Akhirnya aku berjalan sesuai petunjuk yang kuperoleh tadi. Dalam hati aku berharap bahwa yang dimaksud penyihir oleh mereka adalah Eiji, tapi sepertinya harapan itu hanya kemungkinan kecilnya saja.
Setelah menemui simpang tiga, aku segera belok kanan. Tapi setelah itu tak ada lagi yang kutemukan, tak ada toko mencolok yang mereka ceritakan. Setelah lama berputar putar, aku tak menemukan satu petunjuk yang dapat mengantarkanku pada tempat penyihir itu. Apakah aku salah dengar tadi? Kuarasa aku bukan orang yang akan salah dengar ketika seseorang menjelaskan alamat. Tapi apa mungkin ketiga gadis itu salah memberikan alamat? Itu juga sepertinya tidak mungkin, karena bagaimanapun mereka sepertinya senang berbagi apa yang mereka sukai.
"Dimana sebenarnya tempat itu berada?" kataku kesal saat mencarinya tapi tak kutemukan jua. Akhirnya aku menyerah, memilih masuk kedalam sembarang toko yang juga kebetulan berada ditempat itu.
Buku dimana mana, ruangnya juga nampak usang dan lapuk. Sepertinya ini toko buku, aku masuk kedalam toko yang sangat berbeda dengan tujuan awal. Tapi sudahlah tak mengapa, tanpa sadar kaki ini melangkah menelusuri rak rak yang berjejeran. Kakiku berhenti karena sebuah suara memanggil.
"Sepertinya kau suka buku yah" tanya sebuah suara dibelakangku. Aku melompat karena kaget begitu mendengar suara yang datang tiba tiba. "Ah.. Kau kaget yah, maaf"
Setelah membalikkan badan, terlihatlah jelas sosok yang sedang berbicara denganku. Seorang pria muda berambut pirang. Dia mengenakan kacamata dan membawa beberapa buku dipelukannya. Melihatnya entah kenapa mengingatkanku pada lelaki berambut hitam yang sedang kucari, kurasa hawanya mirip dengannya.
"Ah, maaf karena tak melihat ada orang" kataku sopan. Karena dia berlaku sopan, maka aku juga harus menjawabnya dengan sopan. Dia tersenyum lembut melihat kesopananku.
"Kurasa kau suka membaca buku, kau mencari buku tentang apa?" tanyanya sambil memeriksa tempat dimana tadi tanganku menjangkau. Aku menelan ludah gugup, sebenarnya aku disini karena hanya asal masuk saja. Akhirnya, dengan berat hati kukatakan apa tujuanku sebenarnya,
"Aku hanya sedang berjalan jalan, kebetulan aku menemukan toko ini"
"Oh... Tapi kalau kau berjalan kemari, kau pasti suka buku bukan? Kau suka cerita tentang apa?" seolah tak bisa mengahiri percakapan, dia terus menanyakan seleraku.
"Entahlah, aku suka buku apa saja. Tapi belakangan ini aku suka membaca tentang fantasi, sihir dan hal hal yang berhubungan dengan mistis" kataku sambil mencoba tersenyum. Aku membacanya bukan karena aku menyukainya, tapi ini adalah buku buku yang diberikan Eiji saat mengajariku. Walau agak sulit, aku tetap saja harus membacanya. Dia tersenyum mendengar kalimatku, senyum yang nampak punya maksud lain.
"Apakah kau sedang mencari solusi tentang masalahmu?" dia menatapku dengan tatapan menyelidik. Aku hanya bisa mengerutkan dahi begitu mendengar perkataannya. "Masalah?"
Sepertinya dia tahu apa yang sedang kulakukan disini, dia sepertinya tahu betul apa yang sedang terjadi dalam hidupku. Aku tahu sekarang, sesuatu yang mengingatkanku pada Eiji pada dirinya. Dia juga mirip Liana. Ketiga tiganya seperti tahu apa yang coba kusembunyikan.
"Ya, masalah serius yang sedang kau hadapi" dia tersenyum. Senyum yang penuh maksud dan rahasia. Bulu kudukku berdiri saat melihat senyumannya.
"Bagaimana bisa kau tahu?" kataku gagap. Yakinlah diri ini kalau dia benar benar tahu masalahku. Melihatnya dari sudut pandang lain malah terasa mengerikan.
"Tentu saja aku tahu, Nona. Aku bisa melihat apa yang biasanya tak terlihat oleh orang lain. Mataku ini spesial" katanya sambil tertawa renyah. Dia mencairkan sendiri suasana yang sepertinya makin lama malah akan bertambah suram.
"Mata yang istimewa?" gumamku lirih. Teringat kembali hari hariku dulu saat Eiji masih sering mengunjungiku. Dia juga pernah mengajarkanku materi tentang itu.
****
"Mata yang istimewa? Apa maksudmu?" tanyaku penasaran pada Eiji yang sedang tiduran malas disofa. Dia mengangkat tangannya dengan malas ke udara, sepertinya dia bosan mengajariku hal baru.
"Masa seperti itu saja tak tahu, itu artinya istimewa" katanya kesal. Tapi yang seharusnya kesal disini adalah aku, sebagai guru dia benar benar tak menjelaskan apapun.
"Apa maksudmu mata yang bisa melihat sesuatu yang tak terlihat?" tanyaku sambil mengingat pengertian istilah mata batin yang akhir akhir ini populer. "Nah, itu kau tahu!"
"Jadi maksudnya kita bisa melihat hantu, begitu? Siapa saja yang memiliki mata seperti itu?" tak terasa semangat kembali membanjiri diriku yang sebelumnya bosan dengan Eiji yang kerjanya hanya tidur-tiduran.
"Hantu? Jadi kau percaya dengan hantu?" dia tertawa keras mendengar kalimatku. Yah, baginya hantu itu sama sekali tak masuk akal. Tapi, didunia ini banyak hal yang memang tak bisa dijelaskan oleh akal.
"Melihat sesuatu yang tak terlihat manusia biasa, misalnya saja emosi, energi dan hal hal yang berhubungan dengan jiwa" terang Eiji pada akhirnya. Aku memikirkannya dengan raut muka iri, "Aku juga ingin memiliki kekuatan itu..".
"Kau kehilangan akal yah?! Memiliki kekuatan itu tak selamanya membuat orang iri, apalagi kekuatan seperti itu, mungkin didunia ini kau hanya akan dipanggil orang gila yang suka berkhayal atau monster yang menghancurkan segalanya" Eiji langsung marah mendengar gumamanku, dia nampaknya tersinggung dengan apa yang kukatakan. Tapi bukankah itu wajar untuk iri kepada orang yang lebih kuat dari kita?
"Iya, aku cuma bercanda kok" aku menggelembungkan pipi sebal. Akhir akhir ini dirinya selalu sensitif dengan kekuatan, sepertinya bukan begitu, akhir akhir ini akulah yang terlalu kepo dengan kekuatan orang lain.
"Kekuatan itu bukan bahan bercandaan. Terkadang itu bisa membawa berkah, namun lebih banyak membawa masalah. Jangan mengatakan sesuatu jika kau belum tahu pasti akibatnya."
Dan begitu aku mengingat perkataan Eiji tentang kekuatan, diriku juga teringat Liana, orang yang sama sama punya mata istimewa.
"Aku punya mata yang istimewa, dia bisa melihat apa yang orang lain tak bisa lihat. Karena itulah aku tahu tentang kutukanmu dan dunia luar sana" katanya suatu hari dengan diriku yang sudah bosan mendengarkan.
"Kekuatan yah... Lama kelamaan aku membenci kata itu. Saat aku belum mendapat kekuatan ini, aku pikir itu menyenangkan jika bisa mempunyai kekuatan seperti dinovel fiksi, tapi kenyataannya malah sebaliknya, ini terasa sangat menyeramkan" aku mengatakan hal itu dengan kepala yang menempel diatas meja, tanda betapa bosannya aku. Lagi pula aku mengatakan itu dengan nada lelah seolah menunjukan kalau aku benar benar serius dengan kalimatku.
"Kau benar. Pertama kali aku memilikinya aku bahkan ketakutan setengah mati, lalu depresi tiada henti. Tapi sekarang berbeda, selama aku bisa menyelamatkan orang lain dengan kekuatan ini, maka aku tak apa menganggungnya sendiri" Liana berkata bijak, yang sayangnya sama sekali tak menyentuh sanu bariku.
Aku malah cemberut dan tak terima perkataannya, "Kau bisa menyelamatkan orang lain lewat kekuatan dan kemampuan yang kau miliki, tapi tidak denganku. Sebagai pemilik Buku Masa Depan, aku hanya bisa melihat masa depan orang lain tanpa bisa merubahnya sedikitpun. Ironis sekali, bayangkan kau tahu kalau salah satu keluargamu akan meninggal, tapi kau tak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkannya. Itu hanya membuat hatimu semakin lara, bukan?"
Dan sayangnya percakapan itu berakhir begitu saja diudara, tak ada dari kami yang ingin membahas penderitaan yang tiada akhirnya.