Entah sudah beberapa lama aku tertidur. Aku tidak tahu lagi, tapi yang pasti tubuhku terasa kaku. Langit-langit yang aku llihat saat ini terasa begitu asing. Bau disinfektan yang kuat menusuk ke hidungku. Ini menandakan bahwa aku sedang berada di rumah sakit.
Aku tidak bisa bangkit, jadi aku hanya berkedip-kedip sambil menggerakkan jari-jariku.
"Lennox, kamu bangun."
Aku menoleh ke sumber suara. Sesosok laki-laki tampan kini sedang menatapku dengan tatapan bahagia. Dia meraih tanganku dan mengecupnya berkali-kali.
"Syukurlah. Syukurlah."
Aku tidak tahu siapa laki-laki ini.
"Ah.. Aku harus memanggilkan dokter." Dia mengecup kembali tanganku, meletakkannya kembali di samping tubuhku dan mengelus lembut rambutku. "Tunggu sebentar ya, aku segera kembali."
Kupejamkan mataku sejenak. Tak lama kemudian aku bisa mendengar banyaknya suara langkah kaki yang mendekat.
Aku membuka mataku kembali dan sekarang mendapati dua orang dokter dan dua orang perawat sedang mengelilingiku. Laki-laki tadi juga ikut masuk, tapi dia berada sedikit jauh. Dia sedang sibuk dengan ponselnya, seperti sedang menghubungi seseorang.
Dokter dan perawat memeriksaku. Beberapa pertanyaanpun sempat dilontarkan padaku. Aku menjawab seadanya, karena memang hanya itulah jawaban yang dapat aku berikan.
Setelah pemeriksaan selesai. Beberapa alat yang menempel pada tubuhku pun dilepas. Hanya menyisakan selang infus yang masih menempel pada tangan kananku.
"Tolong, hospital bed ini agak di naikkan." Ujarku pada salah satu perawat.
Perawat itu berjalan ke arahku dan menaikkan bagian atas hospital bedku, "Begini sudah tuan?" Tanya nya.
Aku mengangguk, "Terima kasih."
Perawat itu pamit dan meninggalkan aku sendiri. Laki-laki yang tadi menemaniku ikut keluar bersama dokter yang memeriksaku.
Aku tidak mencoba mengingat apa yang terjadi padaku, karena tadi dokter sempat memperingatiku untuk tidak melakukannya.
Clek..
Suara pintu di buka.
"Lennox. Ya Tuhan, akhirnya."
Mama berlari berhamburan ke arahku dan memelukku erat. Tubuhku yang masih lemah ini tidak bisa berbuat banyak, jadi aku tidak membalas pelukan hangat dari mama.
"Tante, Lennox baru bangun." Sebuah suara yang sudah sangat aku kenal itu sedang mengingatkan mamaku.
Mama melepas pelukannya. "Bagaimana perasaanmu?"
"Baik." Jawabku.
"Bagian mana yang sakit?"
Aku menggeleng lemah, "Tidak ada Mama."
Entah kenapa pandanganku tidak lepas dari sosok yang tadi aku lihat pertama kali aku membuka mata, dia kembali memasuki ruangan ini. Di ikuti Papa di belakangnya. Raut wajah Papa terlihat murung sekali.
"Ray, itu siapa? Aku tidak mengenalnya."
Raymond menoleh ke belakang dan kemudian menatapku dengan tatapan yang tidak kumengerti.
"Itu Eckart Landyn, sepupuku."
"Oh, aku tidak ingat." Aku menunduk. "Maafkan aku tidak bisa mengingatnya." Ujarku lemah.
Raymond mengelus kepalaku, "Tidak apa-apa. Bukan salahmu tidak mengingatnya."
Ya, aku tidak mengingat apa yang terjadi padaku. Karena seperti kata dokter tadi, aku memang kehilangan memoriku sejak empat bulan atau bisa saja lebih lama lagi, mungkin sekitar setengah tahun yang lalu.
Papa mendekat dan kemudian mencium keningku sedikit lama. Setitik air jatuh di pipiku. Papa menangis. Pertama kalinya aku melihat sosok angkuh ini menangis dan itu karena diriku yang selalu di anggapnya tidak berguna.
Papa menangkup wajahku dengan tangannya yang lebar, "Lennox, maafkan Papa." Di kecupnya lagi keningku berkali-kali.
"Maafkan Papa, semua ini terjadi karena Papa."
Setelah menyelesaikan kalimatnya, papa duduk di sampingku, menggantikan posisi mama, sambil menggenggam tanganku erat. Mama yang tadinya masih ingin duduk di situ akhirnya mengalah. Kini dia duduk di sofa di ruang tunggu mini yang tak jauh dari hospital bedku ini, di temani Raymond yang sedang mengelus punggungnya dan juga Eckart yang sedang duduk sambil terus menatapku.
"Lennox, ada yang sakit?"
Aku menoleh dan menatap wajah papa, "Tidak Pa."
Aneh sekali rasanya mendapat perhatian seperti ini dari Papa. Dulu, mau aku sesakit apapun yang merawatku adalah Mama, dibantu oleh kepala pelayan di rumah. Papa tidak pernah peduli. Aku merasa sedikit bersyukur aku berada diposisi saat ini, papa akhirnya kembali menunjukkan perhatiannya padaku.
"Lennox, maafkan papa."
Aku menggeleng kepala, "Papa tidak salah, jadi jangan minta maaf lagi."
Papa terdiam cukup lama, suasana ruang ini menjadi hening dan sunyi. Hanya terdengar detak jarum jam yang terus berjalan. Aku melirik ke arah jam tersebut. Ternyata masih pagi.
"Papa keluar dulu."
Papa bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan ruangan ini dengan raut wajah yang masih sama seperti saat dia memasuki ruang ini. Orang tua itu, dia terlihat sangat menyesal sekali. Aku tidak tahu apa yang sudah dilakukan Papa hingga dia terus meminta maaf seperti tadi. Aku pun tidak ingin tahu. Karena sepertinya lebih baik begitu.
Setelah Papa, kini giliran Raymond yang duduk di kursi yang berada di samping hospital bedku. Kalau di perhatikan, wajah Raymond tak kalah kusutnya dari wajah Papa. Pipinya tirus dan kantung hitam di bawah matanya terlihat sangat jelas.
"Jadi kapan aku bisa pulang?" Aku membuka suara.
"Dua atau tiga hari lagi. Tergantung hasil pemeriksaanmu besok." Jelas Raymond.
"Aku ingin pulang besok setelah pemeriksaan."
"Aku tidak bisa janji."
Aku kemudian melirik ke arah ruang tamu mini, dimana Mama dan Eckart sedang duduk dalam diam.
"Ma, aku boleh bicara sebentar dengan Raymond?"
Kedua orang itu saling menatap, "Baiklah." Jawab Mama.
Mama dan laki-laki bernama Eckart itu pergi meninggalkanku dan Raymond. Eckart tidak berbicara apapun. Dia hanya diam.
"Ada apa?"
"Aku tidak ingin pulang ke rumah." Ujarku pelan.
"Maksudmu? Kamu ingin pulang ke tempat lain?"
Aku menggeleng, "Aku ingin pulang ke apartemenmu."
Raymond menatapku dengan sedikit bingung, "Kenapa? Kamu tahu, Papamu yang paling bersemangat ingin kamu pulang kerumah."
"Entahlah, aku merasa tidak bisa pulang kesana."
Raymond menggenggam tanganku. "Aku tidak tahu apa yang ada dipikiranmu, tapi jika memang kamu maunya seperti itu akan coba ku bicarakan dengan om Carlson."
"Raymond.."
"Hmmm.. Kenapa? Bicara saja, jangan ragu."
"Boleh minta dipeluk?" Tanyaku sedikit ragu.
"Hahaha... Dasar."
Raymond kemudian bangkit dan memelukku lembut. Aku menghirup aroma tubuh Raymond yang khas. Baunya seperti bau hujan bercampur dengan bau pinus. Menenangkan sekali.
"Raymond, terima kasih."
"Untuk apa?" Raymond melepaskan pelukannya dan menatapku lekat.
"Kerena kamu selalu ada untukku dan selalu menjaga... Hmpphh." Aku menutup mulutku menahan rasa mual yang tiba-tiba saja menyerangku.
"Lennox.."
"Aku baik-baik saja, mungkin karena kondisiku memang belum stabil." Ujarku sambil tersenyum.
"Apa mau tidur lagi?"
"Apa boleh? Ini kan masih pagi."
"Siapa yang akan melarangmu, tidurlah lagi."
"Ray." Panggilku pelan.
"Mmn.. Ada apa? Bukannya mau tidur?"
"Nanti sampaikan maafku pada Eckart, maaf aku tidak mengingatnya."
Raymond tersenyum dan mengecup pucuk kepalaku, "Nanti aku sampaikan, sekarang jangan banyak pikiran, okay?"
Aku pun mengangguk. Ya, aku harus fokus pada penyembuhanku dulu, tidak perlu banyak pikiran.
Raymond mengelus rambutku lembut. Entah kenapa, rasanya nyaman sekali dan ini membuatku mengantuk. Mataku perlahan terpejam dan akupun tertidur lelap.