Bab 15
Jalan Sesa(a)t Kita 3
'Apakah caraku menyikapi keadaan adalah kebenaran atau kesalahan yang fatal?'
Bimo menyelesaikan sarapannya dengan tenang. Tanpa berkata apa pun dia meninggalkan meja makan dan kembali ke kamar. Jadilah semua pasang mata menatap kepergiannya yang tanpa suara.
Entah apa yang ada dipikirkannya saat ini yang jelas semua menjadi di luar kendalinya. Setiap orang berhak untuk menjalani kehidupan sesuai dengan kehendak hatinya, lalu bagaimana dengan dirinya.
Bimo menuju kamar dan merebahkan tubuhnya di sofa. Entah kenapa belakangan dia sangat berusaha menghindari Kaira.
Mungkin dia hanya mencoba menghargai Rosemary. Tapi mungkin juga lebih dari itu.
Bimo menegakkan badannya kembali menghadapi macbooknya. Dimainkannya mouse yang berada di meja dan kursor tampak berkedip-kedip mengejek dirinya.
Sudah terlalu lama dia mengabaikan tugasnya. Gelar sarjana yang harusnya sudah disandangnya setahun lalu harus terhenti karena keengganannya.
Yah. Ulahnyalah semua ini terjadi. Menyesal? Tentu. Tapi bukan karena Bimo tidak menyelesaikan kuliahnya tepat waktu tapi menyesal untuk hal lain. Awal dari luka dan akhir sebuah tawa.
Bimo membuang semua kelebatan masa lalunya yang kelam. Ditepisnya semua keengganan dan dia mulai berkonsentrasi dengan tugasnya. Mumpung masih pagi dan otaknya masih beres.
Beberapa jam dia menekuni macbooknya dan otaknya mulai panas dan pandangannya juga mulai kabur.
Dipijat pelipisnya dan kemudian mematikan macbooknya. Dia kemudian memutuskan untuk keluar menemui saudara-saudaranya. Melihat apa yang tengah mereka lakukan.
Pemandangan yang membuatnya risi dan kesal. Gadis itu benar-benar tak mendengar kata-katanya.
Dia yang bodoh atau pendengarannya yang terganggu.
Emosinya mendidih seketika. Jika dia tak mengingat ancaman papanya mungkin sekarang dia sudah akan menyeret gadis itu dan membenturkan kepalanya ke tembok agar sel otaknya bekerja dan dia mematuhi perintahnya.
"Shit!" rutuknya mengepalkan tangannya.
Bisa-bisanya dia memandang iparnya dengan tatapan seperti itu.
Dan demi apa pun juga mereka saling mencuri pandang.
Ini benar-benar tak bisa dibiarkan.
"Juna, Abi!' teriak Bimo mengalihkan perhatian mereka, Bimo berjalan dan mendekati mereka.
"Sedang apa kalian di sini?" tanyanya sambil mencoba mengontrol emosi.
"Biasa. Ada yang lagi pamer sama gadis-gadis!" sembur Abi segera mengerakkan kepalanya ke arah Juna.
"Jih." Komentar Bimo sambil memasukkan kepalan tangannya ke saku celana.
"Jangan mencemooh!" tegur Juna. Bimo tetap cuek tak merespons teguran adiknya itu.
Kaira dan Renata hanya memandang heran pada ketiga laki-laki di hadapan mereka.
"Tanding PS yuk Bi, Jun. Gue ingin habisi kalian." Seringai Bimo meremehkan Abi dan Juna.
Sementara Abi dan Juna mencebik dan saling bertatapan.
"Siapa? Gue dihabisi. Berdua maju pun gue tak terkalahkan!" Abi membusungkan dadanya sementara Juna menjitak kepalanya.
"Buktikan!" tantang Bimo sambil menyeret Abi masuk ke dalam rumah. Juna mengikuti di belakang mereka.
Jadilah Kaira dan Renata tidak dihiraukan oleh ketiga klan Wijaya.
"Dasar laki-laki!" gerutu Renata.
"Ke salon aja yuk Ren?" ajak Kaira.
"Ayuk, loe yang bayari ya. Kantong gue sudah tipis ni?" kata Renata sambil mengedip-ngedipkan matanya.
"Iyalah!" pasrah Kaira dan beranjak dari tempat duduknya lalu Renata ikut bangkit.
Kaira dan Renata melewati ruang keluarga yang ramai karena Abi, Bimo dan Juna tengah asyik dengan permainan game mereka.
"Ke mana!" teriak Abi yang kebetulan perhatiannya teralihkan.
"Urusan cewek!" sahut Kaira.
"Penasaran banget sih!" gerutu Renata menimpali.
"Abi!" teriak Juna memalingkan wajah Abi ke layar plasma.
"Jangan pulang malam-malam. Kita perlu bicara Key." Kata Bimo tanpa mengalihkan perhatiannya ke layar plasma.
"Sial." Umpat Bimo membanting stiknya sesaat tahu bahwa pemainnya kalah. Lalu segera menyambar kembali stiknya.
Kaira tidak menyahut dan terus melangkah keluar rumah.
"Key!" teriak Bimo.
"Iya!" sewot Kaira cepat menahan sebal.
*
Bimo POV
Bukankah tadi dia sudah mengiyakan perintahku. Kenapa sampai sekarang dia belum pulang juga. Apa maunya gadis bodoh itu dengan terus melawan dan tidak mengindahkan perkataanku. Sebenarnya dia sengaja apa memang tidak mengerti dengan perintahku tadi. Antara bodoh dan masa bodo! Ini lah yang membuatku jengkel padanya, sejak awal dan sejak kali pertama.
Tampang polos yang ditampilkannya benar-benar membuatku harus berpikir ekstra. Apakah itu topeng atau memang dia begitu?
Aku ingin percaya bahwa gadis bodoh itu memang apa adanya. Tapi entah kenapa keraguan selalu dan selalu mengusikku tiap kali kuyakinkan diriku.
Gadis sok polos. Yang sialnya adalah istriku. Jieh. Kenapa juga kusebut demikian.
Dan sekarang berani-beraninya dia bermain di depan mataku. Dan sialnya kenapa harus dengan dia. Bukankah aku sudah menekankan dengan siapa aku akan melepaskannya kelak? Dengan seseorang di luar sana yang kekayaannya sejajar dengan klan wijaya.
Apa aku kurang menekankan pada beberapa titik. Oh tidak.
Gadis itu memang sialan dan brengsek! Tapi aku masih harus bertanggungjawab melindunginya. Doble sial!
Selepas petang dia baru pulang dengan tatanan rambut barunya dan sedikit layer warna di sejumput rambutnya. Mau jadi gadis apa dia? Citra lembut dan polosnya seketika lenyap.
Apa dia mau menantangku secara terbuka kali ini.
Aku memandangnya dengan sengit.
Dia masuk dan mengusik kami yang tengah menikmati makan malam.
"Malam semua!" sapanya semringah seolah tak punya rasa dosa. Setidaknya dia harus sadar bahwa dia melupakan perintahku oh tidak, dia sengaja melakukannya. Dan membuatku mendaki emosiku? Berani sekali dia!
"Renata mana?" tanya Abi yang tidak melihat sosok teman gadis bodoh ini.
"Pulang!" sahut ringannya dan dengan santainya dia duduk di kursinya dan menikmati makan malam.
"Hah. Percuma gue di sini lama-lama." Kata Abi terlihat kecewa.
"Hem!" Kali ini Juna berdeham keras sambil meraih segelas air putih di depannya. Aku tak menoleh padanya. Yah, itu peringatan bagi Abi berani sekali dia berisik di meja makan klan wijaya.
Sadar dengan kesalahannya Abi tersenyum kecil dan mengangkat bahu. Lalu melanjutkan makannya dengan tenang.
Aku masih bertahan di kursiku meskipun aku sudah menyelesaikan makan malam, aku menunggu gadis bodoh ini menghabiskan makanannya.
"Loe lupa apa yang gue bilang sebelum loe pergi tadi?" tanyaku ketus saat melihatnya telah meletakkan sendok di atas piringnya.
"Tidak. Sesuatu apa yang mas Bim ingin bicarakan?" oh dia tidak amnesia rupanya. Tapi dia melupakan untuk pulang tidak terlalu malam. Aku menyeringai meremehkannya.
"Bagus. Tapi sayangnya gue sudah lupa apa yang ingin gue bicarakan!" kataku kubuat sedingin dan sedatar mungkin.
Mukanya lucu dengan kekecewaan yang nyata aku ingin tersenyum melihat tampang begonya yang nyaris marah menatapku menahan kejengkelannya. Tahan gadis bodoh! Kamu berani menyulut kemarahanku?
Dia mendengus sekilas lalu bangkit meninggalkan meja makan.
Aku ikut bangkit dan mengikutinya masuk ke dalam kamar.
"Hai Bim. Jangan lupa dengan taruhannya ya! Gue mau balik dulu!" teriak Abi dari ruang tengah aku memandangnya sekilas sebelum melanjutkan langkahku.
"Ya. Sono loe pergi jauh dari hidup gue!" seganku.
Abi menyeringai sambil mengibaskan tangannya.
Aku menutup pintu dengan kencang sengaja agar gadis bodoh itu menoleh dan menaruh perhatiannya padaku.
"Ke mana sampai lupa pulang?" tanyaku sambil membuka lemari pakaian dan menarik satu kemeja dan celana dari dalam lemari.
"Salon. Mas Bim tidak liat yang lain dari rambutku." Jawabnya sambil merebahkan diri di sofa.
"Mas Bim mau pergi?" tanyanya melihatku yang melangkah menuju kamar mandi.
"Bukan urusan loe kan!" kataku dingin.
"Ke mana? Katanya tadi ada yang mau diomong?" tanyanya sambil memainkan Hp.
Aku membanting pintu kamar mandi.
Aku berganti baju dengan cepat lalu buru-buru keluar.
"Loe enggak perlu tahu urusan gue!" Kataku mengancam. Entah karena dia tak peka dengan nada mengancamku atau dia sengaja memancing emosiku saat dia berbalik menatapku.
"Nona Rosemary? Mas Bim mau menemuinya?" timbalnya dengan wajah datar dan memasang muka sok polosnya.
"Kenapa jadi Mey!" tantangku.
"Lalu siapa lagi. Tadi mas Bim yang bilang ingin bicara terus saat aku sudah di sini mas Bim mau pergi gitu aja!" ucapnya cuek sambil mengalihkan perhatiannya ke Hp lagi.
"Tahu gitu aku tadi manipedi sekalian!" gerutunya lebih pada bergumam pelan.
"Hah. Bagus! Loe harusnya tahu kesalahan loe bukan malah menggerutu!" kesalku menatapnya tajam.
"Aku tidak menggerutu." Jawabnya masih sibuk dengan Hp.
Huh. Gadis bodoh ini keterlaluan.
Aku segera menghampirinya dan menyahut Hp yang dibawanya. Tanpa berpikir dua kali aku melemparnya. Hp itu jatuh dan berserakan entah jadi berapa bagian.
"Apa mau mas Bim!" cicitnya histeris sambil mendekati kepingan HP-nya.
"Gue yang harusnya tanya gitu Key!" sahutku tak kalah nyaring.
"Mas Bim benar-benar keterlaluan. Apa salahku kali ini?" tanyanya.
"Hah. Keterlaluan?!Lebih keterlaluan mana gue apa loe!" semburku mendekatinya dan menarik rambutnya.
Aku benar-benar frustrasi dengan tingkah lakunya. Pura-pura bego!
Gadis bodoh itu tidak menjawab. Aku melepaskan jeratanku saat matanya berkilat dan membuang muka dari tatapan dinginku.
"Tok. Tok!"
Aku merapikan bajuku dan mengalihkan perhatianku ke pintu. Membukanya dan mendapati Juna berdiri di depan pintu dengan wajah luar biasa panik.
"Apa yang terjadi?" tanyanya.
"Tidak ada." Jawabku sekenanya. Dan ternyata Juna tak percaya begitu saja.
"Kay?" tanyanya melihat gadis bodoh yang tengah mencoba menyusun kembali kepingan HP-nya.
"Hp ku jatuh Jun." Jawabnya pelan sambil membawa kepingan Hp di kedua tangannya. Gadis bodoh itu tersenyum ke Juna.
"Tak apa bisa kuperbaiki!" lanjutnya sambil menuju sofa.
"Gue sudah membuangnya dan loe bisa beli yang baru." Ketusku sambil mengambil kepingan Hp itu dan melemparkannya kembali ke lantai.
"Mas Bim please!" mohonnya.
Bodo amat!
"Bim apa yang loe lakukan! Loe benar-benar!" komentar Juna mencegahku melempar kepingan yang lain dengan memegang pundakku.
"Jieh. Masih mending Hp yang gue lempar! Kalau salah satu dari kalian yang gue lempar. Pasti lebih menyenangkan." Kataku dingin sambil melepaskan tangan Juna di bahuku.
"Bim!" kata Juna frustrasi.
"Jun! Gue tak main-main! Gue muak liat kalian!" Bentakku dan berlalu meninggalkan mereka berdua. Aku menoleh sebelum benar-benar keluar dari pintu.
"Loe harusnya ingat apa yang gue katakan dulu Key!" ucapku sambil menatapnya dengan seringai kemarahan.
"Benar-benar pria brengsek!" geramnya menatapku dengan keberanian yang dipaksakan.
"Terima kasih pujiannya! I'm totally damn!" sahutku lalu benar-benar berlalu.
Aku butuh mengendalikan diriku sebelum aku membunuh seseorang.
Klub, alkohol, obat, mabuk dan sakau rasanya aku memerlukannya saat ini.
Aku merindukanmu. Bahkan di saat terburuk dalam hidupku. Azaleaku, Delima.