Sudah hampir dua minggu aku tinggal bersama Lennox di kediaman keluarganya. Awalnya aku hanya bolak-balik dari penthouse ke kediaman Selim, namun sekarang aku sudah tinggal di sini sepenuhnya. Kini lemari Lennox bahkan sudah mulai dipenuhi dengan pakaian milikku. Kamar mandi Lennox juga dipenuhi dengan peralatan mandiku.
Kamar yang dulunya dipenuhi dengan aroma vanilla bercampur susu dan madu, kini berganti dengan aroma teakwood bercampur dengan lavender dan sedikit aroma mahoni. Mirip seperti aroma musim gugur. Aroma ini lebih dominan dan menutupi aroma manis dan lembut dari Lennox.
Aku berjalan keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk yang dililit di pinggangku, shirtless. Kulihat Lennox masih bergelung di bawah selimutnya.
Aku berjalan ke arah tempat tidur, duduk di samping tubuh Lennox. Tanganku terulur dan mengelus wajahnya lembut.
"Ngh.." Lennox bergerak dan membuka matanya.
"Morning sweetheart."
Dan semenjak aku tinggal disini juga, panggilanku untuk Lennox berubah. Kadang sweetie, kadang sweetheart bahkan kadang aku memanggilnya baby.
"Morning." Ucapnya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
"Masih mengantuk?" Tanyaku. Lennox hanya mengangguk lemah. "Tidurlah lagi."
Dia menggeleng. "Tidak mau."
"Kenapa, hm?"
"Sudah jam berapa sekarang?"
"Masih jam tujuh."
"Masih pagi sekali, tumben sudah mandi."
"Aku harus berangkat pagi-pagi, ada sedikit masalah di resto utama."
"Mmn, jangan lupa sarapan dulu."
"Kamu, hari ini jadwalmu apa?"
"Sepertinya cuma di rumah. Kenapa?"
"Mau makan siang di luar denganku?"
"Hmmm.. Okay. Jangan lupa kirim pesan dulu, jadi aku bisa bersiap-siap."
"Okay."
"Pakai bajumu Ray. You'll catch the cold."
"Roger that! Tidurlah lagi." Aku mengecup kening Lennox lembut dan kemudian beranjak dari tempat tidur.
Aku mengganti pakaianku dengan pakaian semi formal. Kemeja biru muda dan dipadankan dengan celana chino berwarna biru tua. Setelah mengenakan pakaian, aku menoleh sekilas, mengecek Lennox yang ternyata sudah tertidur kembali, lalu kemudian pergi.
.
.
.
Sejak pagi aku belum menghubungi Lennox lagi. Pekerjaan membuat waktu yang sebenarnya luang menjadi tidak pernah cukup. Empat puluh menit yang lalu akupun memutuskan menghubungi Elaine karena percuma menghubungi Lennox, dia sudah lama tidak memakai yang namanya ponsel lagi. Aku menanyakan bagaimana keadaan Lennox. Beliau bilang Lennox sedang tidur siang setelah menghabiskan makan siangnya. Namun sekitar sepuluh menit setelahnya aku mendapat telpon masuk dari Elaine. Dengan suara yang begetar dan kacau mengatakan bahwa Lennox sedang diperjalanan menuju rumah sakit setelah merasakan kontraksi.
Dengan kepanikanku, aku menghentikan pekerjaan yang sedang aku lakukan. Persiapan sebelum membuka restoran kuserahkan sepenuhnya pada asistenku.
Hanya butuh dua puluh menit untukku mengendarai motorku menuju rumah sakit tempat Lennox melakukan persalinan.
Aku berlari sekencang-kencangnya. Di bangku di depan ruang operasi sudah duduk Mr. dan Mrs. Selim, Mommy, dan juga Lyra. Mereka semua duduk diam sambil memasang wajah khawatir. Aku yang melihat kekhawatiran yang tercetak di wajah mereka mulai berpikir yang tidak-tidak.
Demi Tuhan, melihat wajah mereka sembua semakin membuatku takut Lennoxku kenapa-kenapa di dalam sana.
"Bagaimana keadaan Lennox?" Tanyaku dengan nafas yang masih bergelombang akibat lari tadi.
Semua mata yang menatapku, semuanya menunjukkan tatapan khawatir. Aku bisa paham atas kekhawatiran itu, tapi setidaknya, jawab pertanyaanku. Bukan dengan tatapan, tapi kata-kata.
"Masih di dalam." Lyra akhirnya menjawab pertanyaanku.
"Duduklah." Mommy menepuk-nepuk space kosong di sebelahnya.
Aku menurut saja. Menghempaskan tubuhku dan bersender di sandaran bangku panjang ruang tunggu. Mengatur nafas dan pikiranku. Serta berdoa di dalam hati semoga persalinan Lennox berjalan dengan lancar.
Sudah cukup lama aku duduk di sini. Bahkan Mr. Selim sudah beberapa kali pergi ke toilet, akhirnya lampu penanda di luar ruang bedah padam. Menandakan operasi sudah selesai.
Seorang petugas medis keluar lengkap dengan baju bedahnya. Dia menyatakan operasinya berjalan dengan lancar, Lennox dan kedua bayi kami sedang diberikan tindakan pasca operasi. Aku dan anggota keluarga lainnya di persilakan menunggu ke ruangan yang sudah di tentukan.
Aku tadinya ingin langsung menjumpai mereka bertiga, tapi kuurungkan niatku, aku ingin melihat ketiganya bersama dengan keluarga Lennox dan Mommy, biar adil dan semua merasakan kebahagiaan yang sama denganku.
Aku duduk di samping hospital bed dimana tubuh Lennox sedang terbaring dengan matanya yang maish tertutup. Kakek dan kedua nenek dari buah hati kami sedang bergembira sambil menggendong dan mengajak bayi kami berbicara yang tetntunya tidak mendapatkan respon apa-apa dari bayi yang baru berumur tiga jam tersebut.
Dalam genggamanku tangan Lennox bergerak dan kemudian dia membuka matanya.
"Baby." Panggilku pelan.
Dengan gerakan sangat pelan, Lennox menoleh ke arahku sambil menyunggingkan senyum bahagianya. Walau masih terlihat lemah, aku bisa melihat betapa bahagianya Lennox saat ini.
Aku mengecup pucuk tangan Lennox dengan lembut. "Terima kasih sudah melahirkan kedua jagoan kita. Terima kasih banyak. I Love you, Lennox."
Air mata yang sejak tadi Lennox tahan akhirnya lolos dari pelupuk matanya, mengalir begitu saja. "Terima kasih Ray, sudah menemaniku hingga saat ini. Tanpamu aku tidak akan bisa bertahan sampai saat ini."
Aku menggelengkan kepalaku, "Tidak, tidak perlu berterima kasih." Aku kemudian berdiri dan mendekatkan tubuhku ke arah Lennox. Megecup keningnya, kedua matanya dan kemudian bibirnya. "Ingin melihat jagoan kita?" Lennox hanya mengangguk lemah, aku tersenyum, "Tunggu sebentar."
Sebelum meninggalkan Lennox, aku membetulkan posisi tubuh Lennox. Mengatur hospital bed sedemikian rupa agar posisi Lennox terasa nyaman. Sekarang dia sedang duduk sambil bersender dengan bantal yang disusun di belakangnya. Setelah memastikan posisinya benar-benar nyaman, barulah aku berjalan menuju kakek dan nenek-nekek yang saat ini sedang berbahagia.
Setelah berbicara sebentar dengan sang Kakek dan kedua Nenek para bayi, aku berjalan menuju Lennox sambil menggendong salah satu bayi kami. Kembarannya di gendong oleh sang Kakek, Carlson.
"Boleh aku menggendongnya?" Tanya Lennox dengan sedikit ragu.
"Boleh." Jawab Carlson cepat. Bayi yang berada dalam gendongan sang kakek itu akhirnya berpindah ke Lennox. Dengan sedikit arahan Carlson, Lennox menggendong bayi mereka dengan hati-hati.
Semburat perasaan bahagia tidak berhenti terpancar dari mata Lennox sejak dia melihat dan kemudian menggendong salah satu bayinya.
"Sudah memutuskan nama mereka?"Tanya Elaine yang tanpa disadari kini sudah berada di sisi lain hospital bed, didampingi Mommyku, Marianne.
Aku dan Lennox saling bertatapan. Aku kemudian teringat, kami belum memutuskan sama sekali. Bagaimana ingin memutuskan, baru juga tiga minggu hubungan kami membaik para bayi sudah lahir.
"Avery." Ucapku sambil menatap si kecil yang berada dalam gendonganku.
"Kyrie." Sambung Lennox yang juga menatap si kecil dalam gendongannya yang disambut dengan gerakan menggeliat dari Kyrie. Sepertinya dia menyukai namanya.
.
.
.
"Ray, tolong, Avy menangis. Aku sedang memakaikan baju Ky."
Akupun dengan segera meninggalkan laptopku dan berjalan menuju Avy yang menangis di tempat tidur. Setelah dimandikan Lennox, Avery yang sudah rapi dan wangi dibaringkan di atas tempat tidur kami, tapi entah kenapa bayi yang tadinya tenang-tenang saja itu tiba-tiba menangis.
"Hey, jagoan Daddy, kenapa menangis, hm?" Tanyaku sambil menggendong Avery yang tentu saja tidak mendapatkan jawaban apapun darinya.
Setelah menggendong Avery beberapa saaat, tangisan Avery perlahan mereda dan kemudian berhenti.
"Sepertinya Avy kangen Daddynya." Ujar Lennox.
Aku kemudian berjalan menuju Lennox untuk melihat Kyrie. "Ky sudah selesai?"
"Sudah." Jawabnya sambil membawa Kyrie dalam gendongannya. Lennox menatapku, "Baru dua bulan, tapi mereka sudah seberat ini. Mereka tumbuh dengan baik."
"Jelas, siapa dulu Daddynya." Jawabku sombong yang kemudian direspon dengan tawa khas bayi dari Avery.
"Oh, lihatlah, Avy sudah bisa bersekongkol dengan Daddy." Komentar Lennox. "Ky jangan seperti Any ya, Ky harus mendukung Papa." Lanjutnya sambil mencium-cium pipi Kyrie dengan gemas. Ky yang seperti mengerti perkataan Lennox kemudian tersenyum dan tertawa. "Nah, ini baru anak Papa." Ucapnya setelah mendapat respon dari Ky.
Avery Landyn dan Kyrie Landyn adalah anugerah terbesar dalam hidupku. Mereka adalah darah dagingku dan Lennox. Keduanya membawa kebahagiaan bagi keluarga kecil kami. Aku, selama masa hidupku untuk pertama kalinya aku merasa bersyukur atas hidup yang diberikan Tuhan padaku terlebih setelah Tuhan menitipkan dua malaikat kecil ini kepada kami berdua.
"Ray." Panggil Lennox lembut.
"Hmm.. Kenapa sweetheart?"
"I love you."
"I love you more."