Eckart yang mabuk, aku yang jadi korbannya. Nafasku terengah-engah. Sudah lama sekali aku tidak berlari secepat tadi. Tenagaku habis terkuras, tapi aku masih harus berjalan beberapa langkah lagi menuju meja resepsionis.
Dengan nafas masih tidak beraturan, akhirnya aku sampai di tempat tujuanku, sekarang aku tinggal menyerahkan dokumen dan kemudian pulang, pikirku.
Seorang gadis berkemeja biru muda menyambutku dengan senyuman manis terukir di wajahnya.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?"
"Saya mengantarkan dokumen untuk Bapak Landyn."
"Baik, boleh saya tau nama Bapak?"
"Ya, saya Lennox."
"Mari saya antar."
Alih-alih mengambil dokument dari tanganku, dia malah menawarkan diri untuk mengantarku menemui Eckart secara langsung.
Aku mengikuti wanita yang tadi berbicara denganku. Kenapa tidak dia saja yang mengantarkannya? Kenapa harus aku? Dan kenapa aku di panggil bapak? Apa aku sudah setua itu?
Saking sibuknya dengan pikiranku sendiri, aku sampai tidak sadar sekarang kami sudah berada di lantai yang kami tuju. Wanita yang tadi mengantarku menunjukkan arah kemana yang harus aku ikuti.
Aku menyusuri lorong panjang dengan Kaca yang besar menampakkan pemandangan gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Seperti sedang bernostalgia saja. Entah kapan terakhir kali aku memasuki sebuah perusahaan. Sepertinya sejak aku masih awal masuk tahun seniorku, ingatku.
Setelah menyusuri lorong yang seperti tidak ada ujungnya itu, aku kemudian membuka satu-satunya pintu di lantai ini. Ada empat orang yang menatapku sekarang, mereka pastilah tim sekretaris Eckart. Dan dugaanku benar, seorang laki-laki berdiri menyambutku. Aku melirik name tag yang dikalungkan di lehernya, Moreno Lee.
"Bisa saya bantu?"
Sial! Walaupun agak samar, laki-laki di depanku ini mengeluarkan feromon yang membuat tubuhku sedikit menegang.
"I-ini, dokumen Eckart." Ujarku sedikit gugup.
"Oh, dengan Lennox Selim?" Tanyanya dengan senyum tipis.
"I-iya."
"Silakan tunggu dulu, Pak Landyn sedang ada tamu." Ujar laki-laki bermana Moreno ini sambil menggiringku untuk duduk di sofa ruang tunggu. Setelah duduk, Moreno pergi meninggalkanku sendiri.
Aku menatap punggung lebar yang berjalan menjauh itu sambil berpikir, kenapa Moreno melepaskan feromonnya seperti tadi? Apa dia tau aku adalah seorang omega? Aku melihat ke sekelilingku, memastikan orang-orang disana tidak melihatku. Aku pun kemudian mengendus aroma tubuhku sendiri. Apa aku mengeluarkan feromonku secara tidak sadar?
Sudah lebih dari tiga puluh menit aku duduk di sini. Bosan, satu kata yang menggambarkan perasaanku. Tamu yang sedang berada dalam ruangan Eckart sepertinya tidak ada niatan untuk keluar dan pergi. Kenapa salah satu dari keempat sekertaris Eckart tidak ada niatan untuk mengambil dokumen di tanganku ini? Bukannya Eckart bilang tadi itu adalah dokumen penting?
Lihat saja, nanti jika Eckart menampakkan batang hidungnya aku akan mengomelinya karena membuatku menunggu lama. Batinku kesal.
Kopi yang tadinya penuh kini sudah hampir habis, dan sekarang barulah aku mendengar langkah kaki dan suara beberapa orang berbicara. Refleks aku berdiri dan membalikkan badanku. Mataku terbelalak setelah menangkap dua sosok yang sudah sangat aku kenal, kini sedang berjalan beriringan dengan Eckart.
Mereka berjalan mendekat. Aku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat hanya berdiri mematung. Otakku berhenti berpikir.
"Lenny."
"Lennox."
Dua suara memanggilku bersamaan. Sedangkan laki-laki paruh baya yang juga sedang bersama Eckart hanya diam. Matanya menatapku dingin.
"Kamu kenapa di sini?" Tanya laki-laki yang sangat tidak ingin aku temui, Ralph.
Aku menggeleng, "Hanya mengantar dokumen."
Aku mengulurkan dokumen yang sejak tadi berada di tangannku pada Eckart. Eckart menerima dokumen tersebut, sebelum sempat berucap, aku sudah berpamitan pada ketiga laki-laki di depanku ini.
"Saya pamit dulu."
Ralph menahanku dan menatapku dengan penuh tanya, "Mengantar dokumen?"
"I-iya dan tolong lepaskan, aku harus pulang." Ujarku sambil melepaskan genggaman tangan Ralph.
"Saya pamit dulu." Aku membungkuk dan kemudian pergi.
Aku mempercepat langkahku. Mataku memanas mengingat wajah laki-laki paruh baya tadi yang hanya menatapku dengan tatapan dingin. Tidakkah dia merindukanku?
Ketika pintu lift akan tertutup, sebuah kaki menahannya, pintu pun kembali terbuka. Dan itu adalah ulah Ralph.
Kotak baja berbentuk balok panjang ini terasa sempit dan sesak dengan keberadaan Ralph di sampingku. Tidak ada satupun dari kami yang berbicara. Ralph berdiri tegap dengan wajah tampannya, tidak ada sedikitpun keraguan terpancar dari sorot matanya. Perjalanan menuju lobby terasa lama sekali.
"Dia ayah dari anakmu?" Tanya Ralph membuka suara. Meberikan tekanan pada kata ayah dalam kalimatnya.
Aku menoleh setelah mendengar ucapannya. "Bukan urusanmu."
"Apa hubunganmu dengannya? Tidak mungkin orang yang bukan siapa-siapa mengantarkan dokumen penting secara langsung kepada si penerima."
"Aku bilang bukan urusanmu." Jawabku ketus.
Ralph meraih pergelangan tanganku dan meremasnya erat. "Jelas urusanku, kamu masih berstatus tunanganku, Lennox Selim." Ujarnya tegas.
Aku menatapnya dengan tatapan tidak percaya, hatiku memanas.
"Tunangan? Tunangan mana yang ninggalin pasangannya bertahun-tahun tanpa kabar?"
"Aku tidak meninggalkanmu dan aku punya alasanku sendiri." Jawabnya tegas tanpa ada keraguan sedikitpun.
Aku tersenyum, "Hah... Pasti karena memang sejak awal pertunangan ini bukan mauku atau maumu dan kamu pergi gitu aja kan?" Tanyaku sinis.
"Dan aku sekarang kembali menebus semua waktu yang aku lewatkan."
"Untuk apa? Enam tahun kamu hilang entah kemana dan sekarang kamu bilang mau nebus semuanya?"Aku mendengus kesal. "Semuanya sudah terlambat, aku sudah menemukan bahagiaku sendiri dan itu bukan dari kamu." Aku menunjuk dadanya menggunakan telunjukku dan memberikan sedikit tekanan disana.
"Tinggalkan ayah dari anakmu itu, kamu masih berstatus tunanganku."
Raut wajahnya menggelap. Genggamannya semakin erat. Aku mulai merasakan sakit di daerah pergelangan tanganku.
"Lepaskan!"
Pintu lift terbuka dan seketika itu juga suaraku bergema.
Berpasang-pasang mata kini tertuju padaku dan juga Ralph. Aku yang merasa risih, menghentakkan tanganku dengan keras hingga genggaman tangannya terlepas dan kemudian berlari sekuat tenaga.
"Lennox." Ralp berhasil mengejarku dan menangkap pergelangan tanganku lagi.
"... Ikut aku pulang, kita bicara."
Aku menatapnya tidak percaya, "Kita sudah selesai Ralph, tolong lepaskan tanganku, kamu menyakitiku."
"Tapi Len-"
Sekarang kami sudah menjadi bahan tontonan. Aku tidak suka keadaan seperti ini. "Tolong, lepaskan."
Ralph akhirnya melonggarkan genggamannya. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini pun melepaskan genggaman itu sendiri. Aku berbalik dan berlari meninggalkan Ralph. Dia memanggil namaku sambil sedikit berteriak. Tapi aku tidak peduli. Aku berlari sambil menahan tangis yang akan pecah kapan saja. Kakiku terus membawaku menuju basement parkiran tempat aku memarkirkan mobilku.
Aku masuk kedalam mobil tanpa menyalakan mesin sama sekali. Aku merebahkan kepalaku ke sandaran kursi kemudi. Tangis yang sejak tadi ku tahan akhirnya pecah. Otakku kembali mengulang kejadian tadi dan kemudian mengingat kembali apa yang sudah terjadi. Kenapa disaat aku sudah mulai menata hatiku aku harus bertemu dengannya?