Sudah lima hari aku berada di villa besar ini. Laki-laki yang menyekapku sudah tidak lagi menemuiku sejak hari kedua. Setiap harinya kegiatanku hanyalah bangun tidur, makan, mandi, cek kesehatan, berkeliling villa, makan lagi, mandi lagi dan kemudian tidur. Selalu seperti itu.
Selain diriku, ada dua pelayan dan satu tukang kebun yang tinggal di villa ini. Namun, walaupun ada penghuni lainnya, mereka tidak berbicara sedikitpun padaku. Awalnya aku dengan senang hati mengajak mereka ngobrol karena aku merasa kesepian sekali tanpa adanya alat komunikasi maupun televisi di sini. Aku butuh hiburan, jadi aku berupaya dekat dengan mereka. Setidaknya obrolan ringan tidak membuatku bosan. Tapi semuanya sia-sia, mereka seperti robot yang di program untuk mengurusi villa, melayani dan membantuku, tapi tidak untuk menjadi teman ngobrolku.
Tapi tidak apa, setidaknya aku bisa mengobrol dengan seorang dokter yang akan datang sekali sehari untuk mengecek keadaanku dan juga mengobati lukaku yang sekarang sudah sangat membaik.
Namanya Steve, seorang omega laki-laki yang cantik dan baik hati. Hebat sekali bukan, walaupun dia omega tapi dia bisa menjadi dokter.
Mungkin karena sesama omega, aku dan Steve sangat cocok sekali. Dan lebih gilanya lagi Steve bahkan menawarkan dirinya untuk mebantuku. "Untuk balas budi" Katanya ketika aku tanya kenapa.
Awalnya aku agak ragu dengan tawaran Steve, tapi sudah tiga hari dia meyakinkanku dan akhirnya aku menerima uluran tangan Steve. Dia memintaku untuk menyebutkan dua nama yang bisa dipercaya dan entah kenapa, otakku langsung tertuju pada Raymond dan juga Eckart. Selain nama, dia juga meminta barang yang jika kedua orang itu melihatnya mereka langsung tau itu adalah milikku.
Aku memilih anting yang selalu ku kenakan. Anting sederhana namun aku sangat menyukai antingku ini. Tidak rela memang, tapi ini demi keselamatanku juga. Akupun menyerahkan anting ini pada Steve.
Aku tidak tahu apa yang akan Steve lakukan dengan anting itu dan juga Raymond dan Eckart. Tapi entah kenapa aku merasa Steve sangat dapat kupercaya. Untunglah, untung dia yang menjadi dokter yang memeriksaku.
Aku mengingat-ingat kembali apa yang aku bicarakan dengan Steve kemarin.
"Lennox dengarkan aku, besok bangunlah lebih cepat dari biasanya. Aku akan datang memeriksamu lebih awal, sekitar pukul delapan, kau harus menghabiskan sarapanmu, ingat itu. Setelah aku selesai dengan pemeriksaan, jam sepuluh kurang lima belas cobalah berjalan-jalan di luar villa. Keluarlah melalui pintu depan dan berkelilinglah, jika sudah sampai di bagian belakang, lari lurus ke depan. Jangan berbelok dan menoleh ke belakang meskipun ada yang berteriak memanggil namamu."
Aku mencerna penjelasan dari Steve.
"... Kamu mengerti kan Lennox?"
Aku mengangguk, "Aku mengerti."
"Jika kau melihat pohon dengan kain merah, berjalanlah sebelas langkah kedepan, tunggulah disana. Aku akan menjemputmu."
"Baiklah."
##
Aku menghela nafas dan kemudian melirik jam dinding yang tergantung di kamar yang sedang aku tempati. Lima menit lagi aku akan berkeliling villa seperti biasanya.
Aku membuka lemari besar yang berisi pakaian yang semuanya sesuai dengan ukuranku. Mengambil salah satu coat berwarna hitam dan memakainya. Udara di luar dingin karena villa ini seperti berada di kaki gunung dan dikelilingi pohon-pohon besar. Di tambah lagi dengan udara musim gugur yang cukup dingin dan aku benci dingin. Dari pada mengenakan sneakers seperti biasanya, hari ini aku lebih memilih untuk mengenakan combat boots berwarna hitam.
Dengan hati yang sedikit berdebar aku melangkahkan kakiku keluar dari villa. Berjalan-jalan di taman depan dan kemudian merambat secara perlahan menuju area belakang villa.
Aku melihat ke sekelilingku. Tidak ada orang sama sekali. Dengan langkah yang pasti aku mulai berjalan pelan menuju pepohonan yang tumbuh dengan kokoh di sana. Langkahku semakin cepat, yang awalnya hanya berjalan kini aku sudah berlari sangat kencang. Semakin dalam, pohon-pohon ini semakin banyak. Bahkan semak-semakpun semakin rimbun.
"Auch.."
Aku terjatuh terjerembab ketika kakiku dengan tidak sengaja tersandung batang pohon yang sudah tumbang.
"Sial."
Lututku kananku terasa perih. Celana ku robek dan darah segar kini mengalir dari luka yang sepertinya cukup dalam.
Dor!
Terdengar suara tembakan dari arah belakang. Sepertinya seseorang mengejarku.
Dengan lututku yang masih terasa perih aku kembali berlari sambil tertatih-tatih. Mataku terus mencari pohon dengan kain merah yang mengikatnya. Aku ingin menoleh kebelakang, namun aku ingat perkataan Steve. Jadi aku urungkan niatku tadi.
Dadaku mulai terasa sesak, entah sudah sejauh apa aku berlari.
Untungnya usahaku tidak sia-sia. Kini aku menemukan pohon dengan kain merah terikat disana. Aku kemudian berjalan sebelas langkah ke depan dan terhenti di sebuah rumah pohon yang terlihat tidak terawat.
Apa Steve benar-benar menyuruhku menunggu disini? Pikirku.
"Psssst.. Lennox."
Seseorang memanggilku, aku menoleh kesana-kemari mencari sumber suara.
"Lennox, cepat, semak-semak depanmu."
Aku meliat Steve memunculkan kepalanya di balik semak-semak.
"Ste-"
"Sshiiii..." Steve menempelkan jari telunjuknya di depan bibirnya.
Aku berjalan menuju ke arah Steve dan dengan cepat Steve menarik tanganku dan menyeretku sambil berlari.
"Ayo cepat, sebelum mereka menyusulmu. Raymond dan lainnya menunggumu di depan sana."
Dan benar saja, aku bisa melihat sosok Raymond yang sedang mondar-mandir dari kejauhan. Walaupun masih terhalangi beberapa pohon yang kini tidak lagi sebesar pohon-pohon yang sudah aku lewati.
Aku melepas genggaman tangan Steve dan berlari dengan tidak sabar menuju Raymond.
Dor!
Dor!
Bruk!
Aku mendengar suara tubuh yang ambruk di belakangku. Otomatis aku menoleh dan menemukan Steve tergeletak meringkuk sambil memegang kakinya yang kini sudah mengeluarkan banyak darah.
Dengan cepat aku berbalik lari dan memeluk tubuh Steve.
"Steve!"
Tidak, bukan hanya kakinya yang tertembak, tapi bahunya juga.
"No.. No.. Steve!"Teriakku panik.
"Lennox!" Raymond berteriak.
"Tidak, no, Steve, lihat aku."
Steve tidak mengeluarkan suara, dia menggeram hingga aku bisa mendengar suara gemertak giginya.
Suara tembakan masih terus terdengar, aku tidak ingin melihat keadaan di sekelilingku. Pikiranku hanya tertuju pada Steve. Steve tidak boleh mati.
Aku menepuk pipi Steve dengan keras. "Steve tetap sadar, dengarkan aku."
Dor!
"SIAL! BAJINGAN! KUMOHON BERHENTILAH!" Aku berteriak histeris.
Dor!
Suara tembakan kembali terdengar. Sial, pundakku terasa panas dan perih, sakit sekali. Aku mengangkat kepalaku ingin melihat siapa yang telah menembakku, mataku tertuju pada sosok yang sekarang sedang mengarahkan senjata api padaku, Ralph.
"Ralph, no." Gumamku pelan.
"BRENGSEK!" Teriak Raymond dari belakangku. Derap langkah kakinya yang sedang berlari mendekat terdengar jelas di telingaku. Derap itu aku yakin semakin dekat, tapi entah kenapa justru terdengar semakin menjauh.