Eckart bangun sambil terengah-engah. Sudah lama sekali Eckart tidak memimpikan mimpi buruk yang dulu sempat menghantuinya hampir disetiap malam. Mimpi tentang omeganya yang dulu sangat dicintainya. Eckart melirik jam digital di atas nakas di samping tempat tidurnya. Sudah jam lima pagi dan dia sudah tidak bisa tidur lagi. Eckart kemudian mengecek ponselnya. Ada beberapa pemberitahuan masuk, salah satunya dari Nala.
Berbicara tentang Nala, besok sesuai janji waktu itu, dia akan pergi bersama Eckart untuk menghadiri acara ulang tahun pernikahan orang tua Eckart.
"Al, gawat."
"Kenapa gawat sih kak?"
"Aku pake baju apa? Besok mau ke pesta anniversarynya orang tua Eckart."
"Lah, ini acaranya formal apa cuma pesta keluarga apa gimana?"
"Eh…" Nala menatap Aelius bingung, yang ditatap jauh lebih bingung lagi. "Aku gak tau Al."
"Si anjir. Tanyain lah La, gimana sih."
"Oh, bentar aku tanyain." Ucap Nala sambil mengambil ponselnya. Tangannya sibuk mengetik pesan untuk Eckart dan langsun mengirimnya.
Nala menghela nafas, "Belum dibales Al."
"Ya mikir kak, baru juga dikirim chatnya. Gimana sih, kadang aku heran kamu tuh pinternya darimana sih sebenernya."
"Biasanya langsung dibales kok."
"Emang kamu chat dia tiap saat ya kak? Apa gimana?"
Nala mengingat-ingat waktu yang biasanya dia pakai untuk bertukar kabar dengan Eckart, "Biasanya pagi, jam makan siang sama malem aja sih."
"Nah, sekarang kan lagi jam kerja, bisa aja dia lagi sibuk atau lagi ada meeting." Jelas Aelius gemas. Nala ini seorang asisten dosen dan sedang menempuh program magisternya, sudah pasti pintar. Tapi, kenapa urusan seperti ini dia terlihat bodoh. Aelius sampai gemas sendiri jadinya.
"Gimana? Udah ada jawaban apa belum?" Tanya Aelius. Sengaja biar Nala terlihat cemas.
"Belum Aaaal." Jawab Nala penuh harap.
Aelius tertawa terbahak-bahak melihat respon Nala. Menggelikan, dia tidak percaya, sosok Nala yang terkenal cool dan juga acuh ini, tiba-tiba tidak dapat mengontrol emosinya hanya karena chat yang belum dibalas oleh Eckart.
Ting!
Terdengar suara notifikasi yang menandakan pesan masuk dari ponsel Nala. Tanpa babibu lagi, Nala lansgung membuka chat tersebut.
To: Eckie
Eckart, maaf mengganggu
waktumu. Aku hanya ingin bertanya
soal pesta anniversary sabtu nanti
acaranya formal atau semi formal?
aku takut salah memilih pakaian
From: Eckie
Semi formal
Kamu pakai pakaian santai saja
Acaranya outdoor
To: Eckie
Okay, I got it!
Kamu sedang sibuk? Maaf
aku mengganggu waktumu. Have
a great day!
From: Eckie
Ya, aku baru selesai meeting
maaf jika lama membalas chatmu
You too, have a great day, sweetie!💕
Okay, anggap saja Nala lebay. Tapi memang sebahagia itu membaca chat masuk dari Eckart. Apalagi dengan tambahan emoji love-love yang ada pada akhir kalimatnya.
Sudah diputuskan, Nala akan memakan pakaian semi formal saja. Walaupun Eckart memintanya untuk mengenakan pakaian santai, Nala tetap merasa was-was.
Selama tiga hari ini Nala sibuk dengan pakaiannya. Ini pesta pertamanya yang dia hadiri selama tinggal di sini. Bukan karena Nala tidak biasa berpesta, Nala rajin berpesta, bahkan dia adalah tumbal keluarga Wicaksana ketika mendapatkan undangan untuk menghadiri pesta kolega Papanya, tapi karena dia ingin tampil sempurna di depan kedua orang tua Eckart.
Dia menatap pantulan dirinya sekali lagi di cermin yang tergantung dibalik pintu masuk apartemenmennya. Dengan kemeja slim fit biru dongker dipadukan dengan celana bahan berwarna abu-abu tua, serta sepatu kulit berwarna coklat, Nala terlihat sangat menawan.
Nala pergi dengan Eckart, seperti yang sudah direncanakan, minus Nuri, karena bocah ini sudah berada di kediaman Grannynya sejak kemarin sore.
Keduanya berjalan memasuki area taman belakang yang sudah disulap sedemikan rupa untuk acara perayaan anniversary Mr. dan Mrs. Landyn ini. Para tamu sudah terlihat memenuhi kursi-kursi yang disediakan.
Tidak banyak memang yang diundang, hanya keluarga, sahabat dekat dan kolega-kolega yang memang sudah cukup dekat dengan keduanya. Tapi tetap saja terlihat meriah dan mewah.
Para undangan rata-rata mengenakan pakaian semi formal, bahkan ada beberapa yang mengenakan jas juga. Bahkan Eckart juga mengenakan kemeja slim fit dengan warna yang sama dengannya dipadukan dengan celana bahan berwarna coklat susu. Untung Nala memilih mengenakan pakaian saat ini, bukan pakaian santai seperti kata Eckart, jika tidak, sudah pasti dia salah dress code.
Dari sekian banyak tamu undangan, mata Nala justru tertuju pada dua sosok yang sudah sangat dikenalnya, Elatha dan Aelius. Keduanya sejak siang tadi sudah tidak terlihat batang hidungnya itu kini sedang duduk sambil bercakap-cakap dengan salah satu tamu undangan.
Masih berjalan beriringan, keduanya berjalan mendekati pasangan yang sedang berbahagia hari ini. Genggaman yang sejak tadi bertautan dieratkan. Nala gugup, sangat gugup.
Eckart melirik Nala dan memberikan tatapan yang bertujuan untuk meyakinkan Nala agar tidak gugup. Genggaman itu kemudian dilepas. Eckart memeluk kedua orang tuanya bergantian.
"Dad, Mom, happy anniversary."
"Thank you, Eckie." Ujar sang ibunda dengan tatapan bahagia.
Sang ayah, melirik ke sosok yang sedang berdiri mematung di samping Eckart. "Kamu tidak ingin mengenalkannya?"
Eckart menoleh ke arah Nala, lalu kembali menatap ayahnya, "Kenalkan, he is my lover, Anala."
Mendengar kata 'my lover' membuat pipi Nala bersemu merah. Dengan malu-malu, dia mengulurkan tangannya yang kemudian disambut oleh kedua orang tua Eckart.
"Anala Wicaksana." Nala memperkenalkan diri.
"Wicaksana?" Tanya Robert.
"Ya, Wicaksana." Nala menatap ayah Eckart bingung. "Ada apa Mr. Landyn?"
"Tidak, hanya saja namamu mirip seperti nama salah satu undanganku. Dia adalah anak dari sahabat karibku, orang Indonesia, Agnibrata Wicaksana." Jelas Robert.
"Ah, itu pasti adik saya, Agnibrata adalah ayah saya."
"Oh my Goodness. Dunia sempit sekali." Robert menoleh ke arah istrinya, "Love, lihatlah, impianku jadi kenyataan. Sepertinya aku harus segera mengabari Agni."
Setelah berbasa-basi dengan kedua orang tua Eckart. Nala langsung diajak Eckart untuk menikmati jamuan yang sudah di siapkan. Nala menikmati pesta ini dengan hati yang berbunga-bunga. Mengingat tadi Eckart memperkenalkan Nala dengan predikat 'lover' kepada orang tuanya.
Nala juga bertemu dan dikenalkan pada saudara-saudra Eckart. Mulai dari adiknya Colin dan Joselyn, kemudian sepupu tirinya Andrew dan Raymond. Mereka semua sangat ramah. Aku bisa melihat betapa dekat hubungan Eckart dan saudara-saudaranya.
"Honey!" Raymond tiba-tiba saja bangkit sambil memanggil seseorang yang sepertinya baru saja datang.
Sontak orang-orang yang berada satu meja dengan kami menoleh untuk melihat sosok yang dipanggil oleh Raymond.
Mata Nala menangkap laki-laki dengan perut yang sedikit membuncit berjalan menuju ke arah mereka sambil menggandeng dua anak laki-laki kembar yang terlihat sangat menggemaskan.
"Hello." Sapanya, "Maaf, aku terlambat, aku tidak tega membangunkan Avy."
Raymond berdiri dan membawa salah satu dari dua anak kembar tadi kedalam pelukannya, lalu kembali duduk di tempatnya.
"Aku duduk di sini ya?" Tanya sang pria cantik itu pada Nala. Kebetulan dua kursi di samping Nala masih kosong.
"Yup, untunglah kursinya masih kosong." Jawab Nala sambil tersenyum.
Laki-laki itu menarik kursi kosong lainnya terlebih dahulu dan kemudian mendudukkan anak laki-laki yang terlihat masih sedikit mengantuk dan bisa ditebak bernama Avy itu di kursi tersebut. Dirinya sendiri duduk di kursi yang berada tepat di samping Nala.
"Kenalkan, ini anakku Kyrie dan kembarannya yang masih mengantuk, Avery. Yang duduk di sebelahmu adalah pairku, Lennox dan juga yang masih dalam kandungannya, beany." Raymond memperkenalkan anggota keluarganya kepada Nala.
Nala tersenyum manis dan mengulurkan tangannya pada Lennox, "Anala." Ucapnya.
"Lennox, Lennox Landyn."
"Senang berkenalan denganmu." Ujar Nala.
.
.
.
Sejak kedatangan Lennox di pesta tadi, mood Eckart tiba-tiba saja berubah. Hanya berbicara seadanya, sisanya diam. Bahkan kehadiran Nala di sampingnya tidak membuat moodnya menjadi lebih baik.
Bahkan saat ini Eckart masih diam sambil mengemudikan mobilnya. Nala sendiri tidak berani membuka suara. Dia akan ikut kemana saja Eckart membawanya.
Setelah berkendara hampir selama satu jam, mobil Eckart memasuki area parkir sebuah gedung yang ditaksir kira-kira memiliki enam puluh lantai. Mobil itu berhenti dengan sempurna. Mesin mobil dimatikan.
Eckart kemudian menyandarkan punggungnya dan merebahkan kepalanya ke kursi kemudi. Dia menghela nafas berat sambil memejamkan matanya. Nala hanya menatapnya dalam diam. Tidak berani memanggil namanya, apalagi bertanya. Jadilah dia menunduk sambil memainkan jari-jarinya.
Cukup lama berdiam diri, akhirnya Eckart melepas sabuk pengaman yang sejak tadi melilit di tubuhnya. Nalapun melakukan hal yang sama.
"Ayo turun." Ujarnya dingin.
Nala hanya mengikuti. Mengekor Eckart berjalan memasuki area gedung. Keduanya berjalan dalam diam hingga akhirnya memasuki lift yang kini sedang membawa mereka menuju lantai teratas dari gedung perkantoran ini.
Sesampainya di lantai yang di tuju, mereka ternyata masih harus berjalan beberapa meter dan kemudian menaiki tangga yang dengan belasan anak tangga. Nala sempat menerka kemana tangga ini akan berakhir dan jawabannya adalah roof top. Ya, roof top yang juga merupakan area helipad dari gedung perkantoran yang bisa di tebak pastilah milik keluarga Landyn. Tidak mungkin orang yang bukan siapa-siapa bisa mengakses area ini.
Ketika pintu dibuka, angin malam langsung menerpa wajah Nala. Untung dia masih memakai coat yang diberikan Eckart seasaat setelah keluar dari mansion keluarga Landyn. Kemeja miliknya sudah pasti tidak dapat menahan angina malam dan sudah dipastikan sekarang Nala sedang bersin-bersin karena dinginnya angin malam.
Eckart berjalan menuju tepian area helipad. Dia bersandar pada pagar pembatas setinggi dada orang dewasa di depannya. Nalapun melakukan hal serupa. Untung dia tidak takut ketinggian, jika tidak, mungkin sejak tadi dia merengek minta dibawa turun ke lantai dasar.
"Aku sering kesini. Setiap sedang banyak pikiran." Ujar Eckart.
Matanya Nala melirik Eckart yang kini sedang menatap pemandangan gemerlap lampu kota di bawah sana. Nala tidak memberikan respon apa-apa. Diam adalah opsi terbaik saat ini, pikirnya.
"Lennox adalah fated pairku. Aku sebenarnya sudah mengetahuinya sejak pertama kali bertemu dengannya. Namun, bodohnya aku, aku menyangkal fakta itu. Aku merasa aku tidak pantas untuk omega seperti Lennox."
"… Aku masih tidak bisa memaafkan diriku atas kematian Keanu dan aku masih sanagt mencintainya. Bahkan saat inipun Keanu masih memiliki ruang tersendiri di hatiku."
"… Keanu omega pertama yang mampu mengubah duniaku, dia cinta pertamaku, Mommy dari Nuri. Tapi karena kebodohanku, aku harus kehilangan Keanu lebih cepat."
"… Kamu tau Nala? Aku pikir Lennox akan menjadi pairku. Namun, aku terlalu pengecut, aku tidak berani maju dan merebut hatinya. Aku takut, jika aku bersamanya, aku akan kehilangan Lennox, seperti aku kehilangan Keanu. Dan karena ketakutanku, aku benar-benar kehilangan Lennox."
"Kamu mencintainya?" Tanya Nala.
Eckart menoleh, menatap Nala yang ternyata juga sedang menatapnya, "Entahlah. Aku sendiri tidak mengerti."
"Kenapa? Kenapa kamu tidak mengerti?"
"Aku tidak tau. Aku bingung, apakah perasaan ini hanya sebuah reaksi dari yang namanya 'fated pair' atau aku memang benar-benar mencintainya."
Nala tersenyum pahit. Dari sorot mata Eckart yang terlihat kesakitan ini Nala tahu bahwa sebenarnya Eckart cinta pada Lennox. "Terima kasih sudah menceritakan hal ini padaku. Tapi, aku tidak dapat menjawab kebingunganmu atas perasaanmu pada Lennox. Hanya kamu yang tau jawabannya, Eckart."
"Maafkan aku Nala, harusnya kita bersenang-senang hari ini." Ujarnya lesu.
Eckart sadar, dia membuat suasana malam ini menjadi tidak nyaman. Bahkan Eckart bisa melihat seberkas kekecewaan dari sorot mata teduh milik Nala. Sungguh, bukan keinginannya seperti ini, tapi apa boleh buat. Pertemuannya dengan Lennox pasti akan membuat suasana hatinya memburuk.
Nala menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, "Aku rasa, lebih baik kita pulang, aku kedinginan."
"Baiklah."
Eckart kemudian membalikkan badannya dan berjalan menuju pintu masuk ke area gedung. Nala yang mengekor di belakangnya tiba-tiba memeluk Eckart dengan erat.
"Eckie… Aku memang tidak sehebat Keanu. Aku juga bukan takdirmu seperti Lennox. Tapi aku berharap, kita bisa melangkah demi masa depan kita bersama. Kamu tau kan? Aku mencintaimu Eckie."