Hari ini adalah jadwal belanja mingguanku dan aku juga menyempatkan diri pergi ke kantor penyedia jasa jual-beli dan sewa properti, karena minggu depan adalah minggu terakhir aku tinggal di rumah Eckart. Sesuai perjanjian, aku hanya punya waktu satu bulan sebelum akhirnya keluar dari rumah ini. Tapi saking sibuknya dengan pekerjaan rumah dan juga pekerjaan menerjemahku, aku tidak sempat mencari rumah sewa baru untukku.
Hal ini sudah aku ceritakan pada Eckart dan aku meminta waktu tambahan satu atau dua minggu lagi. Dan jawabannya adalah 'Tinggal saja disini, sampai renovasinya selesai.' Sebenarnya aku ingin, tapi jika terus-terusan seperti ini bukannya justru tidak baik untukku.
Aku akan semakin terikat dengan keluarga kecil Eckart. Dan ditambah dengan kembalinya Ralph, aku takut hal-hal buruk terjadi dan melukai mereka - ayah dan anak itu.
Aku menghela nafas berat. Seperti sedang melepaskan sedikit beban pikiranku yang sebenarnya helaan nafas saja tidak cukup.
"Kamu kenapa?" Tanya sosok yang sudah tidak asing lagi, Raymond, yang sedang duduk berhadapan denganku.
Aku meliriknya, "Pusing." Jawabku.
"Kamu heat lagi?" Tanyanya asal.
Aku mendelik, "Tidak ada hubungannya dengan heat."
Bajuku serasa di tarik pelan, aku menoleh kesebelah kiriku. Mulut mungil Nuri sudah berhenti mengunyah. Aku menyuapinya lagi. Mulut kecil itu kembali penuh dan sedikit belepotan, dengan sigap aku meraih tisu basah dan mengelapnya sampai bersih. Melihatnya makan dengan lahap akupun tersenyum.
"Nuri suka?"
Nuri menggangguk dan tersenyum, "Suka".
"Aku bertemu Ralph beberapa hari yang lalu." Ujarku sambil menyuapi Nuri lagi.
"..."
Raymond tidak merespon. Sepertinya dia kaget. Dan benar saja, ketika aku melirik ke arahnya, matanya membulat dan mulutnya sedikit terbuka. Hahaha, wajah Ray terlihat bodoh.
"Dan papaku juga."
"Kamu pasti bohong." Ujarnya sambil menegakkan posisi duduknya.
Aku mengeleng pelan, "Aku serius."
"Bagaimana bisa? Mereka melacak keberadaanmu?"
"Mereka sudah pasti melacak keberadaanku tapi bukan karena itu aku bertemu keduanya. Aku bertemu mereka waktu mengantarkan dokumen Eckart ke kantor."
Mulutku dengan lancar bercerita tentang hari itu kepada Raymond sambil tetap menyuapi Nuri.
Jujur, aku tidak bisa menyembunyikan apapun dari dia. Raymond tahu semuanya, hubunganku dengan keluargaku dan juga mengenai pertunanganku. Bahkan berkat bantuan Raymond aku bisa mengatasi masalah-masalah yang timbul pasca di tinggal Ralph.
Drrtt... Drrtt.. Drrtt...
Ponselku yang sejak tadi berada di atas meja tempat kami makan, bergetar, aku melirik caller ID yang tertera pada layar benda yang sedang berkedip tersebut, Eckart. Raymond sepertinya melihat nama itu juga, raut wajahnya berubah. Seperti sedang kesal?
Aku meraih ponselku dan menatap Raymond. "Aku jawab telpon dulu, titip Nuri ya."
Sambil menyeruput minumannya, Raymond mengangguk. Akupun beranjak dari tempat dudukku dan berjalan meninggalkan mereka berdua. Setelah aku menemukan spot yang sedikit sepi. Akupun menerima panggilan Eckart.
"Hallo.."
"Sepertinya ramai sekali disana, lagi dimana?"
"Kita lagi di luar, belanja kebutuhan rumah dan juga bahan makanan. Kulkas di rumah hampir kosong."
"Pergi sama siapa?"
Aku mengerutkan dahi, "Tadi pagi aku udah ngomong aku pergi sama Raymond. Kamu lupa?"
Eckart diam sesaat, "Padahal bisa pergi belanja denganku."
"Eckart, please, jangan mulai lagi. Kalau aku harus nunggu kamu pulang, mau makan malam apa nanti?"
"Kita kan bisa makan malam di luar."
"Dan kita pulang sedikit larut? Besok Nuri masih harus sekolah dan-"
Aku tidak melanjutkan kalimatku setelah mendengar suara seseorang di seberang sana memanggil nama Eckart. Sepertinya itu suara salah satu sekertaris Eckart, dia mengingatkan Eckart tentang jadwalnya.
"Sudah kerja dulu sana." Ujarku
Terdengar decakan kesal dari mulut Eckart, "Shit!" Umpatnya.
"Talk later, okay?"
"Okay, please be safe."
"I will."
Panggilanpun berakhir. Aku segera memasukkan ponselku ke saku celana dan bergegas kembali ke meja dimana Raymond, Nuri dan aku duduk bersama. Namun, mataku menangkap sosok yang sangat familiar sekali.
'Tidak, dia tidak boleh melihatku.' Batinku. Aku pun berjalan mengambil rute lain agar tidak berpapasan dengan Ralph.
Sesampainya di meja tempat kami makan, aku tidak langsung duduk, melainkan membereskan barang-barang belanjaanku.
"Ayo kita pulang." Ujarku dengan tangan yang sekarang sibuk mengelap mulut Nuri.
Nuri menatapku bingung, "Kenapa pulang? Kita belum beli ice cream."
Aku tersenyum, "Nanti kita beli ya. Benar kan om Ray?" Aku menoleh ke arah Raymond meminta pertolongan untuk meyakinkan Nuri.
"I-iya." Ray kini sama bingungnya dengan Nuri.
Aku menggendong Nuri, tangan kananku yang bebas meraih dua kantong belanja. Sisanya Raymond yang membawakannya untukku. Kami kemudian berjalan beringan dengan langkah yang terburu-buru.
"Ada apa Len? Kenapa terburu-buru?"
"Ralph, aku melihatnya." Ujarku sambil tetap fokus mengawasi sekitarku. Aku tidak ingin terlibat lagi dengan Ralph.
"Mana?" Tanya Raymond sambil celingak-celinguk.
"Jangan gitu Ray. Nanti dia melihatmu."
"Biar, biar aku yang urus Ralph, seperti dulu."
"Tidak, tidak di tempat umum seperti ini Ray. Aku tidak ingin memancing keributan, ada Nuri juga."
Ya, bocah kecil yang kini terdiam dalam gendonganku. Ya, aku melupakannya, bodoh sekali. Wajahnya sedikit ketakutan, mungkin karena kami berjalan sangat tergesa-gesa.
Aku mencium pipi Nuri, "Anak manis kita nanti beli ice cream ya."
Beruntung restoran keluarga tadi berada di luar gedung utama supermarket tempat kami belanja, jadi tidak perlu waktu lama untuk berjalan menuju parkiran.
Aku menghela nafas setelah mendudukkan pantatku di kursi mobil. Lega sekali rasanya tidak harus bertemu dengan Ralph.
"Ice cream." Ujar Nuri di bangku penumpang.
Aku menoleh ke belakang, "Nanti kita beli ya. Nuri mau rasa apa?" Tanyaku sambil tersenyum.
"Coklat." Ujarnya dengan nada riang.
"Nah, ayo om Ray kita beli ice cream."
Aku menoleh ke arah Raymond yang baru saja duduk di kursi kemudi sambil tersenyum manis. Ray mendekatkan wajahnya dan mendaratkan ciuman kilat di bibirku.
"Siap komandan."