Chereads / Let Go (Omegaverse) / Chapter 20 - Kidnapping (2)

Chapter 20 - Kidnapping (2)

"Len, ayo cepat." Ujar Raymond yang sedang terburu-buru.

Aku menghela nafas, "Aku bisa jemput Nuri naik taksi."

"Tidak, aku yang antar."

Ugh, aku malas sekali bedebat dengan Raymond. Satu, karena tidak akan pernah menang. Dua, kalaupun aku yang benar, maka akan kembali pada poin pertama. Dia selalu punya cara membalikkan keadaan.

Aku baru akan meraih hoodieku, tapi Raymond jauh lebih cepat, hoodie itu sudah di tangannya. Kemudian tangannya yang bebas menarik lenganku dan menyeretku dengan langkah cepat menuju pintu. Aku pasrah.

Setelah mengenakan sepatu, aku dan Raymond keluar dari apartemennya dan berjalan beriringan menuju lift. Raymond tampak rapi dengan mengenakan celana berwarna abu tua dipadukan dengan polo shirt berwarna putih. Penampilannya bertolak belakang dengan aku yang hanya mengenakan kaos hitam tanpa lengan yang kebesaran dengan sweatpants berwarna hitam.

Ting

Pintu lift terbuka, tidak ada siapa-siapa disana. Aku melangkah masuk di susul oleh Raymond. Dia menekan tombol paling bawah, basement.

Raymond mendapat panggilan beberapa saat yang lalu. Sepertinya sesuatu terjadi di restonya. Aku tidak berani bertanya apapun pada Raymond. Jujur saja, sebenarnya tidak ingin merepotkan Raymond karena semalam dia sudah bolos kerja, bahkan pagi ini hingga beberapa saat sebelum telpon itu masuk Raymond masih bersikukuh untuk menemaniku.

Kini aku sudah berada dalam mobil Raymond yang melaju dengan kecepatan normal. Tangannya sibuk menyetir, tapi mulutnya sibuk berbicara dengan seseorang melalui earphone yang terpasang di salah satu telinganya.

Aku memilih menatap gedung-gedung yang berjajar dari balik kaca mobil. Cuaca siang ini tidak terlalu cerah. Beberapa awan kelabu menghiasi langit yang sepertinya akan turun hujan beberapa jam lagi.

"Lennox."

Aku yang tadinya sedang memandang keluar jendela kini menoleh dan menatap Raymond, "Ada apa?"

"Nanti kamu dan Nuri tunggu di sekolah, jangan pulang berdua okay?"

Aku menghela nafas dan kembali menatap keluar. Tidak akan bisa membantah. Raymond, jika sudah menyangkut diriku dia akan menjadi protektif. Dengan kembalinya Ralph dan juga hubungan burukku dengan Eckart membuatnya yang beberapa tahun terakhir melunak kini kembali semakin protektif.

"Jawabanmu Lennox." Ujarnya

"Iya, iya. Cerewet sekali, kamu bukan ayahku."

Setelah percakapan tadi kami tidak membicarakan apapun. Raymond fokus menyetir sedangkan aku, fokus menatap jalanan yang lama kelamaan semakin terasa familiar.

Kami akhirnya sampai di sekolah Nuri. Raymond memakirkan mobilnya di area parkir yang sedikit lebih penuh dari biasanya. Mungkin karena hari ini hari Jumat dan para orang tua super sibuk meluangkan waktu untuk menjemput anak-anak mereka.

"Pakai hoddienya dulu." Ujar Raymond sambil memberikan hoodie yang baru saja di ambil dari kursi belakang.

"Terimakasih." Aku menerima hoodie hitam yang diberikan Raymond dan memakainya.

Aku turun lebih dulu di susul oleh Raymond di belakangku. Seperti biasa, aku menuju bangku taman tempat aku biasa menunggu Nuri. Bangku itu menjadi spot favoritku. Selain tidak terlalu ramai - bahkan tergolong sepi - spot itu juga tidak terlalu panas. Pohon mahoni tua berdiri kokoh tak jauh dari sana, melindungi siapa saja yang duduk di bangku itu dari sengatan matahari.

Aku duduk dan kemudian Raymond memasangkan coat hitamnya padaku

"Pakailah. Cuaca mulai dingin sekarang."

Setelah memasangkan coat, aku kira Raymond akan segera pergi, ternyata dia tetap mematung di depanku. Aku mendongak dan menatapnya. Aku tahu dari raut wajahnya, pikirannya sudah tidak di sini, melainkan ke tempat lain.

Ku sentuh tangan Raymond yang sejak tadi menegang, "Ray, aku tunggu di sini. Pergilah."

Dia mengacak rambutnya sendiri, frustasi. "Argh.. Aku tidak ingin meninggalkanmu, tapi urusan resto itu-"

"Aku tidak akan kemana-mana."

Raymond menatapku sesaat dan kemudian mendaratkan kecupan singkat di keningku. "Aku akan kembali secepatnya. Kamu bawa ponsel kan?"

Aku mengangguk, "Ya. Jadi jangan khawatir okay."

Raymond kemudian pamit, sesekali dia akan menoleh ke belakang untuk melihatku. Aku akan melambaikan tangan dan tersenyum setiap kali Raymond melakukan itu.

Pandanganku terus mengikuti Raymond hingga dia pergi bersama mobilnya yang melaju dengan cepat. Dasar, kalau sudah terburu-buru Raymond pasti seperti itu. Menyetir dengan ugal-ugalan tanpa berpikir dia hanya memiliki satu nyawa.

Aku mengeluarkan ponsel dari saku kantor celanaku. Melirik jam sesaat, lima belas menit lagi bel sekolah Nuri akan berbunyi.

Aku mengecek pesan masuk yang tidak terlalu banyak, karena memang aku tidak menyimpan banyak kontak di ponselku. Hanya ada Mama, Papa, Raymond dan Eckart, sedangkan klienku, aku memilih melakukan kontak melalui email.

Ada enam pesan masuk dari Eckart yang isinya permintaan maaf dan juga ajakan untuk segera kembali ke rumahnya. Ada juga pesan dari Mama, yang isinya selalu sama, menanyakan kabar dan juga memintaku untuk menghubunginya. Ada satu pesan yang bersisi satu tanda seru, ya, hanya satu, dari nomor yang tidak aku kenal. Aneh, pikirku.

Setelah puas membaca pesan-pesan yang sama sekali tidak aku balas, aku kemudian berseluncur melihat berita-berita yang sedang hangat di bicarakan orang-orang. Aku yang terlalu sibuk membaca berita tidak sadar dengan kedatangan seseorang yang kemudian membekap mulut serta hidungku hingga aku kehabisan nafas dan semuanya menjadi gelap.

.

.

.

.

.

"Hey, ada apa Ray?"

Raymond yang sekarang sedang gelisah berdiri di depan pintu rumah Eckart.

"Sudah, tak perlu basa-basi. Katakan dimana kau menyembunyikan Lennox?"

"Lennox?" Tanya Eckart dengan raut kebingungan. "Aku tidak bertemu dengannya hari ini."

Raymond sepertinya sudah tidak sabaran, tangannya mendorong bahu Eckart dan mencoba menerobos masuk ke dalam rumahnya.

"Hey, hey, tenang dulu bro." Eckart berusaha menenangkan Raymond sambil menahan tubuhnya untuk tidak menerobos masuk terlalu jauh.

Raymond menatap Eckart penuh amarah, "Biarkan aku melihat isi rumahmu dengan mata kepalaku sendiri."

Raymond kemudian benar-benar menerobos masuk, Eckart membiarkan Raymond mencari ke seluruh area rumah Eckart hingga ke lantai dua. Tapi nihil, dia tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Lennox.

Raymond turun dengan tergesa-gesa, sekarang yang dia pikirkan hanyalah mencari Lennox. Tapi sebelum Raymond keluar, Eckart menahannya dan mendudukkan Raymond di sofa ruang tamu.

Feromon dari seorang alpha dominan itu akhirnya keluar, seolah mengintimidasi lawannya. Eckart yang tidak terima dengan apa yang di lakukan Raymond membuatnya berang, akhirnya feromon yang sejak tadi dia tahan akhirnya menguar juga. Nuri yang sejak tadi diam melihat kedua alpha dominan itu akhirnya terisak. Menangis ketakutan.

Tangisan Nuri pecah menyadarkan kedua alpha dewasa itu dan akhirnya meredakan emosi mereka.

Eckart mendudukkan Raymond di sofa ruang tamu.

"Tunggu di sini." Ujar Eckart pada Raymond yang kini tertunduk lesu.

Pikirannya buntu, dia tidak tahu kemana harus mencari Lennox. Seluruh tempat favorit Lennox sudah di datanginya, tapi dia tidak menemukan keberadaan Lennox dimanapun.

Eckart sambil menggendong Nuri membawa segelas air putih dan menyodorkan kepada Raymond, "Minumlah dulu."

Raymond menerima gelas yang diberikan Eckart dan meminumnya. Tangannya menggenggam erat seolah ingin memecahkan gelas kosong tersebut. Raymond kembali menunduk, padangannya tertuju pada kedua ujung kakinya. Pikirannya sangatlah kacau.

"Lennox menghilang."