Tiga hari setelah kejadian maaf-maafan antara aku dan Eckart, semuanya masih terasa canggung. Eckart juga sepertinya menghindariku. Seperti sekarang ini, dia sedang terburu-buru berangkat kerja tanpa menyentuh sarapan yang sudah aku sediakan.
Aku menghela nafas panjang. Sepertinya aku yang akan mengantar Nuri lagi hari ini.
Setelah selesai dengan sarapan dan juga mengecek kembali kelengkapan Nuri, tanganku meraih kunci mobil pada tempat biasanya dan kemudian berjalan keluar dari rumah.
Tepat ketika aku mau masuk ke dalam mobil, sebuah mobil sport berwarna putih berhenti di depan pelataran rumah Eckart dengan posisi menghalangi mobil yang akan kugunakan. Mobil ini sudah tidak asing lagi untukku.
Pengendara mobil itu akhirnya menampakkan batang hidungnya, melambaikan tangan sambil memasang wajah tanpa dosa.
"Ralph.." Ujarku pelan.
Sial, kenapa sosok yang paling tidak ingin aku temui ini harus berada di sini sekarang. Siapa yang membocorkan alamat tempat tinggalku saat ini?
Dia berlari ke arahku dan kemudian memelukku erat.
"Damn, aku kangen banget."
Aku melepaskan pelukan Ralph. "Jangan peluk-peluk."
"Lho, kenapa? Biasanya juga aku peluk kamu gak apa-apa."
What?! Sejak kapan aku terbiasa di peluk Ralph.
Wajahnya bingung, menatapku yang masih saja terdiam. Kemudian dia mengintip ke dalam mobil. Matanya membulat ketika dia menemukan Nuri di dalam sana.
Ralph menoleh kembali menatapku dengan tatapan tidak percaya. "Anakmu?"
"Ya." Jawabku tegas. "Jadi jangan dekat atau menemuiku lagi."
Ralph masih tidak percaya dengan jawabanku tadi. Dia terdiam. Aku pun mengambil kesempatan di tengah keterkejutannya mendorong tubuh itu menjauh.
"Pergilah." Aku mengusirnya.
"Lennox, aku butuh penjelasan." Dia mencoba mendekatiku lagi.
Aku menahannya dengan kedua tanganku sambil berjalan mendorongnya mundur, menjauhi mobil yang akan aku kendarai.
"Pergi Ralph, aku tidak perlu menjelaskan apapun. Kamu sudah lihat kan, aku sudah punya anak sekarang."
Ralph menggenggam kedua pergelangan tanganku, "Lennox, kenapa? Kenapa kamu gak pernah kasih kabar apapun?"
"Karena kita memang sudah berakhir." Ujarku.
"Lennox.." Nadanya memelas.
"Pergilah, aku akan telat mengantar anakku." Aku melepaskan genggaman Ralph.
Dengan tatapan lesu Ralph berjalan menjauhiku. Sesekali dia melihat ke belakang sambil terus berjalan memasuki mobilnya.
Aku berdiri mematung hingga mobil itu hilang dari pandanganku.
Setelah memastikan mobil itu tidak berbalik lagi, aku kembali ke mobil dengan perasaan yang tidak dapat aku gambarkan.
"Haaaa..." Aku menghela nafas panjang.
Nuri menatapku bingung, "Lenny kenapa?"
Aku menoleh, "Tidak apa-apa."
"Oom tadi jahat ya?"
"Ya, jahat sekali. Karena ada monster di dalam tubuhnya." Ujarku sambil mengangkat kedua tanganku ke atas sambil menirukan gaya monster.
"Lenny no, Lenny tidak mirip monster." Nuri menggeleng gemas.
Aku menurunkan tanganku dan tersenyum. "Ayo kita berangkat, nanti kita telat."
Aku menyalakan mesin mobil dan kemudian melaju mengantarkan Nuri ke sekolahnya.
Setelah mengantar Nuri, aku langsung kembali ke rumah. Mengerjakan apa yang harus ku kerjakan. Baik itu pekerjaan rumah maupun mengecek kembali jurnal yang siang nanti akan ku serahkan ke klienku.
Aku tetap menjadi freelance translator. Walaupun proyek yang aku terima tidak sebanyak biasanya. Mengingat aku masih harus di sibukkan dengan pekerjaan rumah tangga dan juga mengurus Nuri.
Mengatur waktu agar masih dapat beristirahat dengan cukup adalah kendala terbesarku saat ini. Sejak dulu aku selalu bekerja di malam hari dan akan tertidur di pagi hari. Namun, dengan pekerjaanku sekarang, aku harus bangun pagi-pagi sekali jadi aku tidak bisa mengerjakan proyek hingga subuh.
Terpaksa aku mengerjakan ketika Nuri sudah tidur. Hitung-hitung sambil menunggu Eckart pulang. Terkadang, aku terpaksa mengerjakan hingga larut dan istirahat malamku yang kurang akan ku bayar siang hari ketika Nuri sedang tidur siang.
Agak berat memang, tapi mau bagaimana lagi. Ada hal yang dapat dan tidak dapat di tinggalkan.
Waktupun berjalan begitu cepat. Semua pekerjaan rumah bahkan hingga menemui klien semuanya berjalan dengan lancar. Seperti hari yang sempurna, tidak sempurna juga sih, masih ada kejadian tadi pagi yang agak sedikit mengganggu.
Sudah waktunya makan malam. Nuri duduk di kursinya dan aku sedang menata lauk pauk di atas meja makan. Tiba-tiba saja pintu di buka dan menampakkan sosok yang sejak tiga hari yang lalu menghindariku.
Eckart melemparkan tas kerjanyaya di atas sofa, kemudian melepaskan dasi dan jasnya yang juga di lemparkan ke tempat yang sama dengan tasnya. Tanpa basa-basi dia ikut bergabung di meja makan. Suasanya menjadi canggung.
Aku masih tidak berani menatap mata Eckart sejak kejadian maaf-maafan pagi itu.
Dalam diam tanganku sibuk menyediakan makan malam untuk Eckart juga. Ini adalah kali pertama dia makan malam bersama, karena biasanya dia akan pulang ketika Nuri sudah tidur.
"Daddy." Nuri membuka suara.
Eckart mencubit pipi Nuri, gemas. "Kenapa sayang?"
"Hari ini Nuri menggambar."
"Oh ya? Mana coba daddy lihat?"
"Sebentar."
Bocah itu turun dari kursinya dan berlari menuju kamarnya. Meninggalkan aku dan Eckart dalam suasana canggung.
"Lennox." Eckart akhirnya membuka suara memecah kesunyian.
Aku menoleh tanpa menjawab. Kami bertukar pandang tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Langkah kecil terdengar mendekat, tak lama sosok Nuri muncul sambil membawa selembar kertas dengan gambar di atasnya.
Nuri mengulurkan kertas yang berisikan gambar tersebut kepada Eckart dengan perasaan bangga. Eckart menerima selembar kertas tersebut dan mengamati gambar Nuri. Eckart bertanya mengenai gambar yang ternyata adalah gambar super hero favorit anaknya tersebut.
Setelah puas dengan obrolan gambar tadi, kami akhirnya bisa memulai makan malam bersama.
Tidak ada satupun yang bersuara, hanya terdengar suara dentingan piring, sendok dan garpu. Bahkan Nuri makan serius sekali tanpa mengurangi kadar kegemasannya,
"Daddy." Tiba-tiba Nuri bersuara.
"Hmmm..." Eckart berhenti makan dan menatap bocah lucu tersebut.
"Tadi pagi ada oom jahat peluk Lenny."
Ting..
Sendok Eckart yang terlpas dari tangannya beradu dengan piring di bawahnya. Eckart terlihat sama kagetnya dengan diriku ketika mendengar ucapan Nuri.
Tangannya meraih kembali sendok yang jatuh sambil berpura-pura ingin melanjutkan makannya.
"Oom jahat?" Tanya Eckart sambil melirik kepadaku.
Aku yang baru akan menjawab terpotong oleh ucapan Nuri.
"Iya oom jahat, Lenny bilang ada monster di dalam badan oomnya. Seperti ini." Nuri melepaskan sendoknya dan kemudian memeragakan seperti yang aku peragakan tadi pagi.
Nuri terlihat lucu sekali. Tapi aku hanya bisa tertunduk lesu. Kenapa Nuri harus membahas ini sekarang? Kenapa dia ingat kejadian tadi pagi? Harusnya aku menyogok Nuri dengan es krim agar tidak membocorkan hal itu kepada Eckart.