Chereads / Let Go (Omegaverse) / Chapter 14 - Fiance

Chapter 14 - Fiance

Aku menangis sejadi-jadinya hingga tenggorokanku sakit. Aku hanya berdiam di dalam mobil yang terparkir di basement gedung perkantoran yang baru saja ku masuki.

Kenapa harus bertemu dengan Ralph dan juga Papa. Aku tidak masalah dengan Ralph, tapi tidak dengan Papa. Aku membencinya, tidak, aku tidak benci, hanya marah. Setelah hampir tujuh tahun aku tidak bertemu, apakah tidak ada sedikit, ya sedikit saja rasa rindu padaku? Tatapan dingin itu, apakah Papa memang sudah membuangku?

Aku memang seorang omega, tapi bukan berarti aku tidak bisa memenuhi segala tuntutan yang dia pinta. Aku yakin, aku juga mampu untuk melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh para Selim lainnya. Aku memiliki potensi, aku cerdas dan juga cekatan. Tapi kenapa dia memperlakukan aku dengan cara yang berbeda, awalnya menuntut kemudian berubah menjadi tidak peduli.

Hatiku yang sudah sedikit terobati kini kembali terluka. Luka yang tadinya mulai menutup kembali menganga. Bahkan melebar lebih besar dari sebelumnya. Air mataku yang sudah tumpah ruah tidak bisa menggambarkan betapa sakitnya hatiku saat ini.

Aku menekan dada kiriku. Menekannya dengan sangat keras. Berharap tekanan itu dapat membunuh rasa sakit yang kini ku rasakan. Tapi itu sia-sia, dadaku justru semakin sakit. Aku berteriak sekeras-kerasnya. Aku tidak peduli lagi dengan keadaan sekitarku. Aku hanya ingin menangis, meluapkan segala perasaan yang selama ini aku pendam.

Aku muak dengan diriku sendiri. Aku benci keadaanku. Aku membenci diriku yang terlahir sebagai Selim yang tidak berguna.

##

Aku tersentak kaget setelah mendengar ketukan dari luar kaca jendelaku. Mata perihku dipaksa untuk terbuka lebar. Aku pun menurunkan sepertiga kaca mobilku.

"Buka pintunya!" Perintah laki-laki yang tadi mengetuk kaca mobil yang ku kendarai dengan keras.

Aku yang seperti tersihir oleh kalimat tersebut membuka pintu tanpa paksaan. Otakku yang masih belum berfungsi dengan normal masih mencerna keadaanku sekarang.

Brugh!

Tubuhku di peluk erat, "Aku khawatir. Jangan buat aku gila seperti ini."

Pelukan erat yang kuterima memaksa otakku untuk kembali bekerja. Mataku menangkap punggung milik sosok yang kini sedang membungkuk sambil memelukku. Pandanganku menangkap jajaran mobil tersusun rapi, aku masih di parkiran basement gedung kantor Eckart.

Aku mendorong tubuh yang masih memelukku. "Lepaskan, aku baik-baik saja."

Pelukan tersebut terlepas, sosok yang tadi membungkuk kini sedang berjongkok. Kepalanya sedikit mendongak dengan mata yang menatapku lekat. Tatapannya terlihat sangat khawatir sekali. Sosok di depanku ini adalah Eckart. Entah bagaimana dia bisa menemukanku di sini.

Tangan hangatnya menyentuh wajahku, mengusap lembut mataku yang bengkak, "Kamu menangis?"

Mulutku terkunci, tidak ingin menjawab pertanyaannya. Aku menggelengkan kepalaku pelan. Mataku menghangat seolah sudah siap memuntahkan cairan bening dari pelupuk mataku, lagi.

Eckart kembali memelukku erat. Dadaku kembali sesak. Aku ingin menangis lagi, seperti tadi, meluapkan emosi yang aku kira sudah ikut terluapkan bersama dengan air mataku.

"Aku antar pulang."

Eckart melepaskan pelukannya dan membantuku berdiri keluar dari mobil. Sambil tetap memeluk pinggangku, kami mengelilingi bagian depan mobil. Layaknya seorang gentleman, dia membukakan pintu untukku dan kemudian mendudukkanku di kursi di samping kursi kemudi, memasangkan seat belt juga. Tak lupa juga mendaratkan sebuah kecupan di dahiku.

Pintu kemudian tertutup. Eckart berlari kecil mengelilingi mobil dan kemudian sudah terduduk di belakang kemudi. Tidak satu kata pun terucap dari bibirku.

Eckart kemudian menjalankan mobilnya. Kami mulai meninggalkan gedung perkantoran yang berdiri dengan gagah diantara gedung-gedung lain yang tak kalah gagahnya.

5:45 PM

Aku melirik jam pada dashboard mobil milik Eckart. Berarti setelah menangis sejadi-jadinya aku tertidur selama hampir empat jam dan selama itu juga aku meninggalkan Nuri sendirian di rumah.

"Maaf." Akhirnya hanya kata maaf yang lolos dari bibirku.

Eckart kemudian menggenggam tanganku, "Untuk apa? Kamu tidak melakukan kesalahan apapun."

"A-Aku meninggalkan Nuri sendirian di rumah." Aku tertunduk lesu.

genggaman pada tangaku terlepas, tangan hangat tadi kini berpindah mengusap lembut pucuk kepalaku. "Tidak apa-apa, Nuri anak yang cerdas. Aku yakin dia baik-baik saja." Ujarnya lembut. Aku hanya bisa menganggukkan kepala.

Tanganku kembali di genggamnya dengan erat. Eckart mengendarai mobilnya santai dengan satu tangan berada di kemudi dan satunya lagi menggenggam tanganku.

Sesekali genggaman itu terlepas, namun akan kembali lagi pada posisi semula. Dan aku tidak mempermasalahkan itu sama sekali. Aku sudah terlalu lelah menangis, biar saja genggaman tangan ini mengisi sedikit energiku yang tadi terbuang.

Sesampainya di rumah, Eckart langsung menyuruhku mandi dan kemudian beristirahat. Aku sama sekali tidak di perbolehkan mengerjakan pekerjaan yang tadi aku tinggalkan. Urusan Nuri, Eckart yang atur. Bahkan untuk sekedar memasak untuk makan malam pun tidak boleh. Eckart rela memesan makanan secara online untuk makan malam.

"Eckart." Panggilku lirih.

"Ada apa?" Eckart semakin mendekapku erat.

Ya, sekarang aku berada di kasur Eckart. Setelah makan malam dan kemudian menidurkan Nuri. Eckart membopong tubuhku ke kamarnya. Aku bukannya tidak ingin melawan, hanya saja aku tidak ingin memperburuk suasana hatiku dengan berdebat dengan Eckart.

"Sesak." Jawabku pelan.

Eckart melonggarkan pelukannya, "Masih sesak?" Tanyanya.

Aku menggeleng pelan, "Tidak."

"Bagaimana perasaanmu sekarang?"

Aku mendongak, menatap wajah lelaki yang kini sedang memelukku. "Mendingan."

Eckart tersenyum dan mendekatkan wajahnya. Sebuah ciuman mendarat di keningku, kemudian turun ke kedua mataku.

"Jangan sedih, kamu membuat hatiku juga sedih."

Entah dari mana dia belajar berkata manis seperti itu. Aku pun menepuk dadanya pelan.

"Gombal."

Dia mengernyitkan dahinya, "Serius. Aku sedang tidak menggombal."

Suasana kembali sunyi. Aku yang berada tepat di dada bidangnya dapat mendengar detak jantung Eckart yang berdegup kencang. Ternyata degup itu sama seperti punyaku. Jantungku yang tak tahu malu ini juga sedang berdegup kencang seperti akan melompat keluar dari dadaku.

"Jadi, siapa laki-laki itu?" Tanyanya dengan nada sedikit ragu.

Mulutku bungkam. Sudah ku duga, pasti pertanyaan ini akan keluar dari mulutnya. Pastilah Eckart tahu hal yang tadi terjadi di kantornya. Pasti ada segelintir orang bergosip mengenai kejadian tidak mengenakkan siang tadi.

"...Tidak perlu di jawab jika memang tidak mau." Ujarnya lagi.

Aku membenamkan wajahku ke dada bidang milik Eckart. Mataku memanas kembali. Aku seperti sudah siap untuk menangis kembali.

"Tungananku..." Gumamku.