Aku terbangun karena sesak. Mataku menangkap pemandangan yang luar biasa. Dada bidang dengan otot yang terukir indah kini tepat berada di depanku. Aku sedikit mendongak, pemilik dada indah ini masih tertidur.
Wajahnya terlihat polos, berbeda sekali dengan wajah yang aku lihat tadi malam. Tapi tunggu dulu, jika Eckart tidur dengan bertelanjang dada berarti aku juga. Wajahku memanas setelah mengetahui hal tersebut. Kejadian tadi malam pun terulang kembali dalam ingatanku.
Aku harus melepaskan pelukan ini sebelum kejadian itu terulang kembali.
Dengan sangat hati-hati aku mencoba melonggarkan pelukan erat Eckart untuk mengecek keadaanku. Namun, sosok ini tidak ingin melepaskan pelukannya, malah semakin memelukku erat.
"Hmm... Ayo tidur lagi." Racaunya masih dengan mata yang tertutup rapat.
Aku yang memang lemah ini tidak memiliki tenaga sama sekali untuk melepaskan dekapannya yang erat.
"Hmmm.." Suara Eckart kembali terdengar di ikuti dengan terasanya sebuah tonjolan di bawah sana. Wee wee Eckart menegang. Miliknya yang mengeras tapi justru aku yang merasa malu.
Aku menyentuh wajahnya lembut, "Eckart bangun."
"Emm..."
"Ayo bangun."
Mata yang tadi terpejam kini sedikit terbuka, "Sebentar lagi." Setelah menyelesaikan kata-katanya, Eckart memejamkan matanya kembali.
Aku menghela nafas, "Aku harus bikin sarapan."
"Hari ini kan Minggu, kita tidur sebentar lagi." Ujarnya tanpa membuka mata.
"Nuri sudah bangun." Aku beralasan supaya terlepas dari pelukan Eckart.
'Cup!'
Ekcart mengecup keningku, kemudian kedua mataku, dan terakhir bibirku.
"Morning." Ujarnya dengan suara serak.
Aku terdiam, tidak percaya dengan kejadian yang baru saja aku alami. Tidak, tidak, bukan kejadian tadi, tapi serentetan kejadian sejak tadi malam.
Ada apa dengan Eckart? Apa yang terjadi padanya?
Sepertinya dia tidak tahu, sejak tadi malam jantungku terus berdetak dengan kencang, bahkan pagi ini jantungku sudah harus berkerja ekstra karena tindakannya. Ini tidak baik untuk kesehatan organ pemompa daraku ini.
Karena tidak ingin di cium lagi, aku berbalik memunggungi Eckart tanpa lepas dari pelukannya. Tapi justru posisi ini membawa masalah lainnya.
Tonjolan di bawah sana kini sudah berada tepat di belahan pahaku. Eckart yang sepertinya dengan sengaja menekannya agar aku bisa merasakan betapa kerasnya miliknya itu.
Untung saja semalam tidak terjadi hal-hal yang diinginkan, kalau saja terjadi, sudah dipastikan pagi ini aku tidak dapat bangun dari tempat tidur. Seketika aku bergidik ngeri membayangkan benda keras dan besar itu memasukiku.
Eckart sepertinya punya fetish yang berhubungan tengan leher. Sekarang dia sedang mencium tengkukku berkali-kali. Bibir yang semalam kupagut dengan penuh nafsu itu terus menjelajahi setiap inch dari tengkukku.
Setelah puas dengan mencium berkali-kali, Eckart kemudian menempelkan giginya pada tengkukku.
"Jangan." Aku secara naluriah meringkuk mencoba menjauhkan leherku dari jangkauan Eckart.
"Maaf."
Eckart kemudian ikut meringkuk dan mengecup tempat yang tadi akan di gigitnya. Selain kecupan, Ekcart juga menjilati tengkukku dan sepertinya menandaiku dengan hickey juga.
Adegan lovey-dovey di ranjang ini harus segera di akhiri atau hal-hal yang diinginkan akan terjai. Jadi, aku pun memutuskan untuk melepas pelukan Ekcart dan kemudian mengajaknya bangun.
Kami berjalan keluar kamar beriringan. Eckart berjalan dengan malasnya di belakangku. Sedangkan aku dengan jantung yang masih berdegup kencang berjalan sambil menunduk dengan satu tangan memegang dadaku, berharap jantungku tidak keluar dari tempatnya.
"Daddy, Lenny."
Secepat kilat aku menoleh ke sumber suara. Aku terkejut, seperti seseorang yang sedang ketahuan mencuri.
Nuri kini sedang berdiri di anak tangga terakhir dan dengan tatapan kecewa menatapku dan Eckart bergantian sambil bertanya, "Daddy kenapa tidak ajak Nuri? Nuri juga mau tidur sama Lenny."
Melihat anaknya yang seperti akan segera menangis, Eckart langsung menggendongnya dan mengecup pipi menggemaskan tersebut.
"Maaf ya, nanti lain kali daddy ajak Nuri buat tidur sama Lenny juga."
Eckart menoleh dan kemudian mengedipkan mata, memberi sinyal supaya aku mengiyakan kalimatnya tersebut. Aku pun ikut tersenyum - terpaksa.
"Janji ya?" Ujar Nuri sambil mengulurkan jari kelingkingnya.
Eckart menyambut jari kelingking Nuri sambil tersenyum, "Janji."
Setelah menautkan janji jari kelingking dengan daddynya, kini Nuri menyodorkan jari mungilnya padaku, "Lenny juga, janji."
Eckart menatapku, sambil berbicara di udara tanpa mengeluarkan suara sama sekali, "Ayo cepat janji juga."
Aku dengan sedikit paksaan akhirnya menautkan jari kelingkung dengan jari mungil Nuri, "Janji." Ujarku lemas.
Nuri melepaskan tautan jari tersebut dan kemudian bertepuk tangan dengan gembira.
"Asik! Nanti kita tidur ramai-ramai."
Setelah berurusan dengan janji jari kelingking dengan Nuri, kami bertiga menikmati sarapan, yang sebenarnya sudah terlalu siang untuk disebut sarapan, bersama. Seperti sarapan-sarapan sebelumnya, Nuri selalu membuat suasanya menjadi ceria. Dia selalu punya hal untuk diceritakan atau ditanyakan. Eckart dengan senang hati akan merespon setiap cerita atau pertanyaan Nuri, sedangkan aku sebagai pendukung saja. Memberi komentar seperlunya dengan sedikit senyum.
Setelah sarapan, aku menghabiskan waktuku dengan bersih-bersih, biasanya aku mengerjakan sendiri, tapi hari ini sedikit berbeda. Aku dibantu oleh Eckart dan juga Nuri. Aku kira bersih-bersihku akan cepat selesai, tapi ternyata tidak.
Setiap kali Nuri menemukan sesuatu dia akan bertanya, baik itu bertanya pada Eckart atau pun aku. Seperti halnya tadi ketika dia menemukan album foto ketika dia masih kecil. Dia bertanya siapa bocah menggemaskan dalam foto tersebut dan ujung-ujungnya, malah bercerita tentang masa lalu dan aku orang asing yang terpaksa ikut masuk ke dalam cerita nostalgia tersebut.
Seharian ini aku melakukan hal yang biasa di lakukan sebuah keluarga di hari minggu. Layaknya keluarga kebanyakan, aku membuat cookies bersama Nuri, bermain dengan Nuri, dan movie marathon bersama Nuri juga, semuanya bersama Nuri. Oh, dan tidak lupa dengan Eckart juga. Sudah mirip keluarga harmonis bukan?
Setelah mandi dan mengenakan piyama, aku akhirnya menerima ajakan Eckart untuk mengobrol di ruang keluarga.
Aku menghempaskan tubuhku di atas sofa empuk berwarna coklat tua. Di atas meja sudah ada empat kaleng bir yang sudah kosong.
"Hah!"
Aku tersentak kaget ketika Eckart menempelkan kaleng bir yang dingin di tengkukku.
"Hahaha.. Sorry, sorry." Ujarnya sambil tertawa.
Aku selalu terkesima melihat wajah Eckart yang tertawa. Dia terlihat lebih menawan. Dan sekarang wajah menawan itu sudah memerah, sepertinya dia sudah mabuk.
Eckart kemudian duduk tepat di sampingku dan menyodorkan bir yang tadi ditempelkan padaku.
Aku menerimanya, "Terima kasih."
Psssss... Suara kaleng bir yang baru saja ku buka. Ku sesap dengan pelan. Jadi teringat masa-masa kuliah. Kalau sedang banyak pikiran aku selalu melakukan ini di rumahku. Ah, kangen sekali rasanya.
"Ternyata menghabiskan waktu di rumah menyenangkan juga." Ujar Eckart santai.
Aku menoleh, "Memangnya biasanya kamu kemana?"
Eckart menyandarkan kepalanya dan kemudian menghela nafas. Matanya menatap langit-langit, pandangannya terlihat sangat lelah.
"Sejak Nuri masih bayi, dia di rawat di rumah utama. Aku selalu sibuk dengan pekerjaanku jadi Mamaku merawatnya, setiap weekend aku menyempatkan diri untuk ke sana. Jadi setiap harinya aku selalu sendirian di rumah. Rasanya sepi sekali."
Eckart menghentikan kalimatnya dan kemudian menoleh ke arahku.
"Tapi sekarang ada kamu dan Nuri, rumahku tidak sepi lagi."
Eckart tersenyum sambil menatapku dengan matanya yang sendu. Entah mengapa, hatiku menghangat, pipiku mulai panas juga dan sialnya, aku malah tersipu seperti anak gadis yang baru saja dirayu pacarnya.
Sret!
Eckart menegakkan tubuhnya seacara tiba-tiba, bir yang sejak tadi di genggamnya kini di teguk sampai habis. Kaleng yang sudah kosong itu di letakkan di atas meja.
Kemudian Eckart menoleh ke arahku, pandangannya jatuh pada kaleng bir yang masih dalam genggamanku. Tangannya dengan cepat merampas kaleng yang masih penuh dengan isinya.
Tak!
Kaleng bir yang tadi di rampasnya di letakkan di atas meja dengan kasar. Aku yang sedang dalam kondisi tidak siap tersentak kaget.
"Lennox."
Tubuhnya kini berada sangat dekat denganku. Tangannya mulai menyentuh pipiku lembut. Aku yang menerima perlakukan tiba-tiba hanya bisa memundurkan tubuhku. Aku tidak ingin terjadi hal-hal seperti tadi malam.
"Eckart, kamu mabuk."
Aku mendorong tubuhnya. Tapi dia tidak bergerak sama sekali. Tapi justru semakin dekat.
"Ugh.. Eckart!"
Dia hanya tersenyum. Sepertinya dia benar-benar mabuk. Hah, harusnya jangan minum kalau memang tidak kuat minum. Dasar!