Chereads / Ramalan Takdir / Chapter 20 - Informasi Istana Bayangan

Chapter 20 - Informasi Istana Bayangan

"Rumah seorang penyihir? Jadi inikah rumah yang dibicarakan orang orang?" tatapku tak percaya sambil terus melihat sekitar. Bagaimanapun disini hanya ada buku, bagaimana bisa mereka menyebut ini sebagai rumah penyihir?

"Kanapa? Apakah seaneh itu?" tanyanya sambil menuangkan teh dicangkir dan meletakkannya dihadapanku. Aku menggeleng malu karena mungkin reaksiku yang terlalu berlebihan. "Didunia sangat jarang ada yang membaca buku, apalagi buku tua yang telah lama, mereka langsung menamainya rumah penyihir begitu masuk. Lagi pula itu mungkin juga karena kekuatanku yang akhir akhir ini kugunakan".

Mendengar penjelasan darinya sepertinya aku langsung paham kenapa mereka memanggilnya begitu. Selain ramuan ramuan tak jelas, lingkaran lingkaran yang berpotongan, yang menjadi salah satu ciri penyihir dalam cerita rakyat adalah buku buku mantranya. Tapi tetap saja, mengetahui toko buku itu merupakan rumah penyihir membuatku bahkan tak bisa berkata kata.

"Baiklah, Nona. Apa yang sebenarnya hendak kau katakan?" tanyanya dengan raut muka serius. Tak ada lagi sisa keramah tamahan, sekarang digantikan raut muka dingin yang nampak bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Dia berkata mungkin bisa membantu menyelesaikan masalah yang selama ini menghantui diriku. Dengan hati berdebar akhirnya aku mulai membicarakan masalah ini dengannya, kuharap dia tak menganggapku gila. "Apa kau tahu tentang kutukan?"

Mendengar pertanyaanku, dia langsung mengerutkan alis dan memasang muka terkejut. Aku tahu bahwa dia pasti tak menyangka kalau aku mengatakan hal itu tiba tiba.

"Entahlah, hanya sedikit yang kutahu tentangnya" katanya dengan raut muka percaya diri. Seketika harapan masalahku akan terselesaikan menguap bagaikan air di Gurun Sahara, hilang tak bersisa. "Hei, aku memang bilang kalau aku tahu sedikit tentangnya, tapi itu bukan berarti kalau aku sama sekali tak tahu apapun tentangnya. Apapun itu, aku siap mendengarkan ceritamu"

Aku hanya memghela napas mendengar pembelaannya. Sudahlah, jangan berharap apapun tentangnya. Tapi setidaknya menceritakan masalahku sedikit mungkin akan menambah ringan hati ini.

Dan pada akhirnya, aku tetap bercerita panjang lebar padanya. Membutuhkan waktu lama menceritakan segalanya, tapi kurasa dia juga menikmati ceritaku jadi tak masalah kalau aku memanjangkannya.

"Jadi kesimpulannya, kau tahu kalau dirimu dikutuk seseorang, tapi sekarang kau tak tahu siapa orangnya? Apalagi itu sudah lama dan terjadi ketika kau belum lahir, jadi tak ada petunjuk yang tersisa? Dan sekarang kau sedang mencari seseorang berkemampuan yang bernama Eiji untuk membantumu menjelaskan segalanya, begitu?" tanyanya memastikan, aku hanya mengangguk mengiyakan. "Dan parahnya lagi ternyata kau adalah orang yang memiliki Buku Masa Depan, begitu pula saudarimu. Kau tak tahan jika dia harus menganggung semua penderitaan, jadi atas desakan ayah dan dorongan hati, kau mengambil buku itu walau kau tahu dirimu akan semakin menderita karenanya".

Mendengar pernyataan lanjutannya, aku hanya bisa menundukan kepala. Tak lama terdengar bunyi helaan napas lelah dari mulutnya. Yah, dia pasti berpikir aku tak masuk akal.

"Ternyata kau orang yang sangat baik yah" gumamnya pelan. "Dan kau malah terjebak diantara kebaikanmu sendiri"

"Diamlah! Aku tak mau mendengar pendapat menyakitkanmu. Jadi, apakah kau tahu sesuatu?" tanyaku pada akhirnya yang malah dibalas senyum tak bersalah. Raut wajah dingin yang terlihat serius dan bertanggung jawab kini hilang entah kemana.

"Ah... Aku memang tak tahu akan semua hal yang kau ceritakan, Nona. Tapi aku tahu siapa yang tahu jawabannya" dia menghela napas sambil mengamati perubahan ekspresiku. Dan hanya tatapan curiga yang ia dapatkan, aku sama sekali tak mempercayainya. "Benarkah? Bagaimana bisa aku mempercayaimu jika kau bahkan tidak tahu jawabannya?"

"Tenang, Nona. Sumber informasi ini dapat dipercaya! Aku berkata seperti ini demi Nona" dia panik karena aku sama sekali tak mempercayainya. Aku menghela napas sebelum akhirnya menanyakan alamatnya, "Jadi dimana aku harus menemuinya?"

Mendengar pertanyaanku, dia diam membeku. Sepertinya dia tak menyangka kalau aku akan memercayai dan menanyakan alamatnya. Jadi yang sebenarnya dia harapkan itu apa?

"Sebenarnya seberapa penting jawaban pertanyaan itu bagi Nona?" tanyanya lirih. Raut mukanya nampak perih. Aku tak tahu kenapa dia berekspresi seperti itu. "Itu sangat penting, aku ingin tahu kenapa aku dikutuk dan itulah tujuanku selama ini bertanya kesana kemari"

"Tempat itu berbahaya, apakah Nona akan tetap pergi jika kuberitahu?" dia menatapku lurus, meminta jawaban jujur. "Entahlah, mungkin aku akan pergi walaupun kau sudah melarangnya"

"Oh begitu yah.." dia merengut sedih, tapi aku tak bisa melakukan apapun untuk menghiburnya. "Didalam hutan yang gelap, kau akan menemukan sebuah istana berwarna hitam. Orang orang memanggilnya Istana Bayangan. Disanalah tempat terpercaya untuk bertanya. Tanyakan apapun pada orang yang tinggal disana, niscaya kau akan mendapatkan jawabannya" katanya muram sambil menunjuk peta yang diambilnya dan direntangkan diatas meja didepan kami. Aku membuka mata dan telinga lebar lebar, mencoba mendengarkan dengan seksama apa yang dia katakan.

"Sepertinya sama sekali tak berbahaya"

Mendengar gumamanku, dia langsung mengerutkan alisnya. Lelaki ini pasti tak menyangka kalau aku akan mengatakan hal itu.

"Ini memang tak terlihat berbahaya, namun ketahuilah bahwa bahkan hanya dengan letaknya saja sudah menjadi bahaya tersendiri. Letaknya ditengah hutan yang misterius dan belum pernah tersentuh manusia, kita tak tahu apa yang menanti kita setibanya disana" katanya hati hati.

"Belum tersentuh? Lalu bagaimana bisa kau tahu kalau ada tempat seperti itu?" tanyaku bingung. Dia tertegun sejenak karena pertanyaan dariku. Dengan suara lirih, dia menjawab "Banyak orang yang kembali dari sana"

"Bukankah artinya tak bahaya jika dikunjungi banyak orang?" aku menatapnya curiga, terlalu banyak bagian rumpang dari ceritanya.

"Bukan! Itu malah tempat yang sangat berbahaya. Seberapa banyak orang yang selamat, sebanyak itu juga orang mati sia sia" saat mendengar dia mengatakan hal itu, entah kenapa bulu kudukku langsung merinding.

"Apa?"

"Nah, itulah bagian menakutkan dari Istana Bayangan. Jika kau bertanya tentang sesuatu, kau harus membalasnya dengan hal yang setara juga" dia mengatakan hal mengerikan itu sambil mendekatkan kepalanya padaku dan dengan nada yang sedikit berbisik.

"Apa maksudmu?" kataku gagap.

"Entahlah, aku juga kurang mengerti. Mungkin jika kau bertanya tentang apel maka kau harus memberikan apel. Dan mungkin jika kau bertanya tentang hidup, kau harus menyerahkan hidupmu"

"Itu terdengar mengerikan" gumamku pelan. Dia mendekatkan kepalanya lagi tanda dia belum selesai berbicara.

"Itu belum seberapa karena banyak juga orang yang menghilang dihutan sekitar Istana Bayangan saat pulang maupun pergi kesana. Apakah itu ulah binatang buas atau yang lainnya, sampai sekarang tak ada yang tahu" katanya kemudian. "Dan tak ada seorangpun dari yang pernah kembali dari sana yang ingat dengan jelas bagaimana rupa istana itu, mereka hanya mengingat bayang bayangnya saja. Mungkin karena itulah namanya menjadi Istana Bayangan".

"Jadi, apakah aku masih tetap akan pergi kesana?" tanyanya kemudian. Aku hanya bisa menelan ludah ragu.

Semua yang ia ceritakan membuat hatiku bimbang memutuskan pergi atau kembali saja. Tapi ini adalah jawaban yang telah kucari dan kunanti selama setahun terakhir ini.

"A-aku akan pergi. Bukan, lebih tepatnya aku harus pergi" kataku menguatkan hati. Aku sudah mencari selama ini, tak mungkin aku meninggalkan kesempatan berharga ini.

"Hah... Semoga kau tak menyesali apa yang kau pilih" dia menghela napas. Dia sekarang jelas tahu kalau percuma saja menghentikanku.