolong aku" ratapku dalam keheningan ruangan. Tapi tak ada yang mendengar permohonan itu.
Ah, air mata lagi lagi mengalir dari pipiku. Sama sekali tak ada yang menolongku sekarang, apakah itu artinya aku dibuang. Tak ada Ayah ataupun Ibu yang datang kemari. Mereka tak datang, malahan mungkin mereka tak mencariku. Dan Mana? Dimana kamu sekarang? Apakah kau benar benar melupakanku? Ataukah malah kau membenciku?
Kupanggil Nama Eiji berkali kali. Dia pernah bilang kalau aku membutuhkan pertolongan, aku bisa memanggilnya. Dia berkata padaku kalau dia akan datang jika aku memanggilnya.
Begitu juga orang misterius yang tahu segalanya. Dia bilang dia akan membantuku kalau aku memanggilnya. Tapi sekarang.... Kenapa sekarang...
Mereka sama sekali tak datang?
Maaf Eiji, aku mengatakan hal buruk padamu. Maaf wahai sosok yang tak kuketahui namanya, maaf karna menolak tawaranmu untuk menjadi putrinya. Maafkan aku... Aku salah... Jadi kumohon, datanglah sekarang. Aku sungguh tak kuat lagi.
Tapi permohonanku hanya menggantung diudara, tak ada sari mereka yang menyelamatkanku.
****
Berapa hari? Berapa bulan? Berapa tahun aku telah terkurung disini? Aku tak tahu pasti. Bahkan tak ada cahaya matahari yang memberi tahukanku siang dan malam, hanya pelayan wanita itu yang bisa memberitahukan berapa banyak waktu yang telah berlalu.
Tapi apakah waktu benar benar telah berlalu? Sekarang ini menurutku sama saja, monoton tanpa aliran waktu.
Tidur, introgasi berdarah lalu makan kemudian tidur lagi. Begitu bangun introgasi berdarah lagi dan kemudain makan makanan sisa lagi kemudian tidur lagi. Begitu aku menjalani waktu tanpa adanya perputaran waktu. Aku bahkan mulai terbiasa dengan ini semua.
Makan makanan sisa dengan tubuh penuh darah? Itu sudah kebiasaan harianku. Tidur tanpa mandi dan berlumuran darah? Akhir akhir ini aku selalu begitu. Bahkan sekarang aku tak lagi memikirkan masalah bau badan seperti remaja pada umumnya. Aku sudah tak peduli lagi akan hal hal tak berguna itu.
Sekarang yang kupedulikan adalah apakah aku akan makan hari ini? Apakah aku bisa tidur hari ini? Apakah aku kuat hari ini? Apakah tubuhku kuat dengan darah yang terus mengalir? Ataukah aku akan mati akibat penyiksaan yang bahkan sudah tak kuketahui berapa lamanya ini?
Memikirkannya membuat perutku sakit, membuat makanan yang sedang susah payah kutelan kini menyembur keluar tanpa bisa ditahan. Makanan itu jatuh tepat disup basi, seperti biasa.
Napsu makanku langsung hilang. Aku sudah tak sanggup lagi memakan makanan ini. Semakin lama disini, semakin aku merindukan rumah.