Sejak kejadian ingin makan ramen itu aku semakin sering minta yang aneh-aneh. Awalanya ramen, besoknya aku ingin crepe dekat universitasku dulu, besoknya lagi aku ingin kebab dekat sekolah Nuri, dan tadi sebelum Raymond pergi ke restonya, aku ingin makan taco yang berada tak jauh dari tempat magangku dulu. Raymond yang sudah terburu-buru terpaksa pergi sedikit terlambat.
Raymond tidak pernah marah ataupun kesal karena aku ingin ini dan itu. Bahkan ketika ingin makan kebab, aku menelponnya disaat restonya sedang ramai dan Raymond langsung menuruti keinginanku.
Ngomong-ngomong soal mual, aku merasa sepertinya aku jadi lebih baik. Tidak semual ketika masih di rumah sakit dan hari pertama berada di penthouse Raymond. Aku juga sudah bisa makan sedikit lebih banyak dari biasanya.
Ting.. Tong
"Pasti mama." Gumamku.
Dan benar saja, ketika aku membuka pintu, mama sudah berdiri sambil membawa banyak kantong belanja di tangannya. Aku yang notabene anak baik inipun membantu membawa sebagian kantong belanja tersebut.
"Mama kenapa tidak bilang bawa banyak belanjaan seperti ini? Aku bisa jemput ke bawah." Ujarku sambil meletakkan kantong-kantong tersebut di atas meja makan.
"Tidak apa-apa. Mama ini masih sehat, kantong segini bukan apa-apa buat mama."
Aku membongkar isi kantong-kantong tersebut sambil bercakap-cakap dengan mama. Kebanyakan isinya adalah camilan, sayuran dan juga buah-buahan. Ada daging dan beberapa frozen food juga.
Setelah membongkarnya dan membuat meja makan penuh dengan belanjaan mama. akupun langsung menyusun camilan dan memasukkan bahan makanan ke dalam kulkas yang sebenarnya sudah cukup penuh. Dengan bantuan mama, semuanya selesai lebih cepat.
"Ngomong-ngomong, kapan kita akan pergi check up?" Tanya mama.
"Oh, tadinya aku kira mau langsung pergi pas mama datang. Tapi, jadinya justru harus susun-susun belanjaan dulu."
Mama tertawa, "Ya sudah, sana ganti baju."
"Mama, aku sudah siap dari tadi. Tidak perlu ganti baju."
Akupun pergi bersama mama untuk diperiksa. Perasaanku agak sedikit tidak nyaman. Bukan karena mual, tapi karena hal yang tidak aku ketahui.
"Aku kira Terry yang bawa mobil." Ucapku sambil melihat pemandangan di balik kaca mobil.
"Buat apa, mama sudah bisa bawa mobil sendiri." Jawab mama dengan percaya diri.
"Sejak kapan?"
"Sejak tahun lalu, apa dua tahun ya?" Mama jadi bingung sendiri.
Aku tertawa renyah, "Aku melewatkan banyak hal ternyata."
Mama terdiam sejenak. "Ya, karena kamu menutup diri dari kami."
"Aku tidak menutup diri." Belaku.
"Jika tidak, kamu pasti sering pulang ke rumah atau menghubungi Mama dan Papa."
Aku terdiam, Mama pun tidak mengucapkan apa-apa lagi setelah itu. Suasana di dalam mobil yang terus melaju ini pun terasa sunyi.
Akhirnya kami tiba juga ke tempat yang kami tuju. Aku awalnya mengira akan pergi ke rumah sakit, tapi ternyata hanya klinik. Klinik ini luas dan terkesan mewah untuk ukuran sebuah klinik yang berada sedikit jauh dari pusat kota. Tapi entah kenapa hanya ada beberapa orang yang lalu-lalang. Apa karena biaya di klinik ini mahal ya? Pikirku.
Aku dan Mama sudah berada di ruang tunggu di salah sambil menunggu giliran namaku di panggil. Tak butuh waktu lama, akhirnya namaku di panggil juga oleh petugas dan di giring masuk ke salah satu ruangan oleh perawat untuk di periksa.
"Hei Lennox. Lama tidak bertemu."
Dokter yang sepertinya akan memeriksaku ini memelukku dan akupun membalas pelukan yang terasa canggung bagiku.
"Duduk, duduk." Ujar sama sambil melepas pelukan dan mempersilakan aku duduk. "Bagaimana kabarmu?"
Aku melirik name tag yang menempel di dadanya, Steve Reagan. "Aku rasa cukup baik. Terima kasih sudah bertanya dokter Reagan."
Dokter ini pun mengerutkan keningnya, "Reagan? Panggil aku Steve seperti waktu itu."
Waktu itu? Pikirku.
"Maaf, tapi aku tidak mengingatmu. Aku baru saja bangun dari koma seminggu yang lalu dan.."
"Maaf, maaf, lupakan saja, anggap saja ini pertemuan pertama kita." Steve memotong kalimatku.
"Tidak apa-apa." Ujarku sambil tersenyum.
Karena suasana terasa mulai terasa canggung, Steve memutuskan untuk langsung memeriksaku.
Aku berbaring di atas tempat tidur yang sudah tersedia. Steve mulai memeriksa tekanan darahku terlebih dahulu dan di ikuti dengan pemeriksaan lainnya. Layaknya pemeriksaan normal.
Steve bertanya banyak hal. Mulai dari kebiasaanku sehari-hari setelah bangun dari koma, apa saja yang aku makan dan apa yang aku rasakan pada tubuhku. Akupun menjawab apa adanya, tidak kurang dan tidak lebih.
"Jadi, apa aku baik-baik saja?" Tanyaku sambil kembali duduk berhadapan dengan Steve. Jarak kami hanya terpisah oleh meja.
"Kamu baik-baik saja dan..." Steve menghentikan kalimatnya, dia terlihat sedikit ragu.
"Steve?"
"Aku tidak tahu apa kamu sudah tahu atau belum, tapi aku ucapkan selamat, kamu sedang hamil." Ujar Steve sambil tersenyum.
Aku yang mendengar hal ini tentu saja sangat shock. Bagaimana bisa aku hamil sedangkan aku tertidur selama dua bulan dan siapa yang menghamiliku?
"Jika kamu ingin mengecek lebih lanjut, di sini ada dokter kandungan, aku bisa meminta perawat untuk mengantarkanmu kesana."
##
Setelah pemeriksaan oleh dokter kandungan tadi siang di klinik tempat Steve bekerja, aku masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku benar-benar sedang mengandung. Bahkan usia kandunganku sudah dua bulan dua minggu. Apa selama aku koma seseorang memperkosaku? Tapi itu tidak mungkin.
Aku tidak bisa fokus. Televisi yang sejak tadi menyala pun kuabaikan. Setiap kali aku ingin fokus, ucapan selamat atas kehamilanku yang diucapkan oleh dokter itu kembali terngiang-ngiang di telingaku. Selain gagal fokus, aku bahkan kehilangan nafsu untuk menyantap makan siangku.
Ting... Tong...
Terdengar suara bel yang membuyarkan lamunanku. Malas sekali rasanya bertemu orang lain saat ini.
Aku mencoba melihat dari layar interkom siapa yang sedang berkunjung, namun aku tidak menemukan siapapun.
Aku pun memutuskan untuk membuka pintu dan mendapati seorang anak kecil menggemaskan sedang berdiri sambil membawa buket bunga yang ukurannya jauh lebih besar dari pada tubuhnya. Menggemaskan sekali. Aku menoleh kesana kemari, tapi tidak ada siapa-siapa selain anak kecil ini.
Aku pun berjongkok untuk menyamakan tinggiku dengannya.
"Hey adik kecil. Dimana ayahmu?"
"Daddy sedang ambil buah di mobil. Tertinggal. Daddy pikun." Ucapnya dengan nada kesal.
Aku tersenyum, "Namamu siapa?"
"Kenapa Lenny tidak ingat?"
"Maafkan aku, tapi sepertinya aku juga pikun seperti daddymu."
"Karena ini Lenny, jadi Lenny Nuri maafkan."
Anak kecil bernama Nuri ini mundur selangkah dan kemudian berusaha untuk sedikit membungkukkan badannya namun terlihat kesusahan karena buket di pelukannya.
"Perkenalkan nama saya Nuri Landyn."
Aku yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik bocah lucu ini sambil berjongkok memutuskan untuk berdiri dan juga melakukan hal yang sama.
"Aku Lennox Selim." Ujarku sambil membungkuk.
"Nuri!" Terdengar suara sedikit berteriak dan memanggil namanya. Di susul dengan suara langkah yang sedang tergesa-gesa.
Aku yang tadinya membungkukpun menegakkan badanku dan menoleh ke sumber suara.
"Ah, Eckart."
"Maaf mengganggu sore santaimu." Ujar Eckart sambil tergesa-gesa.
"Tidak apa-apa. Ayo masuk." Ujarku mempersilakan ayah dan anak ini masuk.
Namun, ketika aku berbalik. Aku merasa kepalaku seperti sedang dihantam benda keras, sakit sekali. Dan bersama rasa sakit itulah tiba-tiba aku merasa tubuhku kehilangan tenaga dan semuanya menjadi gelap.