Chereads / Ramalan Takdir / Chapter 17 - Jawaban Ibu

Chapter 17 - Jawaban Ibu

Tapi walaupun aku sudah yakin kalau Ibu ataupun Ayah takkan menjawabku, tetap saja hatiku merasa ragu. Kurasakan ada sedikit harapan yang tersisa. Mungkin ini karena perkataan Liana, sang dokter yang bisa melihat apapun.

"Kenapa kau tak tanyakan saja pada kedua orang tuamu? Kuyakin mereka pasti tahu sesuatu" katanya sambil memandang muka sedihku. Sudah berapa kali dia menasehatiku seperti itu dalam beberapa hari terakhir.

"Bukankah sudah kubilang kalau hubungan kami tak berjalan baik" aku langsung menyangkal usulannya. Sampai kapanpun aku tak mungkin melakukan hal itu!

"Tidak baik? Paling kamu cuma tak mau mendengar nasehatnya dan kabur dari rumahkan?" kata katanya sangat menggambarkan remaja masa kini yang sering sekali kabur dari rumah.

"Sudah kubilang masalahnya lebih dari itu. Ibuku sama sekali tak menganggapku sebagai putrinya, ayahku juga tak peduli padaku, ditambah adikku yang akhir akhir ini berubah menjadi dingin sama seperti ayah" aku mengatakannya dengan hati dingin. Tak lagi kurasakan kesedihan saat mengatakan hal itu. Karena itulah kenyataannya, dan sekarang aku akan menerimanya dengan lapang dada tanpa harus menanyakan alasannya.

"Mana ada orang tua sekejam itu! Semua orang tua yang kukenal selalu baik pada anaknya" dia mengatakan argumen yang malah membuatku semakin jengkel begitu mendengarnya.

"Itu karena dunia yang kau lihat belum seberapa. Bukankah kau juga tahu bahwa banyak orang jahat didunia ini! Mungkin orang tuaku juga salah satunya" kataku melirih dikalimat terakhir. Liana hanya menghela napas melihat diriku yang putus asa dulu tanpa mencoba.

"Mungkin mereka berdua tak ingin melihatmu sengsara" "Tapi apakah aku terligat tak sengsara sekarang. Hidupku sangat menyedihkan dan aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, apakah aku tak sengsara saat mengingat hal itu?"

Setelah itu tak ada lagi yang berbicara. Kami kenilangan kata kata. Hening menggantung membawa duka.

***

Tapi sepertinya kata kata Liana menggoyahkan keyakinanku. Harapan mulai berkecambah dan tumbuh dalam dada. Kurasa ibu pasti akan menjawabnya. Mungkinkah karena aku tak pernah bertanya, jadi dia tak mengatakannya? Pepatah mengatakan kalau kasih ibu sepanjang masa, takkan memudar karena hal apapun. Kali ini, kucoba untuk mempercayai pepatah tersebut. Mungkin dengan begitu, aku akan mendapatkan jawaban jelas dari ibu.

Saat ini aku telah sampai tepat didepan kamar ibu. Tadi aku lihat Mana pergi dari sini, kemungkinan dia baru saja mengunjungi ibu lagi. Rasa sesak dalam dada perlahan tumbuh, tapi itu tak berlangsung lama karena aku langsung membunuhnya.

Tok... Tok.... Tok... Suara ketukan pintu menggema. Entah kenapa dadaku langsung merasa berdebar tak karuan. Apa yang kuharapkan tinggal sedikit lagi tercapai. Apa yang kucari selama ini tinggal sedikit lagi aku akan temukan.

"Masuk saja" kata kata ibu masuk kedalam telingaku, memberi sensasi kejut yang menyadarkanku ke kenyataan. Perlahan kubuka pintu yang dari tadi tertutup, aku berharap jawaban yang ibu berikan akan sesuai dengan kupikirkan.

"Mana, lihat ini.. " katanya begitu aku masuk. Apakah dia menyangka bahwa akulah Mana yang  tadi baru saja keluar?

Dia membeku begitu melihatku, begitu pula denganku, aku membeku melihatnya. Hening mengisi udara diantara kami berdua. Keheningan ini seolah mengatakan padaku kalau aku tak boleh bersuara.

Nampaknya dia kaget melihatku, tapi itu tak berlangsung lama karena dia langsung duduk kembali dikursi dimana dia duduk tadi. Tanpa berkata apapun, dia langsung saja mengabaikanku.

"Ibu," ucapku lirih memanggilnya. Tapi dia sama sekali tak menggubris perkataanku. Dia memandang daun yang hijau dari jendela tepat disampingnya.

"Apa?" pada akhirnya dia meresponku. Walaupun membutuhkan beberapa menit lamanya, tapi aku  tetap senang dengan ucapannya.

"Ada hal yang ingin kutanyakan?"

Melihat dari responnya yang sedikit terlambat, kurasa akan lebih baik jika aku langsung bertanya padanya saja. Dia pasti takkan menyangka apa yang akan kutanyakan.

"Silahkan saja bertanya, tak akan ada yang melarangmu bertanya," dia mengatakan itu sambil menyeruput teh yang sudah dihidangkan diatas meja. Uap panas masih mengepul dari cangkir. "Tapi berjanjilah ibu akan menjawabnya"

Saat mendengar kalimatku, gerakan meminum tehnya terhenti. Dia menatapku dengan tatapan bingung, dia pasti tak menyangka kalau kalimat itu akan keluar dari mulutku. Atau dia pasti menyangka seberapa tak percayanya diriku terhadapnya hingga aku harus menagih janji padanya.

"Tanyakan apa yang kau suka, aku janji aku akan menjawabnya," kembali tenang, sepertinya ibu punya kemampuan untuk mengontrol raut wajahnya.

"Kalau begitu, Ibu. Tolong jawablah dengan benar" kataku mengawali.

"Apakah aku anak yang dikutuk" setelah mendengar perkataaanku, mungkin didunianya ada petir disiang bolong yang menyambar kuat. Sayangnya ia tak mengontrol mukanya,  raut wajah terkejut jelas terpampang disana.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya, sama seperti yang kuduga. Bagaimanapun aku tahu kalau dia juga kesulitan mencari jawabannya.

Aku bukanlah menanyakan pertanyaan mudah seperti soal matematika, tapi ini lebih sepert  keyakinan dan prinsip hidup yang ia jalani.

"Ibu, bukankah kau berjanji untuk menjawabnya?" tagihku kemudian. Aku tahu kalau Ibu takkan menjawabnya, karena itulah aku memasang janji padanya.

Hening seketika menggantung diudara. Tak ada dari kami berdua yang ingin berkata kata. Tapi tetap saja aku masih menunggu jawaban darinya. Jawaban yang bisa membuat jelas segalanya.

"Iya" kata kata itu seperti kutukan tersendiri yang menimpa hatiku. Sungguh, saat mendengarnya sendiri entah kenapa aku merasakan seperti ada yang hilang, tak satupun dari otakku yang bisa menerimanya. Padahal aku sudah tahu jawabannya,  tapi kenapa?

"Kenapa Ibu tak mengatakannya padaku?!  Kenapa Ibu diam saja tak memberi tahu?" seketika amarah dalam dadaku meledak. Bukan amarah, melainkan rasa kecewa yang selama ini kupendam. Tak apa jika Ibu membenciku dan menganggapku tak ada, tapi ini beda masalahnya. Bukankah jika kau benar benar membenciku, kau ingin sekali melihatku terluka maka kau hanya perlu mengatakannya? Tapi kenapa dia malah diam saja, ini semakin membuatku terluka karena ibu sama sekali tak berniat mengatakannya.

"Memangnya kenapa kalau aku tak mengatakannya padamu? Apa peduliku dengan hal itu?" kata kata yang ia keluarkan serasa menusuk hatiku, mencincangnya menjadi bagian bagian kecil yang sulit di kumpulkan kembali. Hatiku perlahan menjadi debu dan terbang terbawa oleh angin lembut yang datang.

Ternyata selama ini anggapanku salah. Tak semua ibu didunia baik hati, tak semua ibu didunia peduli pada anaknya. Bukankah aku sudah sering melihat beritanya ditelevisi? Banyak ibu yang membuang anaknya sendiri, banyak ibu yang mengaborsi kandungannya sendiri. Hanya karena dia baik pada Mana, itu bukan berarti dia juga akan baik padaku. Mana adalah putrinya, sedangkan aku siapa? Aku hanyalah anak kandung yang bahkan tak dianggap olehnya.

"Kenapa Ibu berkata seperti itu? Aku juga adalah anak Ibu. Apa Ibu pikir hanya Mana saja yang merupakan putrimu. Tidak bisakah kau melihat gadis yang sedang berdiri dihadapanmu?" akhirnya kata kata itu keluar dari mulutku. Tak tahan hatiku untuk mengatakan hal itu. Tapi bahkan dia hanya diam saja mendengar kalimatku.

"Aku tak punya seorang putri bernama Riana," jawaban dingin darinya akhirnya menyadarkanku bahwa seorang wanita yang sedang duduk santai disana bukanlah ibuku. Aku sudah mencoba memikirkan hal itu, tapi tetap saja hati ini tak mau menerimanya. Baru kali ini aku merasa luka yang sangat dalam terbentuk. Napasku menjadi sesak karenanya.

"Kenapa? Kenapa kau tak mengakuiku? Apakah karena aku anak yang dikutuk? Apakah karena hal itu, sehingga aku tak lagi menjadi putrimu? Apa karena itu kau jadi menyayangi Mana dan membuangku?" pertanyaan itu keluar sendiri dari mulutku, tak ada tempat yang tersisa dihatinya untukku. Bagaimana bisa kau meninggalkan putrimu hanya karena alasan seperti itu? Bukankah kau terlalu kejam?

Hening menggantung canggung, dia tak berkata apapun lagi, aku juga tak bertanya apapun lagi. Hatiku hancur sudah, pepatah yang ingin kuyakini kini pecah berkeping keping. Pepatah itu dusta, lihatlah ibuku ini... Apa ini yang disebut kasih sayang seorang ibu? Dan dari awal, kasih sayang keluarga itu seperti apa? Tak pernah kurasakan apa yang dinamakan kasih sayang keluarga karena pada akhirnya Mana juga berubah menjadi dingin dan mengabaikanku.

"Padahal kurasa kau ibuku, walau mengabaikanku kurasa kau orang yang baik. Tapi kenyataannya sepertinya bukan begitu, bagaimana bisa kau menghapus putrimu sendiri dari hidupmu?" tanyaku dengan nada lirih. Pandanganku menunduk kebawah. Kurasakan mataku menjadi hangat dan berair. Ah.. Apakah kau akan turun lagi, wahai air mata? Tolong jangan turun sekarang karena aku tak mau menangis dihadapan siapapun lagi.

"Aku bukan orang yang baik, dan aku juga bukan lagi ibumu" katanya tanpa sedikitpun memandangku. Dia masih saja sama, tetap memandang daun hijau dengan tatapan tak pedulinya. Tidak bisakah kau lihat disini kalau putrimu sedang menangis?

"Padahal aku tak pernah meminta apapun padamu. Aku tak pernah meminta kasih sayang ataupun perhatianmu, yang kuminta adalah sebuah kata yang menunjukan kalau aku masihlah putrimu. Tapi apakah itu masih terlalu berat? Apakah terlalu berat bagimu untuk mengakuiku sebagai putrimu? Kurasa kau itu ibu yang buruk" aku mengatakan hal itu dengan lantang, dia yang sedang mencengkram cangkir teh sekarang terhenti diudara. Sambil menatap tehnya dengan pandangan iba, Ibu berbisik pelan yang bahkan bisikan itu tak sampai ketelingaku.

"Yah.. Kurasa aku juga ibu yang buruk" dirinya menatap teh yang masih mengepulkan sedikit uap dengan tatapan mata yang sulit dimengerti. Didalam teh yang nampak coklat itu terpantullah wajahnya yang sendu.

"Kalau begitu aku permisi, aku takkan menganggap atau menyebutmu dengan panggilan ibu lagi" kataku sambil sedikit membungkukan badan.

Aku sudah mendapat jawabannya, kenapa aku harus merasa sedih? Bukankah sudah biasa kalau aku tak pernah dianggap keluarga? Kenapa aku harus memikirkannya? Ingin rasanya aku berpikir seperti itu saja.

Kurasakan air mataku tak lagi menetes, hatiku membeku layaknya es. Seolah diriku tenggelam dalam lautan luka dalam.

"Ibu, apakah kau kembali menemukan sesuatu yang menarik?" tiba tiba Mana masuk kedalam ruangan. Itu terjadi tepat saat aku hendak membuka pintu yang tadinya tertutup. Dia dan aku tepat berpapasan dibingkai pintu.

Wajahnya nampak terkejut saat melihatku. Tapi itu bukan lagi masalahku, aku tak peduli dan aku takkan lagi peduli.

Tangan Mana terulur, seolah hendak meraihku yang melewatinya begitu saja. Tapi bahkan tangan itu kembali ditarik karena keputusan dalam otaknya yang berubah. Dia membiarkanku pergi, pergi sendiri menuju keheningan abadi.

****

Pada akhirnya aku berjalan jalan dibawah hujan yang lebat ini. Oh hujan... Kau pasti senang sekali melihatku menangiskan? Tapi hari ini aku takkan menangis,  karena tak ada lagi yang patut kutangisi. Sejak awal aku tak memiliki apapun, karena itulah aku takkan menangis walau kau merebut semua yang berharga bagiku. Apakah karena kutukan ini, kau merebut hal yang paling berharga bagiku? Memangnya apa yang kudapatkan sebagai balasannya?