Setelah mimpi buruk semalam, pagi ini aku terbangun dengan perasaan hampa. Aku tidak tahu lagi harus menjalani hari-hariku seperti apa. Bagaimana aku harus menghadapi Raymond dan juga yang lainnya. Apakah mereka akan menjauhiku? Bagaimana mereka akan memandangku?
Memikirkan hal-hal itu saja membuat dadaku terasa sesak. Entah sejak kapan, air mataku kini sudah mulai turun dan membasahi pipiku. Aku mulai terisak.
Clek..
Suara pintu terbuka diikuti dengan suara langkah kaki berjalan mendekatiku. Dua lengan kokoh menarikku ke dalam rengkuhannya.
"Lennox, please jangan menangis lagi." Ujar Raymond dengan suara paraunya.
Aku yang mendapat perlakuan seperti itu tidak lekas berhenti terisak, tapi justru semakin menjadi-jadi. Rasanya ingin sekali meluapkan gemuruh yang sejak aku membuka mata telah memenuhi rongga dadaku.
Raymond mengelus rambutku, "Lennox, please. I don't wanna see you cry."
"But it's hurt Ray." Ucapku di sela tangisanku.
"I know, but you've to be strong and i know you can. Cause you have me and all those people around you. I love you, we love you Lennox."
"But, these babies aren't yours. You're not their dad."
Raymond terdiam. Aku kembali menangis tanpa peduli air mataku membasahi kaos putih Raymond.
Setelah cukup lama aku menangis, akhirnya air mataku berhenti mengalir. Raymond akhirnya memutuskan untuk melepaskan pelukan hangat itu dan duduk di sampingku. Kami saling berhadapan. Kedua tangannya menangkup wajahku. Memaksaku untuk melihat ke wajahnya.
"Lennox, listen to me. I don't fucking care. Mau anak siapapun mereka aku tetap menyayangimu. Aku akan selalu ada di sampingmu."
Mataku kembali buram, air mata kini sudah menutupi pandanganku. Dan akhirnya air mataku kembali tumpah.
"Lennox, please stop." Ujarnya sambil menghapus air mataku yang mengalir perlahan di pipiku.
"Berhentilah, kamu bukan hanya membuatku sedih, tapi juga bayi-bayi dalam perutmu. Tolong, simpan air matamu, jangan menangisi orang yang bahkan tidak peduli padamu."
Benar kata Raymond, aku memang tidak boleh menangisi Ralph. Tapi aku tidak bisa. Hidupku dan hatiku dihancurkan olehnya. Jika dulu aku di hancurkan oleh harapan palsu yang dia berikan, maka sekarang hidupku dihancurkan dengan kehadiran dua bayi dalam kandunganku.
Nanti ketika bayi-bayi ini lahir, aku akan selalu hidup dalam bayang-bayang Ralph. Pria itu pasti mewariskan gennya pada anak-anakku. Bagaimana aku bisa sanggup menghadapi semuanya? Bagaimana aku bisa membiasakan diri untuk melihat wajah-wajah yang mirip seperti pria yang aku benci? Semuanya hanya akan terasa sakit.
Apa dosa yang telah kulakukan hingga Tuhan menghukumku seperti ini?
"Lennox."
"...."
Wajah Raymond mendekatiku. Sebuah kecupan mendarat di keningku, kemudian turun di kedua mataku, hidungku, kedua pipiku, daguku dan terakhir bibirku.
"Lihat aku Lennox." Ujarnya sambil menempelkan keningnya di keningku.
"Aku sudah pernah mengatakan ini padamu. Aku tidak peduli dan tidak akan pernah peduli tentang siapa ayah dari bayi-bayi dalam kandunganmu. Yang aku pedulikan hanyalah dirimu, kesehatanmu dan mereka, kehidupanmu dan mereka. Hanya tentang kamu dan mereka yang kini hidup dalam rahimmu."
"... So please, jangan merasa sedih dan menangisi hal-hal buruk yang telah terjadi. Semuanya hanya masa lalu. Lupakan semuanya, lupakan. Yang harus kamu lakukan sekarang hanyalah membahagiakan dirimu. Menjalani hidupmu yang sekarang dan menyambut masa depan."
"... Kamu sudah cukup menderita karena pria brengsek itu. Kini sudah waktunya kamu bahagia Lennox. Banyak orang yang menyatangimu, aku, keluargamu, Eckart dan Nuri. Kami semua menyanyangimu."
"... Lennox, percayalah. Aku tidak akan meninggalkanmu."
Aku yang mendengar ucapan Raymond hanya bisa diam. Aku bingung, aku tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, aku ingin, aku sangat menginginkan Raymond. Tapi di sisi lainnya, aku tidak ingin menyakitinya.
"Aku takut, aku takut menyakitimu." Ujarku dengan nada sedikit bergetar.
Raymond terlihat sangat frustasi. Dia kemudian merangkulku, mendekapkan kepalaku di dadanya.
Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Yang aku tahu hanyalah detak jantungnya yang begitu cepat kini terdengar di telingaku. Nafasnya memburu dan menyapu tengkukku.
Kemudian sebuah kecupan mendarat disana dan membuat bulu-bulu tengkukku berdiri. Kecupan itu berubah menjadi sapuan dari lidahnya yang kasar. Tengkukku menjadi basah oleh liurnya. Sedetik kemudian, aku merasakan taringnya menempel di tengkukku yang perlahan-lahan menembus jaringan kulitku. Otakku tahu apa yang akan dilakukan Raymond.
"R-ray.. N-no..."
Sakit, rasanya sakit sekali ketika ketika gigi-gigi Raymond menekan tanpa ragu menembus selaputku dan merobeknya. Tubuhku mulai bereaksi, sensai hangat dan menyenangkan kini menjalar di sekujur tubuhku. Rasa geli pada perutku seolah menggelitik dan membuat tubuhku menegang.
Raymond berhasil menandaiku. Walaupun hanya bersifat sementara karena aku ditandai di luar masa heatku, tapi tanda ini cukup untuk menunjukkan kepemilikan Raymond atas diriku.
Tubuhku yang tadinya tegang kini sudah mulai rileks. Raymond yang menyadari hal ini akhirnya melepaskan gigitannya dan juga pelukannya. Kedua tangannya memegang pundakku dengan erat.
"Lennox, walaupun tanda ini hanya sementara, namun sekarang kamu adalah omegaku dan aku adalah alphamu. Kini kita berbagi semua rasa sakit dan juga sedih yang kamu rasakan. Apakah ini cukup untuk menyakinkanmu bahwa aku menerimamu dan akan selalu bersamamu?"
Aku mencerna setiap kata-kata yang dilontarkan Raymond dalam diam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih.
"Apa kamu masih meragukanku?" Tanyanya.
Aku menggeleng, "Tidak."
Aku tidak meragukan Raymond. Tapi aku meragukan diriku sendiri. Aku ragu apakah ini memang yang terbaik untukku.
"... Apakah ini yang terbaik?"
"..."
"Ray, aku tanya, apakah ini yang terbaik?"
"Jika dengan ini aku bisa melindungimu dan anak-anakmu, maka jawabannya adalah ya, ini yang terbaik."