Aku melihat sosok ini menggumamkan sesuatu sambil mengambil langkah mundur seperti akan menjauhiku.
"Ck.."
Aku berdecak kesal. Dengan kasar aku menyeret tubuh kecilnya masuk dan mendorongnya hingga terjatuh di atas tempat tidurnya.
Tubuh mungil itu hanya mengenakan kemeja putih kebesaran dan ditutupi oleh sweater abu-abu. Dari sela kemeja yang longgar tersebut aku dapat meilhat bercak-bercak merah di leher mulus Lennox. Aku bahkan bisa melihat bekas-bekas gigitan di bagian dalam pahanya yang kini terbuka bebas.
Aku mencerna apa yang sedang aku lihat sekarang ini. Lennox sepertinya habis melakukan seks. Tapi dengan siapa? Dia sedang heat?
Kemudian aku teringat kejadian saat di parkiran rumah utama tadi. Aku sudah tahu jawabannya, tidak salah lagi, pasti Raymond orangnya.
"ECKART!"
Teriakan Lennox menyadarkanku.
Aku menatapnya, dia sedang mutupi hidung dan mulutnya. Nafasnya tidak teratur.
"Aku tidak tahu kenapa kamu semarah ini tapi tolong jangan melepaskan feromon sebanyak ini. Kamu mau membunuhku?" Ujarnya dengan nada marah.
Seketika itu juga aku tersadar, sepertinya aku sudah lepas kendali. Aku mengambil jarak, mundur beberapa langkah. Perlahan aku mencoba mengendalikan emosiku dan juga feromonku.
"Aku tidak marah sama sekali." Ujarku.
Ya, aku tidak marah. Tapi hanya sedikit kesal. Tapi kenapa? Kenapa aku merasa kesal seperti ini?
Ah, benar, aku kesal karena feromon alpha itu membuat aroma manis yang selalu ada di sekitarku menghilang, tertutup oleh aroma penuh nafsu yang memuakkan.
"Aku, aku hanya tidak suka mencium feromon Alpha lain di rumahku."
Setelah mengatakan yang sebenarnya, aku berbalik meninggalkan Lennox sendirian di kamarnya.
Masih dengan perasaan kesal aku kembali ke kamarku. Melucuti setiap helai pakaian yang menempel di tubuhku. Aku masuk ke kamar mandi dan mulai mengguyur tubuhku. Menghilangkan rasa panas di hatiku.
Sial, aku jadi mandi dua kali malam ini.
Setelah mandi dan mengenakan pakaianku kembali. Entah kenapa naluriku berkata aku harus mengecek keadaan Lennox. Dan benar saja, ketika aku membuka pintu kamarku, aku mendengar suara pintu rumahku tertutup dan selang beberapa menit aku mendengar deru mesin mobil yang kemudian menjauh.
'Lennox pergi' batinku.
Tapi dengan siapa? Dan kemana? Ini sudah larut sekali.
Pikiran itu aku tepis, dia sudah besar, bisa menjaga dirinya sendiri. Tapi aku tetap saja khawatir.
Sudah dua jam dia pergi tapi tidak juga kembali. Aku yang sejak tadi mondar-mandir. Duduk, berdiri, dan duduk lagi. Mulai merasa tidak tenang. Ponsel yang selalu berada di genggamanku, ku remas sedikit keras.
'Apa aku telpon saja?'
Akhirnya perang batinku berakhir. Aku pun mencari nama Lennox di daftar kontakku dan menghubunginya.
Tuuutt... Tuuuttt...
Setelah cukup lama mendengarkan nada sambung tersebut akhirnya terdengar suara di seberang sana.
"..."
"Damn! Lama sekali di jawabnya. Ini sudah larut dan kamu masih keluyuran di luar sana. Kamu pergi sama siapa?" Tanyaku dengan nada sedikit tinggi.
"..."
"Cepat pulang, posisimu dimana sekarang?"
"..."
Aku mencoba mengingat posisi dari gambaran penjelasan Lennox, "Yang di perempatan bukan?" Tanyaku.
"..."
"Tunggu disana, aku jemput sekarang juga."
Secepat kilat aku meraih kunci mobilku dan bergegas pergi meninggalkan rumah. Menjemput baby sitter anakku yang keluyuran tengah malam dengan kondisi masih dalam masa 'heat' nya.
Aku mengendarai mobilku seperti orang kesurupan. Aku marah, tapi aku tidak tahu kenapa amarahku tak terkendali seperti ini.
Sejak Lennox tinggal bersamaku dan Nuri, aku tidak bisa menggendalikan gejolak perasaan di hatiku. Tapi tidak tahu harus menanggapi hatiku ini seperti apa. Hal seperti ini adalah pengalaman pertama untukku.
Tidak butuh waktu lama, akhirnya aku sampai di tempat tujuanku.
Dengan tergesa-gesa aku keluar dari mobil dan berlari memasuki restoran fast food tersebut.
Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku dan aku bisa langsung menangkap sosok yang aku cari. Pandangan kami bertemu selama sepersekian detik.
Dengan langkah yang cepat aku menghampiri Lennox yang sedang duduk di temani sosok yang sudah tidak asing lagi, Raymond.
Lennox berdiri sambil membicarakan sesuatu. Sosok yang menjadi lawan bicaranya tersebut ikut berdiri juga dan mendaratkan ciuman kilat di bibir Lennox. Raymond kemudian tersenyum sambil melirik ke arahku.
'Deg'
Aku merasakan gemuruh bergejolak di hatiku. Ada perasaan tidak senang, marah, kesal, ketika melihat kejadian yang hanya beberapa detik itu terjadi tepat di depanku.
Aku menarik paksa pergelangan Lennox, secepat mungkin membawanya mejauh meninggalkan sosok yang tadi duduk bersamanya.
"Eckart, sakit." Lennox meringis.
Tapi entah setan apa yang merasukiku, aku tidak peduli. Aku tetap menggenggam erat pergelangan tangannya sambil terus berjalan membawanya menuju mobil.
Aku bahkan menutup pintu mobil dengan keras hingga membuat Lennox tersentak. Aku tidak peduli.
###
Aku menggenggam tangan Lennox erat sambil membawanya masuk ke rumah. Dia meringis kesakita, namun aku masih seperti orang yang sedang kesetanan tidak peduli sama sekali.
Dengan kasar, kuhempaskan tubuh mungil itu di sofa. Dia menundukkan kepalanya.
Aku berdiri di depannya. Mataku teruju pada hickies yang tubuhnya. Bahkan aku bisa melihat bercak merah itu pada dadanya.
'Aku harus memastikan sesuatu' Pikirku.
Aku memajukan tubuhku, tanganku perlahan bergerak ke arah tengkuknya dan kemudian meraba bagian itu. Tidak ada, tidak ada bekas gigitan sama sekali. Berarti dia belum mempunyai pair. Entah kenapa, aku merasa lega.
Sepertinya sentuhanku tadi menimbulkan reaksi lain pada tubuh Lennox. Sekarang telinga dan tengkuknya memerah. Ah, pemandangan ini lagi.
Tanpa sadar, aku mengendus tengkuk yang terlihat menggoda itu. Namun, aku mencium feromon asing yang bercampur dengan aroma manis dari tubuh Lennox.
"Ck..!" Aku berdecak kesal sambil menjauh dari tubuh Lennox.
Aku menghela nafas berat. Perasaan lega tadi menguap begitu saja tergantikan perasaan kesal lagi.
"I told you, i hate that damn pheromones on your body!" Ujarku dengan nada sedikit tinggi.
Lennox mendongak melihatku, "Why? I'm not even yours."
"But you live at my damn home!" Bentakku.
Aku sekarang merasa marah tanpa sebab. Benar perkataan Lennox tadi, dia bukan milikku, aku tidak berhak mengaturnya. Dia hanyalah baby sitter yang sedang tinggal di rumahku. Kehidupan pribadinya adalah milik Lennox. Bukan hakku ikut campur.
"Daddy." Suara Nuri menyadarkanku.
Lennox berlari meninggalkanku dan Nuri sambil terisak. Dia menangis dan itu salahku. Isakan tersebut menyakiti hatiku.
Kenapa? Kenapa aku bertingkah seperti ini? Kenapa aku menyakitinya? Aku bukan seperti diriku sendiri.
'Aaarrrgghhh....!!' Aku berteriak frustasi di dalam hatiku.