Aku terbangun setelah mendengar suara bising di ruanganku saat ini. Aku menoleh ke arah ruang tunggu. Louise dan Lyra sedang beradu mulut meributkan kejadian kemarin.
"Ehem." Aku berdeham sedikit keras agar mereka bisa mendengar.
"Oh, Lennoxku sudah bangun." Ucap Lyra sambil menampilkan senyum yang terlihat sedikit terpaksa. Aku yakin moodnya saat ini sedang tidak baik sama sekali.
Louise yang menyadari aku sudah bangun dari tidur nyenyakku langsung berdiri dan berjalan menuju ke arahku. Dia duduk di kursi yang berada di sisi hospital bedku. Wajahnya tertekuk, sepertinya dia diomeli Lyra habis-habisan.
Dua makhluk ini tidak akan pernah bisa akur. Louise si bungsu selalu saja keras kepala dan Lyra selalu merasa paling benar. Jadi jika kedua alpha ini sedang beradu argumen maka sudah dipastikan tidak ada yang akan mengalah.
Namun, saat ini aku yakin sekali, Louise berada dipihak yang kalah. Bukan, bukan kalah, tapi lebih tepatnya pihak yang salah.
"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Louise.
Aku mengerjapkan mataku sambil menatap wajahnya, "Berkat tuan Louise yang baik hati ini, aku sudah merasa sangat baik sekali pagi ini." Aku tersenyum tulus.
"Tidak perlu menghiburku." Ujarnya sambil memalingkan wajahnya yang kini sedikit memerah.
"Pfftt... Hahaha." Lyra tertawa. "Lihatlah, bocah ingusan sedang malu setelah digoda kakaknya."
Louise menoleh kebelakang, "Aku, tidak." Tegasnya.
"Sekali-sekali aku juga ingin melihat wajah malu-malu seperti tadi." Ujarku lembut sambil mengusap punggung tangan Louise. "Aku kangen kalian berdua. Rasanya sudah lama sekali tidak menghabiskan waktu bersama."
"Itu karena kamu jarang pulang. Bukan jarang, tapi memang tidak pernah pulang sama sekali." Ujar Lyra ketus.
"Hei! Jangan berbicara seperti itu." Louise memarahi Lyra.
"Louise." Panggilku pelan.
Louise menoleh dan menatapku, "Kamu harusnya marah dengan ucapan Lyra tadi. Aku tahu alasan kamu kenapa tidak per-"
"Memang kenyataannya aku tidak pernah pulang." Aku memotong kalimat Louise.
"Tapi kamu punya alasan yang jelas dan aku tidak akan menyalahkanmu. Aku, kalaupun aku berada di posisimu, aku pasti melakukan hal yang sama." Ujar Lousie sambil meluapkan emosinya.
Aku menggenggam tangannya. "Sudah, ini masih pagi dan kita sudah bertengkar. Aku jadi ingin pingsan saja."
"Tidak boleh bicara seperti itu." Kali ini Lyra bersuara.
Aku tertawa pelan. "Lihatlah, Lyra sedang marah sekarang. Ah, aku kangen sekali dengan omelan Lyra."
"Aku tidak kangen sama sekali, aku sudah kenyang mendengarnya setiap hari." Ujar Louise yang masih terlihat kesal.
"Haaaaa..." Lyra menghela nafas. "Berdebat dengan bocah menghabiskan banyak energi, sepertinya aku mau ke butikku saja."
Lyra menyelesaikan kalimatnya sambil berdiri dan meraih tote bag putih miliknya yang dia letakkan di atas meja. Lyra kini berjalan mendekatiku. Dia berdiri sesaat sambil mengamatiku dan kemudian mendekatkan tubuhnya. Sebuah kecupan mendarat tepat di keningku.
"Aku pergi dulu, aku harus mencari banyak uang untuk memanjakan keponakanku yang tak lama lagi akan segera lahir."
Aku tersenyum. "Tidak perlu bekerja juga kamu masih bisa memanjakan mereka Kak."
Lyra mengusap pucuk kepalaku dengan sangat lembut. Walaupun senyuman terukir di wajahnya, namun, sorot matanya menunjukkan kekhawatiran.
"Lennox." Ucapnya pelan.
Aku tersenyum, "Ada Louise di sini, jangan khawatir Kak. Dia memang adik kesayangan kita yang manja, tapi bukan berarti dia tidak bisa menjagaku. Lagi pula, aku akan pulang hari ini." Ucapku mantap.
Lyra menatapku dalam, "Baiklah. Aku pergi dulu. Sampai nanti Lennnyku."
Setelah berpamitan, Lyra langsung pergi meninggalkan aku dan Louise. Si bungsu ini masih dengan suasana hati yang tidak begitu baik.
"Aku tidak mengerti dengannya, apakah aku terlihat sangat tidak becus menjagamu?" Tanya Louise dengan nada kesal.
Aku tersenyum, "Dia menjalankan perannya sebagai kakak yang baik untuk kita berdua. Jadi wajar saja dia khawatir."
"Kamu selalu membelanya Lenny." Louise menekuk wajahnya.
Aku kemudian mengacak rambutnya, "Sudah, sudah. Jangan bertingkah seperti itu, kamu terlihat menggemaskan." Godaku.
"Huh..." Louise mendengus. "Jangan mengacak rambutku, aku bukan anak kecil lagi."
"Aku lapar." Ujarku.
"Sarapanmu ada di atas nakas di sampingmu."
"Aku tidak ingin makanan rumah sakit, tidak enak."
"Jadi kamu mau makan apa?"
"Aku kangen masakan Ray." Rengekku.
"Haahh.. Dasar manja, baru semalam kamu makan masakannya dan sekarang kamu bilang kangen? Apa semua orang hamil sepertimu?"
Aku tertawa renyah, "Mungkin bayi-bayiku yang sebenarnya sedang kangen masakan Daddy mereka."
Louise memutar bola matanya, "Alasan klasik, jangan salahkan keponakan-keponakanku di dalam sana."
"Pfftt.. Hahahaha." Aku kembali tertawa mendengar ucapan Louise.
Tok.. Tok.. Tok..
Pintu ruangku di ketuk dan kemudian terbuka. Menampakkan sosok yang baru saja aku sebutkan namanya.
"Ah, panjang umurnya." Ujar Louise dengan nada bahagia. Matanya langsung tertuju pada kantong yang sedang di bawa Raymond yang aku yakini isinya adalah makanan.
"Aku bawa sarapan untuk kalian." Ucap Raymond
'Bingo!' Batinku.
Raymond berjalan masuk dan kemudian meletakkan kantong berbahan kain yang berisikan sarapanku dan Louise di atas meja. Tidak lupa melepaskan coat hitam dan syal berwarna senada. Seperti biasa, Raymond selalu terlihat menawan.
Setelahnya, dia membongkar kantong yang tadi dia letakkan. Mengeluarkan beberapa wadah yang berisikan makanan untukku dan Louise.
"Kapan infusmu di lepas?" Tanya Raymond sambil berjalan mendekatiku. Di tangannya sudah ada dua wadah yang aku yakin berisikan sarapan untukku.
Aku membuang wajahku dan kini sedang menghadap Louise. Entah kenapa aku tiba-tiba merasa kesal melihat Raymond, padahal beberapa menit tadi aku merasa senang dengan kedatangannya.
"Entahlah." Jawabku asal.
Louise yang mendengar jawabanku mendelik ke arahku. "Kenapa ketus sekali?" Tanyanya sambil berbisik.
Aku bisa mendengar suara dentingan piring dan sendok, Raymond sepertinya sedang membereskan sarapan yang di sajikan oleh pihak rumah sakit. Aku belum menyentuh sarapan itu sama sekali. Lebih tepatnya, aku tidak memakan makanan yang disajikan oleh pihak rumah sakit sejak aku terbangun dari pingsanku kemarin.
Ada Louise dan Lyra yang membawakan makanan dari rumah untukku. Katanya Albert-kepala pelayan di rumah, yang memasakkan makanan itu khusus untukku. Biar lekas sembuh dan keluar dari rumah sakit katanya. Ditambah, semalam Raymond membawakan makan malam dan juga camilan untukku.
"Lenny." Panggil Raymond lembut.
Aku tidak mengindahkan panggilan Raymond. Aku masih berada pada posisi seperti tadi. Berbaring lurus namun kepalaku sedang menghadap ke arah Louise.
"Jawab." Bisik Louise sambil memelototiku.
Aku memutar bola mataku. "Malas." Jawabku yang juga sambil berbisik.
"Aduh." Louise tiba-tiba memegang perutnya, wajahnya terlihat sedikit meringis. "Perutku, aku sepertinya harus ke toilet dulu."
Belum sempat aku merespon, Louise sudah beranjak dari duduknya dan berlari cepat menuju kamar mandi yang berada di ruanganku ini. Sekarang hanya ada aku dan Raymond dengan kecanggungan yang sudah tak terelakkan lagi.
Aku mendengar suara langkah kaki yang berjalan memutari hospital bedku dan sekarang Raymond sudah duduk di kursi yang tadi diduduki Louise. Dengan cepat dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
Wajahnya terlihat sangat lelah, bahkan matanya terlihat sedikit merah. Aku rasa Raymond tidak tidur sama sekali tadi malam.
"Lenny, aku dan Jerry tidak ada apa-apa. Aku hanya menolongnya, tidak lebih."
Aku yang mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Raymod tidak memberikan respon apa-apa. Ah, sepertinya Jerry adalah nama omega yang kemarin mendatangi penthouse kami.
"Aku tidak mungkin bermain dengan omega lain, aku sudah punya kalian, kamu dan bayi-bayi kita yang akan segera lahir." Sambungnya lagi.
"Dari mana kamu kenal omega itu?"
"Aku tidak sengaja bertemu dengannya tiga minggu yang lalu. Aku sedang mendiskusikan proyek baru dengan suami Jeryy dan dia datang, dan.." Raymond tidak meneruskan kalimatnya. Dia terlihat ragu.
"Kenapa berhenti?" Tanyaku.
Raymond menatapku sesaat dan kemudian menunduk. "Saat itu juga aku tahu dia adalah fated pairku."
Seperti habis tersambar petir. Tubuhku tiba-tiba menjadi kaku, dadaku sesak, mataku panas menandakan air mataku siap untuk keluar. Refleks, aku melepaskan genggaman tangan Raymond dan menekan dadaku yang semakin sesak.
"Keluar." Bisikku.
"Lenny, aku tidak-"
"Aku bilang keluar." Ujarku dengan nada sedikit meninggi.
"Len-"
"KELUAR!" Teriakku sambil menekan dadaku.
"Ada apa?" Tanya Louise yang langsung keluar dari toilet setelah aku berteriak.
"Please, leave me alone." Ujarku lemah.