Akhirnya, aku melangkah meninggalkan rumah sakit ini. Aku kira setelah pemeriksaan aku bisa langsung keluar, tapi ternyata aku harus menungu tiga hari lagi. Aku juga mendapat izin dari Papa untuk tinggal bersama Raymond. Karena entah kenapa, rasanya selalu nyaman berada di sisi Raymond.
Berbicara soal hasil, aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk mendengar penjelasan dari dokter mengenai kesehatanku. Yang aku tahu hanyalah aku butuh banyak istirahat, jangan terlalu lelah, jangan banyak pikiran dan juga harus banyak-banyak makan. Jika aku menuruti saran dokter, aku akan sembuh dengan cepat.
"Selamat datang." Ujarnya sambil membuka kain hitam yang sejak tadi menutupi mataku.
Aku mengerjapkan mataku. Aku tidak mengenali tempat ini. Ini bukan apartement Raymond.
"Sejak kapan kamu pindah?"
Aku berjalan mengikuti Raymond namun masih mengedarkan pandanganku, tidak bisa untuk tidak takjub. Penthouse ini luar biasa sekali. Luas dan juga nyaman. Apartemen Raymond yang dulu sudah mewah, tapi ini jauh lebih mewah lagi.
"Sejak, kemarin."
Aku menatapnya dengan tatapan tidak percaya, "Kamu pasti bohong."
"Hahaha... Ini memang punyaku sejak aku lahir, hanya saja baru kemarin aku menempatinya."
"Aku kira kamu membeli penthouse ini karena aku bilang aku akan tinggal denganmu."
Raymond hanya tersenyum. "Mari aku antar ke kamarmu dan barang-barangmu sudah datang kemarin malam, hanya saja belum aku bereskan. Mungkin besok." Ujar Raymond sambil menaiki tangga menuju lantai dua, namun aku berhenti di anak tangga yang pertama.
"Aku, aku tidak ingin di lantai atas."
Raymond berhenti, membalikkan tubuhnya dan berjalan menuruni tangga. "Kenapa? Kamar di atas luas sekali. Kamu pasti suka."
Aku menggelengkan kepala, "Tidak ma... Ughmpp...." Aku menutup mulutku dengan tangan kananku.
Raymond kemudian dengan sigap langsung memelukku dan menggiringku menuju kamar mandi. Entah kenapa sejak aku bangun dari koma, aku selalu merasa mual setiap pagi, sehabis makan dan juga sebelum tidur. Seperti sudah terjadwal.
Kini aku sedang terduduk di lantai kamar mandi sambil terus memuntahkan isi perutku hingga habis. Raymond masih mengelus-elus punggungku dengan lembut.
"Masih mual?"
Aku mengangguk, "Ya."
"Aku ambilkan air hangat dulu. Sebentar saja."
Aku bersandar pada dinding kamar mandi. Mengambil nafas sebanyak-banyaknya sebelum rasa mual menyerangku lagi. Suhu dingin kini terasa di area punggungku.
"Lennox, kenapa bersandar disana." Ujar Raymond yang terlihat panik sambil membawakan segelas air putih hangat.
Gelas yang masih berisi air tersebut diletakkan di atas counter yang berada tak jauh dari posisiku saat ini.
"Ayo, bagunlah." Ujar Raymond sambil membantuku berdiri.
Namun, tubuhku sudah kehabisan tenaga. Rasanya seluruh tulangku hilang entah kemana. Untuk menopang tubuhku saja rasanya tidak sanggup. Akhirnya aku di gendong Raymond menuju kamar.
Raymond membantuku membetulkan posisiku, kini aku sudah dalam posisi setengah berbaring dengan punggung yang bersandar pada bantal-bantal yang di tumpuk tinggi.
"Air." Ujarku pelan.
Raymond menepuk jidatnya, "Sial, di kamar mandi."
Secepat kilat dia keluar menuju kamar mandi dan kembali lagi secepat mungkin sambil membawa air yang tadi dia tinggalkan. Aku meminum habis air hangat itu seperti orang yang sudah tidak minum selama berhari-hari. Ah, kalau berhari-hari pasti aku sudah mati.
"Maafkan aku."
Raymond tertunduk sambil menggenggam erat tanganku.
"Raymond, kenapa kamu juga meminta maaf. Pertama Papa, terus Mama, bahkan Eckart juga minta maaf. Mereka bertiga selalu seperti itu setiap datang dan sebelum pergi dari ruanganku. Dan sekarang kamu juga. Ada apa dengan kalian." Omelku.
"...."
"Ah, aku jadi bad mood." Ucapku sambil membuang muka.
"Maaf."
"Berhenti minta maaf." Ucapku kesal.
##
Aku memeluk kedua lututku sambil menonton cartoon series kesukaanku. Entah kenapa posisi ini dapat meredakan rasa mualku yang kini sudah kembali lagi setelah menghabiskan makan malam.
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhku. Setiap kali aku bertanya pada Raymond, dia hanya akan minta maaf berkali-kali. Aku sampai harus memukul kepalanya karena kesal mendengar maaf dari mulutnya.
"Hhaaaah." Aku menghela nafas dan kemudian menjatuhkan tubuhku ke samping sambil masih memeluk kedua lututku. Kini aku sedang meringkuk seperti bayi.
'Sepertinya makan ramen enak.' Pikirku.
Dengan sedikit usaha menggeser tubuhku yang sedang malas ini, kepalaku kini sudah berada di pangkuan Raymond. Melihat wajahnya dari bawah seperti ini sudah hal biasa untukku, tapi kali ini entah kenapa rasanya menyenangkan sekali. Aku jadi senyum-senyum sendiri.
Raymond yang sepertinya menyadari aku sedang mengamatinya kini menunduk. "Hei, kenapa senyum-senyum seperti itu?"
"Tidak, aku tidak tersenyum."
Tangan hangat Raymond menyentuh kedua sudut bibirku dan menariknya keatas, membuatku seolah-olah sedang tersenyum.
"Nah seperti ini tadi. Hahaha..."
Aku menyingkirkan tangan Raymond. "Aku tidak tesenyum." Ujarku kesal.
"Jangan cemberut seperti itu, nanti cepat tua." Godanya.
"Tidak apa-apa, aku biar tua tapi tetap menarik."
Raymond tersenyum dan menatapku dalam.
"Kenapa melihatku seperti itu?"
"Apa aku pernah bilang kamu cantik?" Tanyanya.
"Aku? Cantik?"
"Iya, tidak mungkin aku yang cantik."
"Mana ada, bodoh." Aku memukul dada Raymond manja.
"Auch.." Raymond meringis dan memegang dadanya, "Sakit. Tolong siapapun aku di pukul gorila."
"Drama sekali. Aku tidak memukul sekuat itu." Aku kesal dengan tingkahnya tapi entah kenapa tanganku kini sedang mengelus tempat yang tadi aku pukul.
"Tolong, sekarang gorilanya jadi mesum, mengelus-elus dadaku." Ujar Raymond sambil tertawa.
Plak!
Kini aku benar-benar memukul dadanya sambil memajukan mulutku karena kesal.
"Gorila marah lagi. Hahaha.." Raymond tidak berhenti tertawa.
"Aku tidak marah dan aku bukan gorila."
Raymond kemudian mengelap air mata yang keluar karena terlalu banyak tertawa. "Iya, iya bukan gorila, tapi-"
Belum sempat Raymond menyelesaikan kalimatnya, aku sudah berubah posisi. Aku memiringkan tubuhku ke sebelah kanan agar tidak menlihat wajah Raymond lagi. Aku kesal, benar-benar kesal.
Raymond yang menyadari kekesalanku kini menusuk-nusuk pelan pipiku dengan jari telunjuknya. "Jangan marah ya."
"Aku marah." Ujarku.
"Maaf, oke. Aku minta maaf."
"Sudah kubilang, jangan minta maaf."
"Jadi, aku harus bagaimana biar Lennox yang cantik ini tidak cemberut lagi?"
"Aku mau makan ramen."
"...."
Aku berbalik dan posisiku kembali seperti semula. "Hey, lihat aku, aku mau ramen."
"Tapi tadi kan sudah makan malam?"
"Tidak tahu, pokoknya mau itu."
"Makan buah saja ya, mau? Apel?"
Aku menggelengkan kepalaku, "Mau ramen atau aku tidak akan memaafkanmu."
"Hhaaaaa.. Baiklah-baiklah."
Raymond memindahkan kepalaku dengan hati-hati dan kemudian bangkit dari duduknya. Dia melenggang pergi, sepertinya menuju kamar. Dan sepertinya memang benar, sekarang dia kembali sambil membawa coat tebal berwarna abu-abu dan juga kunci motor kesayangannya.
Raymond berjalan mendekatiku dan kemudian mengecup keningku lembut. "Tunggu ya, aku akan belikan ramen beserta kedainya untukmu." Di kecupnya keningku sekali lagi dan kemudian beralih mengecup perutku.
"Aku pergi dulu."