Chereads / Let Go (Omegaverse) / Chapter 15 - Friends, No?

Chapter 15 - Friends, No?

Eckart melepaskan pelukannya. Kedua tangannya kini menangkup wajahku. Pandangan kami bertemu. Mata coklat itu mencoba mencari sesuatu di mataku.

"Kamu mencintainya?"

Aku kembali membenamkan wajahku ke dadanya, "Entahlah." Gumamku

Eckart kemudian mengelus rambutku dan mendaratkan kecupan di pucuk kepalaku. "Tidak apa, jangan dijawab kalau tidak mau."

Aku mendongak dan melihat wajah Eckart. "Selim rekan bisnismu tadi siang itu Papaku dan laki-laki yang menemaninya itu dulunya tunganku."

Eckart mengecup bibirku, "Tidak perlu cerita kalau memang tidak mau."

Aku menggelengkan kepala, "Tidak apa."

Mulutku mulai terbuka, mengeluarkan kalimat demi kalimat bercerita bagaimana papaku yang dingin itu bersikap tidak peduli padaku. Dilanjutkan dengan nasib pertunanganku.

Pertunangan yang awalnya membuat hatiku sedikit terobati. Karena aku pikir ini adalah jalan agar aku bisa di terima oleh papa. Dengan pertunanganku ini aku bisa sedikit berguna di mata papa.

Aku mencurahkan segalanya, waktu, pikiran dan juga perlahan hatiku. Aku yang tidak tahu apa-apa tentang hubungan romantis itu mulai memberikan hatiku pada Ralph. Menjalankan peranku sebagai seorang tunangan yang baik dan manis.

Tapi, ketika hatiku mulai berlabuh pada Ralph, pria itu justru meninggalkanku. Bak ditelan bumi, tidak ada kabar sama sekali. Aku mencarinya kesana-sini. Tapi tidak satu pun memberi informasi mengenai keberadaan Ralph. Bahkan pihak keluarga Ralph tidak memberikan jawaban apapun padaku. Keluargaku juga acuh sekali, terutama papa. Asalkan tidak ada pembatalan pertunangan, semua baik-baik saja.

Enam tahun Ralph menghilang tanpa kabar. Aku yang awalnya optimis dengan hubungan itu pun akhirnya menyerah. Aku sudah tidak peduli lagi dimana Ralph berada. Dan aku pun menganggap pertunangan ini berakhir.

Tapi sekarang, pria itu kembali lagi. Mengusik ketenangan yang sudah ku bangun bertahun-tahun dengan susah payah. Mendamaikan hatiku yang terus saja bergemuruh butuh begitu banyak pengorbanan. Entah apa salahku di kehidupanku yang sebelumnya sehingga mendapatkan hukuman seperti ini.

"Hiks... Aku bodoh sekali. Tidak seharusnya aku menangis seperti ini. Hiks.."

Eckart masih tetap mendekap dan mengelus pucuk kepalaku dan sesekali diciumnya juga.

"Sudah jangan menangis lagi." Ujarnya

Tenggorokanku mulai sakit. Aku mendongak, "Sakit..." Rengekku.

"Apanya yang sakit, huh?" Tanyanya.

"Tenggorokanku. Aku mau minum."

Eckart tersenyum dan kemudian mengecup kedua mataku yang membengkak. "Aku ambilkan dulu ya."

Sebuah ciuman mendarat di keningku. Lalu pelukan erat yang entah sejak kapan itu akhirnya terlepas. Eckart bangkit dari tempat tidur dan meninggalkanku sendiri di kamarnya yang sekarang mulai terasa sepi.

Aku melihat pantulanku di cermin yang berada tepat di depan tempat tidur Eckart. Rambutku kusut, wajahku apa lagi. Pipi dan hidungku merah. Dengan tambahan mata yang bengkak membuat wajahku yang sudah kusut semakin kusut.

Bodohnya aku, kenapa menangisi orang yang belum tentu menangisiku seperti aku menangisinya dan juga, entah apa yang merasukiku. Aku bertingkah manja seperti tadi. Dan lagi, aku bisa selancar itu menceritakan pertunanganku yang bahkan tidak aku ceritakan pada siapapun selain Raymond seorang.

Tak lama Eckart kembali sambil membawa segelas air. Aku yang sudah sangat haus ini menenggak habis satu gelas air itu dengan cepat.

"Terima kasih." Ujarku sambil menyerahkan gelas kosong kepada Eckart.

Setelah menerima gelas kosong tersebut dan meletakkannya di atas nakas, Eckart kembali naik ke tempat tidur, ikut masuk ke bawah selimut yang sedang menutupi tubuhku. Tangan kekarnya kembali menarikku ke dalam pelukannya.

Posisi kali ini berbeda, jika tadi wajahku sejajar dengan dadanya yang bidang, kini wajahku sejajar dengan wajah Eckart. Dan, posisi ini sukses membuatku salah tingkah.

Tangannya mengelus pipiku dengan perlahan. Manik cokelat itu menatapku dengan tatapan lembut. Menenangkan sekaligus berbahaya. Hatiku mulai tidak karuan. Kelakuan Eckart akhir-akhir ini tidak baik untuk kesehatan jantungku. Bagaimana tidak, setiap tindakannya yang spontan itu selalu sukses membuat jantungku berdetak begitu kencang. Seolah sedang menendang-nendang rusukku agar dapat melompat keluar dari sangkarnya.

"Eckart." Panggilku.

"Hmm.."

"We are friends, no?"

Eckart mengernyit, "Maybe." Jawabnya asal.

"Hmmmm..."

"Kenapa memangnya?"

"Kalau kita teman... Ummm.. Kenapa akhir-akhir ini kamu memperlakukanku seperti ini?"

Akhirnya pertanyaan ini keluar dari mulutku. Aku ingin memastikannya, aku tidak ingin berharap pada sesuatu yang tidak jelas.

Eckart menatapku bingung, "Seperti ini gimana?"

"Ya, seperti ini. Memelukku dan juga, umm..." Aku memberi jeda pada kalimatku.

"... Menciumku." Ujarku malu.

Eckart tersenyum dan mencubit pipiku gemas, "Menurutmu?"

"Menurutku? Kamu kenapa balik bertanya sih?" Merasa kesal karena pertanyaanku tadi tidak di jawab, akupun menggembungkan kedua pipiku.

"Hahahaha.." Eckart tertawa.

"Jawab." Ujarku kesal sambil memukul dadanya.

"Aduh, duh.." Eckart menyapu setitik air mata yang tadi keluar ketika dia tertawa.

"...Kamu mau tau jawabnnya?"

Aku mengangguk dengan cepat, "Iya."

Dia mendekatkan wajahnya. Hidung kami saling bersentuhan. Nafasnya teratur, menyapu lembut kulit wajahku. Maniknya menatapku dengan tatapan serius.

"Kamu tau kenapa? Itu karena aku menyukaimu."

Aku menatap manik coklat tersebut, mencoba mencari setitik kebohongan dari kalimatnya tadi. Tapi nihil, seperrinya Eckart sedang tidak berbohong padaku.

Aku menjauhkan wajahku dan menunduk, "A-aku-"

Cup!

Eckart mencium pucuk kepalaku, "Tidak apa, tidak perlu merespon apapun. Aku hanya ingin kamu tahu kalau aku menyukaimu."

Hatiku mulai kacau setelah mendengar pengakuan Eckart. Aku merasa mulai meragukan diriku sendiri. Aku merasa aku bukan orang yang tepat untuk pria hebat seperti Eckart.

"A-aku tidak pantas." Ucapku dengan nada lesu.

Tangan Ekcart meraih daguku, memaksaku untuk kembali menatapnya. Tapi aku justru memejamkan mataku. Aku tidak berani menatap manik coklat yang indah itu.

"Lihat aku Lennox."

Aku menggeleng, "Tidak mau."

"Lennox Selim." Panggilnya lagi.

Mau tidak mau akupun membuka mata, wajahnya kini terlihat sangat serius. "Jangan berwajah serius seperti itu, kamu menakutiku."

"Tapi aku memang sedang tidak main-main. Menyukai seseorang bukanlah sebuah permainan bagiku."

"T-tapi, aku tidak tahu harus bagaimana. Kamu tahu kan, aku pernah gagal dan rasa sakit itu masih terasa. A-aku belum siap."

Pipiku kembali di elusnya, "Tidak, aku tidak ingin terburu-buru. Aku bisa menunggu hingga kamu siap."

Tak ada keraguan sedikit pun terpancar dari matanya. Sepertinya Eckart memang serius.

"Terima kasih."

Eckart menggeleng, "Tidak perlu berterima kasih, karena memang sudah seharusnya seperti itu. Tapi, bolehkah aku minta satu hal?"

"Apa?"

"Jangan tolak semua perhatian yang aku berikan padamu."