Udara dingin yang menusuk membangunkanku. Aku mencoba duduk, kepalaku sakit sekali seperti habis dihantam batu keras berkali-kali. Sialnya, bukan hanya kepala, tapi juga tubuhku.
Dengan cahaya minim aku mulai mengamati sekelilingku. Ruangan ini besar sekali, bahkan jauh lebih besar dari rumah sewaku yang dulu. Dinding berwarna abu-abu muda di tambah dengan aksen hitam membuat ruangan ini terkesan elegan namun sedikit suram. Lemari yang besar dan juga beberapa prabotan mahal menghiasi kamar yang sedang aku tempati sekarang. Jendela besar berada tepat di sisi kanan tempat tidur berukuran king size ini di tutupi tirai berwana hitam. Tidak membiarkan sedikitpun cahaya masuk dari luar.
Setelah mengamati sekelilingku, aku kemudian beralih mengamati keadaan tubuhku. Aku menyibak selimut yang sejak tadi menyelimuti setengah bagian tubuhku.
"Ugh.." Tanganku terasa sakit sekali.
Aku terkejut melihat banyaknya gigitan yang menjalar dari punggung tanganku hingga hampir memenuhi lengan atasku. Tidak hanya pada tangan kanan tapi juga pada tangan kiriku, walaupun tidak separah tangan kananku. Pantas saja, sakit.
Nging...
Telingaku seperti sedang berdenging dan kepalu tiba-tiba saja sakit. Potongan-potongan ingatan tiba-tiba saja masuk kedalam pikiranku tanpa permisi.
Ingatan ketika aku di bekap hingga tidak sadarkan diri. Ingatan saat aku terbangun dan mendapati beberapa laki-laki bertubuh tegap sedang menjagaku di ruangan serba putih. Hingga ingatan dimana seorang pria menggagahiku berkali-kali hingga aku tak sadarkan diri. Aku juga mengingat usaha pria itu untuk menggigit tengkukku yang selalu aku gagalkan dengan cara membiarkannya menggigit tanganku.
Aku tidak bisa mengingat dengan jelas wajah pria yang menggagahiku tadi. Ah, kenapa ingatanku sangat buruk.
Setelah potongan ingatan itu menyerangku aku kemudian mengecek keadaan tubuhku. Tengkukku tidak tergigit sama sekali, tapi pada bagian tubuhku yang lain terdapat bekas gigitan dan juga bercak-bercak merah. Gigitan lainnya tidak separah tangaku, tapi tetap saja sakit jika di sentuh. Aku meraba bagian belakangku, basah. Sepertinya pria itu mengeluarkan benihnya di sana.
Aku mencoba turun dari tempat tidur, ingin membersihkan tubuhku yang masih lengket dengan bau sperma yang pekat. Tapi belum sempat aku melangkah aku sudah lebih dulu jatuh terjerembab.
"Sss..." Aku mendesis kesakitan.
Sial.
Sial.
Tubuhku menjadi lemah sekali. Aku benci dengan sisi omega lemahku ini.
Clek...
Suara pintu terbuka terdengar olehku, di ikuti dengan langkah kaki seseorang masuk ke kamar yang aku tempati sekarang. Aku yang tadinya tertunduk kini mendongak, menoleh mencoba melihat siapa sosok yang kini memasuki kamar ini.
Bam!
Pintu kembali tertutup, pria itu tidak keluar namun justru berjalan ke arahku. Pandanganku yang tadi samar kini menjadi jelas. Laki-laki itu kini sedang berjongkok dan menatapku dengan senyuman kecil yang terpampang jelas di wajahnya.
"Lennox, kenapa kamu turun dari tempat tidur sendiri? Kenapa tidak memanggilku?"
Tangannya membantuku berdiri dan kemudian mendudukkanku di bibir tempat tidur empuk tempatku tertidur tadi. Muluku terkunci rapat. Hatiku membara, kebencianku pada laki-laki di hadapanku ini kembali menguap memenuhi seluruh rongga dadaku.
Laki-laki tadi berjalan menjauhiku, dia kemudian menyalakan lampu dan kemudian mengambil first aid kit yang berada di salah satu laci meja yang berada tidak jauh dari jendela besar kamar ini. Pandanganku lekat pada sosoknya dan mengamati setiap gerak-geriknya.
Dia kembali berjongkok di depanku, tangannya kemudian meraih kedua tanganku, menciumi dan mengusap lembut setiap bekas gigitan yang berderet acak disana. Aku hanya bisa meringis menahan perih yang timbul akibat sentuhannya.
"Biar aku yang obati." Ujarnya lembut.
"...."
"Kamu boleh memukulku kalau terasa sakit."
"...."
Perlahan tangan kekarnya itu membuka botol akohol dan menungkannya di atas kapas. Dengan sangat hati-hati dia membersihkan luka-luka bekas gigitan pada tanganku. Gerakannya sangat lembut, seolah tanganku bisa saja hancur berkeping-keping jika dia melakukan hal yang salah.
Ingin rasanya aku berteriak dan memukul wajahnya, tapi aku tidak bisa, aku tidak punya tenaga untuk melawan laki-laki sehat dan kekar sepertinya. Aku yakin bahkan dengan kondisi prima saja aku pasti kalah telak, apalagi dengan kondisi seperti saat ini.
Setelah membersikan luka dengan alkohol, dia membubuhkan salep untuk meredakan sakit dari gigitan-gigitan tersebut dan juga agar tidak terkena infeksi. Lalu, setelah itu dia membalut lukaku.
Tidak butuh waktu lama, sekarang kedua tanganku telah terbungkus dengan rapi. Laki-laki ini tersenyum menatap hasil karyanya pada tanganku.
Laki-laki ini kemudian membereskan first aid kitnya dan meletakkan kembali ke tempat semula kemudian berjalan mendekatiku lagi.
"Ayo, kita bersihkan tubuhmu."
Dia menggendongku dan membawaku masuk ke kamar mandi. Tubuhku dimasukkan ke dalam bathtub dengan punggungku menyender pada salah satu dinding bathtub tersebut. Tanganku berada pada bibir bathtub, diletakkan dengan sangat hati-hati.
Tubuhku kemudian dibersihkan dengan menggunakan air hangat tanpa membasahi tanganku. Tak ada satu pun bagian tubuhku yang terlewatkan oleh sapuan tangannya. Bahkan lubangku yang sejak tadi mengeluarkan cairan putih kental itu pun ikut di bersihkannya.
Setelah memandikanku, mengeringkan tubuhku dan memakaikan piyama padaku, dia kembali membawaku dan menidurkan ku di atas tempat tidur yang tadinya seperti kubangan babi kini sudah rapi dan bersih. Diaturnya posisiku sedemikian rupa. Kini aku duduk sambil bersandar pada bantal yang tertumpuk tinggi.
Aku menerima semua perlakuannya dalam bisu. Tidak berkomentar ataupun bertanya. Tidak juga berterima kasih.
Kini laki-laki ini sudah bersiap menyuapiku dengan bubur yang entah sejak kapan berada di atas nakas di samping tempat tidur yang aku tempati.
"Ayo makan dulu." Ujarnya sambil menyodorkan sendok berisi bubur.
Aku menatap wajahnya tanpa membuka mulutku sama sekali. Aku membenci sosok di hadapanku saat ini, sangat benci sekali.
"Brengsek!"
Entah mendapatkan kekuatan dari mana, aku mengangkat tanganku dan menepis tangannya hingga sendok yang di pegangnya terlempar. Bubur yang tadinya ingin disuapkan padaku ikut berceceran mengotori celananya dan juga lantai.
Dia menggeram sesaat dan kemudian kembali tenang. Semudah itu dia mengantur emosinya. Dia bangkit dari duduknya, mengambil beberapa helai tissue dan membersihkan tumpahan bubur di celana dan juga di lantai. Sambil membersihkan tumpahan bubur di lantai, sendok yang tadi terlempar juga ikut diambilnya.
Dia kemudian berdiri menghadapku, "Aku ambilkan sendok yang baru." Setelah menyelesaikan kata-katanya, dia pergi meninggalkanku sendiri.
Tak lama sosok itu kembali membawakan sendok bersih. Dia meletakkan sendok di samping mangkuk bubur yang masih penuh.
Aku kira dia akan duduk dan kembali mencoba menyuapiku. Tapi dia masih berdiri tepat di sampingku dan menatapku lekat.
"Makanlah, sebelum buburnya dingin. Jangan lupa minum after pill yang aku sediakan."
Aku hanya mengangguk pelan setelah mendengar kalimatnya yang seperti sedang memeberi perintah padaku.
"Setelah makan tidurlah, aku akan menemuimu lagi besok pagi."