Chereads / Ramalan Takdir / Chapter 22 - Seharusnya Aku Mendengarkannya

Chapter 22 - Seharusnya Aku Mendengarkannya

Seharusnya aku mendengarkannya, seharusnya aku percaya pada perkataan pria misterius itu. Mungkin jika aku tak meremehkan perkataannya, aku bisa memperkuat pertahananku, aku bisa menghindari kejadian yang mungkin akan menimpaku.

"Haa.... Ha..." napasku memburu, dadaku kembang kembis tak karuan, sedangkan mukaku kini merah karena kelelahan.

"Ba-bagaimana bisa kalian mengejarku sampai kemari?" kataku putus asa sambil mencoba mengulur waktu. Aku tak bisa lari lagi. Musuh didepanku telah mengepungku.

"Sebenarnya, apa yang kalian inginkan?!" aku menatap mereka dengan pandangan lelah. Kakiku sudah tak kuat lagi berdiri, ia gemetaran tiada henti.

Tapi bahkan orang orang berjubah hitam yang sedang mengepungku sama sekali tak menjawab. Mereka diam, menunggu instruksi atasan untuk menangkapku. Aku menelan ludah dengan susah payah. Bagaimana bisa diriku berakhir seperti ini?

"Serahkan buku itu padaku," tiba tiba atasan yang mereka tunggu datang. Dia dengan mudah membelah barisan orang hitam yang mengepungku lantas berjalan menuju arahku. Posisiku terpojok, aku tak bisa lari lagi.

"Untuk apa kau menginginkannya?! Buku ini bukanlah buku yang bisa dimiliki sembarangan orang! Kau hanya akan mendapat penderitaan ketika memilikinya" seruan kerasku malah disambut senyum penuh maksud orang itu. Dia tersenyum seperti orang yang sedang merencanakan hal buruk.

Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Lelaki empat puluhan yang bertubuh gagah. Hanya dia yang tak memakai jubah hitam. Dia dengan segala kesombongannya kini berdiri menantang dihadapanku.

"Kau gadis kecil tahu apa? Serahkan kekuatan membaca masa depanmu padaku," katanya mengejek. Aku yang mendengar kata kata itu hampir berseru tak percaya. Gadis kecil yang tak tahu apa apa? Apa dia tadi menyebutku dengan sebutan itu?! Setelah semua yang kualami didunia ini yang bahkan tak ada seorangpun yang akan percaya, bisakah dia menganggapku gadis kecil yang tak tahu apa apa?!

"Kutolak.... Sampai kapanpun aku akan menolaknya! Aku tahu apa yang akan terjadi jika kau memiliki buku ini. Jawabannya hanyalah penderitaan tiada akhir. Untuk keselamatan dirimu sendiri, lebih baik kau berhenti mengincar buku ini dan membiarkanku pergi," kataku terbata bata. Wahai sosok yang tak kuketahui namanya, aku peduli padamu, jadi kau harus melepaskanmu.

Tapi terkadang kepedulian bisa disalah artikan dan kebaikan bisa dibalas dengan kejahatan. Begitu pula dengan kebaikan dan kepedualianku. Balasan atas itu adalah pukulan keras.

Bruukk....

Darah segar mengalir dari hidungku. Tubuh lemasku terhuyung kebelakang, mencoba mencari titik keseimbangan.

Bruuukkk...

Dan sayangnya sekarang tinggal tendangan keras mengenai perutku. Air liur muncrat begitu saja dari mulut. Aku lagi lagi mundur kebelakang, mencari keseimbangan. Tapi pada akhirnya kakiku menekuk, tak sanggup lagi baginya untuk kembali berdiri.

"Dasar gadis kurang ajar!!!" katanya marah sambil mendaratkan kakinya ditubuh lima belas tahunku. Aku meringkuk, mencoba menahan tendangan agar jangan mengenai bagian fatal.

"PADAHAL AKU SUDAH SUSAH PAYAH MENANGKAPMU!! KENAPA KAU TAK MENYERAHKAN BUKU ITU PADAKU HAH! GADIS TAK TAHU MALU!" ucapan itu menggema dalam gendang telingaku. Dia marah. Dia jelas marah dengan penolakanku. Dia marah karena aku terlalu mengguruinya.

Tapi itu memanglah kenyataannya. Dia pasti akan sangat menderita jika menerima buku itu. Sama seperti diriku yang sangat menderita sekarang.

"Memangnya siapa dirimu hah?! Apakah kau merasa sombong hanya karena kau bisa mendapatkan kekuatan langka itu?!" lagi lagi kakinya mendarat ditubuhku. Aku berusaha sekuat tenaga melawan rasa sakit yang timbul. Kulihat sekitar, para manusia berjubah hitam itu hanya memandang pemandangan memilukan ini tanpa berniat membantuku sama sekali.

Sombong? Memangnya apa yang bisa kusombongkan dari mendapat kekuatan yang tak kuinginkan? Memangnya apa yang bisa kusombongkan? Haruskah aku menyombongkan penderitaanku?

"Heh gadis kecil, lihatlah betapa menyedihkannya kondisimu sekarang" pria itu menjambak rambutku dan mengangkat mukaku agar menatapnya. Dia berkata tepat di depan wajah lebamku.

"Lihat betapa menyedihkannya dirimu sekarang. Kau babak belur begini. Jika saja kau menyerahkannya dari dulu, aku takkan menghukummu sampai seperti ini" katanya disertai senyuman tak warasnya.

Dia benar benar gila. Bahkan dibandingkan Eiji, dia lebih gila lagi. Bagaimana bisa ada orang yang tersenyum diatas penderitaan orang lain?!

"Lihatlah baik baik. Tanpa izinmupun aku bisa mengambil buku itu darimu. Memangnya siapa yang berani menantang kekuasaanku?" tanyanya sinis. Aku menahan air mata yang ingin keluar. Luka ditubuhku terasa sangat sakit. Kumohon... Cepat akhiri ini sampai disini saja.

Bruukk...

Telingaku berdengung. Diriku baru saja dibanting ketanah dengan begitu kerasnya. Debu mengepul mencoba menutupi pengelihatan mataku yang mulai buram. Tapi bahkan aku bisa melihat dengan jelas apa yang dia lakukan setelahnya. Dia mengambil ranselku, mengeluarkan semua isi yang berada didalamnya. Tangannya berhenti ketika menemukan sebuah buku berwarna biru. Dengan senyum menguasainya, dia mengambil buku itu dan mengangkatnya kelangit. Tawa senang menyebar ditengah malam yang dingin.

Tak ada yang menyadari kejadian itu. Tak ada satupun orang yang datang menolongku. Mataku semakin berat. Ingin rasanya aku menangis melihat pemandangan itu. Tapi tak ada waktu bahkan hanya untuk membuka mata. Dengan sendirinya, mataku menutup rapat. Mencoba mengistirahatkanku dari luka yang semakin lara dirasa. 

****

Begitu aku membuka mata, hanya kegelapan yang menyambutku. Tapi bahkan selain kegelapan, aku ditemani rasa sakit yang tiada tara, menjalar keseluruh tubuhku, membuatku ingin berteriak.

Tapi sebelum aku berteriak. Aku menyadari sesuatu yang sangat penting. Benda dingin yang melingkari kakiku, benda yang bahkan sekarang tak diikatkan lagi pada hewan peliharaan.

Ialah rantai.

Rantai melingkar dipergelangan kakiku, lantas terhubung langsung ketembok batu bata yang tampak menakutkan ditengah gelap.

Tapi kegelapan itu tak bertahan lama karena tiba tiba siluet cahaya datang dan dengan cepat membesar. Seseorang membukakan pintu keruangan gelap ini.

Seorang wanita dengan paras cantik tiba tiba memasuki ruangan. Dia membawa obor ditangannya. Matanya membulat ketika melihatku terduduk.

"Akhirnya kau bangun juga, dasar Gadis Pemalas!" katanya kasar. Aku yang tak mengerti maksudnya hanya mengerutkan kening tak paham.

Tapi itu hanya sekejap. Yang kulakukan selanjutnya adalah berteriak kesakitan

"Akkhhhh..." teriakku sambil mencoba menggapai tangannya yang mencengkram erat rambutku. Dia tersenyum senang melihatku berteriak. "Rasakan, dasar Gadis Tak Berguna! Bisa bisanya dia menyuruhku mengurus gadis kotor nan menjijikan sepertimu"

Aku menahan air mata. Belum sempat aku menyembuhkan luka lukaku kemarin, aku sudah mendapat kekerasan lagi.

"Cih, menjengkelkan" katanya sambil membanting tubuh lemah dan kurusku. Obor ditangannya kini menyalakan obor diruangan, membuatku bisa melihat dengan jelas dimana aku berada sekarang.

Ruangan itu berdebu, kotor dan gelap tanpa adanya sinar matahari. Tembok tembok dari batu bata mengelilingi empat arah mata angin. Hanya pintu terbuat dari kayu keras yang menghubungkanku dengan dunia luar. Atapnya tinggi, tinggi sekali bahkan sampai aku tak bisa menyentuhnya kecuali dengan beberapa anak tangga.

Dan yang paling penting. Rantai mengikat pergelangan kakiku dengan kencang. Dilihat darimanapun, rantai itu dikunci untuk membiarkanku tak kabur dari tempat yang tak lebih dari penjara ini.

"Aku akan menyampaikan kabar bangunmu pada yang lain. Pastikan kau sudah punya jawaban atas pertanyaan yang akan disampaikan nanti," dia berkata sambil membawa obornya kembali. Ruangan tak lagi gelap, tapi tetap saja menyisakan banyak pertanyaan bagiku.

Ini dimana? Kenapa aku ada disini? Dan pertanyaan apa yang harus kujawab? Hanya heninglah yang menjawab semua pertanyaan dalam hatiku.