Aku menatap cermin selebar dinding kamar mandi ini sambil mengelus-elus perutku yang semakin hari semakin membesar. Aku tidak menyangka, aku sedang hamil. Memikirkan untuk mempunyai pair saja aku tidak pernah, apalagi hamil. Tapi syukurlah, dengan kehamilan ini aku semakin dekat dengan keluargaku.
Aku menunduk dan mengusap lembut perutku, "Terima kasih, kalian benar-benar merubah hidupku."
Berdasarkan hasil pemeriksaan, bayi-bayiku sehat sekali, berat badan mereka cukup, detak jantungnya juga stabil. Dokter menyarankanku untuk banyak-banyak mengajak mereka berbicara. Sebenarnya sudah diajak banyak berbicara, tapi lebih banyak Raymond yang mengajak, bukan aku.
Dokter juga sempat ingin menjelaskan tentang jenis kelamin mereka, tapi aku dan Raymond menolak. Biar saja menjadi kejutan nanti ketika mereka lahir.
Aku kemudian mengenakan setelah piyama khusus omega pria yang sedang hamil. Piyama ini didesign khusus oleh Lyra karena rata-rata pakaianku sudah tidak muat lagi. Aku juga tidak bisa terus-menerus menggunakan pakaian Raymond, walaupun dia tidak pernah mempermasalahkannya.
Aku membuka pintu kamar mandi, mataku langsung tertuju pada sosok yang selama masa kehamilanku selalu menemani tidurku.
Raymond kini sedang memegang secarik kertas. Itu adalah hasil USGku. Sejak keluar dari ruangan pemeriksaan tadi, Raymond tidak henti-hentinya tersenyum setiap dia melihat hasil tersebut. Bahkan, dia membuat beberapa kopian untuk di tempelkan di beberapa tempat seperti, cermin kamar mandi, di meja riasku, cermin di walk-in closet, di pintu kulkas dapur dan juga di dasboard mobilnya. Dan, oh, satu untuk di dompet dan juga satu untuk di ruang kerjanya.
"Lennox, kemarilah."
Suara Raymond menyadarkanku yang sejak tadi mematung di depan pintu kamar mandi.
Akupun berjalan ke arah meja riasku, meraih saklar dan mematikan lampur kamar. Menyisakan sumber cahaya yang berasal dari lampu tidur di atas kedua nakas di kanan dan kiri tempat tidur.
Aku kemudian berjalan mendekati Raymond. Mendudukan tubuhku di bibir tempat tidur. Raymond menggeserkan tubuhnya, memberikanku ruang untuk membaringkan tubuhku.
"Ayo, berbaringlah di sini." Ujarnya sambil menepuk-nepuk area yang nantinya bakal aku tiduri.
Aku merebut hasil hasil USG yang sejak tadi masih di tangannya, "Aku juga mau lihat." Ujarku sambil membaringkan tubuhku.
Aku berbaring di samping Raymond sambil menatap hasil USG yang tadi sudah kurebut darinya. Aku tersenyum melihat keajaiban yang benar-benar luar biasa. Dua kehidupan ini bergerak dan hidup di dalam perutku saat ini.
Aku terlalu fokus dengan gambaran dua janin itu tidak menyadari posisi kepala Raymond yang kini sudah berada tepat di atas perutku.
Dia mengelusnya, "Hey anak-anak Daddy, lihat, Papa kalian sedang senyum-senyum sekarang, apa kalian sedang senyum-senyum juga di dalam sana?"
Tak selang beberapa saat setelah Raymond bertanya, aku merasakan sebuah gerakan dari dalam perutku dan sepertinya Raymond juga merasakan pergerakan kecil tersebut.
Dia sontak mengangkat kepalanya dan menatapku dengan wajah kegirangan, "Kamu merasakannya? Mereka meresponku. Lennox ini luar biasa sekali."
Aku tertawa kecil, "Aku merasakannya, sepertinya mereka senang berbicara dengan Daddynya."
Raymond kembali mengelus perutku, "Kalian membuat Daddy terkejut, benar-benar luar biasa."
Raymond masih tetap mengoceh di sana dan aku hanya memperhatikannya sambil tersenyum lebar. Setiap kali Raymond bertanya pada bayi-bayiku, mereka pasti merespon dengan gerakan-gerakan kecil yang membuat perutku terasa geli.
"Nah, sekarang ayo kita tidur. Kalian juga tidur ya." Ucapnya dan kemudian mencium perutku.
Setelah puas mengecup perutku, Raymond kini sudah kembali pada posisinya semula. Berbaring di sebelahku sambil terus tersenyum. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini sampai senyum terus-menerus seperti itu.
Akupun meletakkan hasil USG tadi ke dalam laci nakas di sampingku dan kemudian mematikan lampu tidur yang menjadi sumber cahaya saat ini.
Raymond belum mematikan lampu tidur yang ada di sebelahnya. Dia akan membiarkan lampu itu tetap menyala dan baru akan mematikannya ketika aku sudah benar-benar tertidur.
Aku menarik selimut dan menutupi tubuhku hingga batas dada. Aku mentap langit-langit yang sudah menjadi pemandangan yang selalu aku lihat di setiap pagi dan malamku.
"Ray."
"Mmn. Ada apa?"
"Terima kasih."
"Buat apa?"
Aku memejamkan mataku. Mengingat-ingat semua hal yang kulakukan bersama Raymond sejak dulu hingga hari ini.
"Semuanya, kamu sudah melakukan semua ini untukku dan aku merasa bahagia sekali."
Aku merasakan usapan lembut di perutku dan kemudian sebuah kecupan hangat di keningku.
"Terima kasih juga sudah hadir dalam hidupku dan juga telah memberikanku dua bocah yang sebentar lagi akan ada di kehidupan kita berdua."
##
Aku terbangun dengan nafas terengah-engah. Keringatku mengucur deras. Malam ini, sejak aku terbangun dari tidur lamaku, untuk pertama kalinya aku bermimpi buruk. Mimpi buruk itu membawa kembali ingatan-ingatan yang selama empat bulan ini sudah aku lupakan.
Hari dimana aku bertengkar dengan Ekcart yang menjadi awal mula kesialan yang menimpaku. Aku mengingat semuanya. Bahkan aku mengingat kejadian menjijikkan yang sepertinya menjadi alasan kenapa perutku membesar saat ini.
Aku mengingatnya. Hari itu Ralph memberikan perangsang heat untukku dan kemudian menggagahiku dengan brutal. Aku menangis dan berteriak. Namun, tangisan dan teriakanku tidak dapat menghentikannya yang sudah terbawa nafsu.
Tubuhku bergetar, seolah dapat merasakan setiap sentuhan dan rasa sakit yang Ralph berikan saat itu. Aku kemudian mengangkat kedua tanganku yang sekarang sedang bergetar dengan hebatnya. Kuamati keduanya, bekas-bekas gigitan itu sudah hilang, tapi entah kenapa aku masih bisa merasakan perihnya bekas-bekas luka itu di sana.
Aku kemudian mulai terisak. Dadaku semakin sesak. Perutku sekarang terasa sakit sekali. Aku ingin menolak semua potongan ingatan itu, tapi otakku terus memasok ingatan-ingatan menyakitkan itu.
Potongan ingatan itu menyadarkanku. Bukan Raymond yang menjadi ayah dari anak-anak dalam kandunganku, tapi Ralph. Laki-laki brengsek yang dulu pernah membuatku hancur dan saat ini dia berhasil menghancurkan hidupku untuk kedua kalinya.
Aku masih terus terisak mengabaikan perutku yang masih terasa sakit.
Raymond terbangun dan langsung menyalakan lampu tidur di sebelahnya. "Lennox." Panggilnya dengan nada sangat khawatir.
Tangan kokohnya langsung merangkulku. Membawaku ke dekapan hangatnya. Membenamkan kepalaku di dadanya yang kekar. Mendapat perlakuan seperti itu membuatku menangis sejadi-jadinya.
"Lennox, berhenti menangis. Kamu membuat bayi-bayi itu ikut bersedih." Ujarnya.
"Ray, kamu membohongiku." Ujarku di sela-sela tangisanku.
"...."
"Kamu membohongiku." Aku mengulangi kalimatku tadi.
"... Anak ini, mereka bukan anakmu. Mereka bukan anakmu, kamu bohong."
Raymond yang sepertinya tahu kondisiku saat ini hanya terdiam sambil mengelus pucuk kepalaku dengan lembut.
"Aku, aku mengingat semuanya."
"Maafkan aku." Ujar Raymond yang kemudian mengecup pucuk kepalaku berkali-kali.
"Maafkan aku Len."