Beberapa hari kemarin ternyata salah upload chapter dan baru sadar hari ini, chapter dengan judul Sleepover itu harusnya di post setelah chapter yang judulnya Best Friends. Jadi ururtannya Best Friends > Sleepover > Kidnapping (1). So sorry😢😢 Sekarang sudah urut chapternya. Maaf kalau sempat bikin pusing T_T
Btw, ini baru pertama bikin cerita beginian, salah di sana-sini pasti banyak. Kritik dan saran akan sangat membantu. Terima kasih dan selamat membaca❤❤
.
.
.
.
Semalam, setelah Raymond menelpon manager resto untuk menghandle pekerjaannya, kami berdua menonton film bergenre drama komedi hingga aku tertidur pulas.
Aku terbangun sebelum matahari menampakkan sinarnya, seperti sudah terekam di alam bawah sadarku. Di luar pastilah masih sangat gelap. Aku pun sedikit menggeliat. Mencoba meregangkan tubuhku, namun pergerakanku ini sangat amat terbatas karena lengan kekar Raymond sedang memelukku erat.
Jika beberapa hari kemarin aku terbangun dengan pemandangan berupa dada dan wajah Eckart, hari ini aku terbangun dengan melihat wajah Raymond yang masih tertidur pulas. Entah kenapa sedikit rasa rindu menyeruak di hatiku.
Ngomong-ngomong soal Eckart, hari ini aku harus ke rumahnya. Aku masih harus melakukan tugasku.
Dengan sangat perlahan aku mencoba mengangkat lengan Raymond yang sedang melingkar di pinggangku. Alih-alih melonggarkan pelukan, Raymond justru memelukku semakin erat. Aku dulu mungkin terbiasa dengan hal seperti ini, tapi sekarang entah kenapa rasanya sedikit aneh.
"Ray... Lepas, aku harus bangun."
Raymond membuka mata, mengangkat kepalanya, mengintip sebentar ke arah nakas yang berada di belakangku dan kemudian menjatuhkan kepalanya lagi sambil memejamkan matanya kembali.
"Baru jam lima, lima belas."
"Justru itu, aku harus ke rumah Eckart. Aku harus melakukan pekerjaanku."
Mata yang tadi masih tertutup rapat kini terbuka dengan sempurna. Ray menatapku tajam, "Tidak perlu kesana, biar nanti orangku yang urus."
"Tapi aku sudah janji pada Nuri."
"Bocah itu pasti sudah lupa."
"Tidak, Nuri tidak mungkin lupa."
"Pokoknya sekali tidak tetap tidak. Hari ini kamu tidak boleh kemana-mana."
Aku menggembungkan pipiku tanda protes.
"Jangan menatapku seperti itu. Aku tetap tidak mengizinkanmu."
"Jahat." Ujarku sambil memunggungi Raymond.
"Hey, lihat aku." Raymond berupaya membalikkan tubuhku untuk menghadapnya kembali.
"No way, aku tidak mau lihat kalau kamu belum mengizinkanku."
"..."
"Diam berarti iya." Ujarku asal.
Raymond mendengus kesal, "Baiklah, tapi hadap sini dulu."
Secepat kilat aku memutar badanku kembali dan sekarang berhadapan dengan Raymond. Aku tersenyum sumringah.
"Ada syaratnya."
"Apa?"
"Kamu harus pergi denganku. Kita hanya akan mengantar, menjemput Nuri dan menjaganya di sini, di tempatku. Tidak di rumanya."
"Tapi pekerjaan rumah-"
"Orangku akan mengurusnya."
"Tapi-"
"Tidak ada tapi-tapian. Tidak pergi dan ingkar pada Nuri atau pergi denganku dan kita melakukan seperti yang tadi aku jelaskan."
Aku berpikir sejenak. "Hari ini saja kan?"
"Tidak, semua akan seperti ini setiap hari sampai si brengsek itu meminta maaf padamu."
Raymond memang selalu seperti ini. Jika sudah bilang A maka harus A. Tidak bisa diganggu gugat.
Aku ingat saat tahun pertama aku kuliah. Waktu itu aku sedang dalam masa pemberontakanku pada Selim tua. Aku yang niatnya ingin hidup mandiri dan keluar dari rumah, selalu dikirimkan bodyguard hampir setiap hari. Mereka akan standby di area universitas untuk menjemputku pulang.
Raymond yang baru saja menjadi temanku itu bersedia mengatur jadwalnya agar sama dengan jadwal perkuliahanku, dengan begitu dia bisa menyelamatkanku dari pria-pria bertubuh gagah bak algojo itu. Raymond melakukan ini hingga Selim tua itu akhirnya menyerah dan tidak pernah lagi mengirimkan bodyguardnya untuk menjemputku.
Karena masalah bodyguard ini juga Raymond bahkan bersedia menampungku di apartemennya selama kurang lebih dua tahun.
Selain itu, ketika aku dalam masa sulit menghadapi pertunanganku yang sangat kacau, Raymond kembali mengulurkan tangan padaku. Membantuku mencarikan informasi keberadaan Ralph. Bahkan ketika pada akhirnya kami menemukan kebuntuan, Raymond ada di sampingku. Menguatkankanku untuk kembali bangkit dan menata hidupku kembali.
Aku berhutang banyak pada Raymond. Aku tidak yakin apakah aku dapat membalas semua kebaikannya padaku.
"Ray..."
"Hmmm..." Ujar Ray sambil bangkit dari tempat tidur.
Dia melangkah sambil memegang ponsel yang kini menjadi fokusnya. Jari-jarinya sibuk mengusap layar ponsel dan kemudian menempelkan benda itu ke telinganya.
"Hallo..." Ujarnya.
"..."
Raymond menjauhkan ponsel dari telinganya dan menoleh ke arahku, "Aku tinggal sebentar, jangan keluar dari kamar okay."
Aku mengangguk, "Okay."
Raymond kemudian pergi meninggalkanku sendiri yang sudah mulai meringkuk kembali di bawah selimut.
Aku sudah sangat mengantuk sekali ketika Raymond kembali masuk ke kamar. Aku tidak mengindahkannya yang sekarang sudah duduk di bibir tempat tidur tepat di sampingku. Tangannya mengelus rambutku lembut.
"Mau tidur lagi?"
Aku hanya menatapnya dan mengangguk.
"Mau dibangunkan jam berapa?"
"Mnmm.. Jam tujuh."
Raymond kemudian mengecup pucuk kepalaku. "Siap komandan."
Karena ciuman Raymond tadi, aku yang tadinya sudah memejamkan mata kemudian membuka mataku sepenuh. Wajahnya sedang tersenyum sumringah.
"Kenapa senyum-senyum?"
"Tidak apa-apa. Ayo cepat tutup mata lagi." Ujarnya sambil berusaha menutup mataku.
Aku menepis tangan Raymond, "Tidak mau."
"Apa mau yang lainnya?" Godanya.
Tanganku yang tadi berada di bawah selimut kini ku tarik keluar dan memukul pelan lengan Raymond.
"Ouch... Kenapa memukulku?" Raymond protes sambil mengusap lengannya.
"Tidak tahu." Aku menggembungkan pipiku dan dengan cepat berbalik, memunggungi Raymond.
Raymond kemudian ikut berbaring di belakangku. Tangannya mulai menyusup ke bawah selimut dan kemudian memelukku. Aku sudah terbiasa dengan tingkah Raymond yang seperti tidak mempermasalahkannya.
Aku menoleh kebelakang, "Tadi kamu telpon siapa?"
"Eckart dan orangku."
"Memangnya Eckart bisa di hubungi? Ini masih terlalu pagi."
"Haaaahhh... Cerewet sekali, ayo cepat tidur lagi." Raymond mempererat pelukannya.
"Kamu bilang apa?"
"Seperti perjanjian kita tadi, kita hanya mengantar, menjemput dan menjaganya di apartemenku. Pekerjaan rumah orangku yang urus."
Cup
Raymond mendaratkan sebuah ciuman di bibirku.
"... Ayo tidur lagi."
##
Jauh di pinggiran kota di sebuah gedung tua yang sudah usang seorang laki-laki sedang berhadapan dengan bebeberapa laki-laki lain yang bertubuh jauh lebih besar darinya. Namun, walaupun kalah dalam segi ukuran, laki-laki itu tidak merasa takut sama sekali, justru mereka yang bertubuh kekar itu terlihat tunduk padanya.
Laki-laki itu kemudian mengeluarkan sebuah foto dari dalam kantung jaketnya.
"Bawa omega ini padaku."
Foto itu kemudian di terima oleh salah satu dari ke empat laki-laki kekar itu. Lalu, laki-laki yang sepertinya adalah bos mereka itu kembali mengeluarkan sebuah kertas yang ukurannya jauh lebih kecil dari kedua foto tadi.
"Bawa ke alamat ini. Pastikan jangan ada luka sedikitpun."
Kertas itu kembali di terima oleh laki-laki yang menerima foto tadi, "Baiklah. Tapi aku tidak bisa menjamin tentang lu-"
Bugh!
Belum sempat laki-laki itu menyelesaikan kata-katanya, sebuah pukulan melayang dan mendarat tepat di wajahnya. Cukup keras hingga membuat tubuh kekarnya oleng.
"Sudah kukatan, tanpa luka. Kalau sampai tergores sedikit saja, kupastikan bukan hanya goresan yang akan kalian terima."