Diyah yak bisa berkutik apa-apa. Dia tahu betul bagaimana pamor Raja di kampus. Bahkan banyak yang akan menghujatnya karena mempermalukan diri sendiri.
Melihat ketakutan pada diri Diyah, dengan segera Ratu langsung menyambar tangan Raja dan mengajaknya keluar. Bahkan cabut dari kampus.
"Eits, kita mau ke mana, Sayang?"
"Udah, jalan aja."
"Kamu ngajakin aku bolos?"
"Mau apa enggak? Suntuk juga."
Tanpa pikir panjang, Raja jelas tancap gas. Tak biasanya pacarnya melanggar aturan, persetan dengan beberapa orang yang melihatnya keluar dari kampus.
Ya, Jakarta bukan tempat terbaik untuk orang-orang yang hidupnya penuh hujatan bagi Ratu. Ia juga sudah meyakini hal ini akan terjadi.
Mereka saling diam pun dengan Raja yang memang tak tahu harus mengatakan apa. Pikirannya hanya fokus harus ke mana hari ini? Masih panjang untuk pulang. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Raja nekat keluar batas dari ibu kota.
Tanpa sadar, Ratu pun mulai panik. Mau ke mana mereka? Maksud Ratu adalah pergi dari orang-orang yang tidak setuju akan hubungannya dengan Raja, bukan malah melarikan diri. Emangnya kawin lari? Masih terlalu dini.
Bahkan, ia tak yakin bisa lama-lama dengan Raja dengan segala kepopuleran pacarnya. Siapa sih yang gak cemburu pacar sendiri jadi santapan banyak orang?
"Kita akan ke kebun raya Bogor, meskipun hanya ada binatang dan tanaman setidaknya itulah yang terpikirkan di otakku sekarang."
What? Memangnya mereka ini anak TK yang kabur ke kebun binatang? Tapi baiklah, tak buruk-buruk amat. Lagian bertemu dengan banyaknya manusia sangat merepotkan.
***
Dulu sekali, Ratu pernah ke sini dengan Astrid. Karena terlalu penasaran seperti apa jantung kota Bogor, apalagi ia memang bukan tipe gadis yang sering travelling. Hemat biaya, jomblo pula.
"Kita beli makanan ringan dulu, minimal minum lah."
"Oke. Kamu duduk di sini aja, biar aku yang beli."
"Gak, harus aku."
"Tapi.. "
"Baiklah, barengan aja. Deal?"
Haha, hanya hal sederhana saja harus debat dulu. Tapi Ratu bersyukur tidak berpacaran dengan pria yang selalu menjadikan pasangan mereka ratu-ratu di princess manjah! Yeah, terlepas dari namanya Ratu.
Tak jauh dari mereka, berjejer beberapa ruko legal dengan makanan ringan yang lumayan bisa mengganjal perut.
Diraupnya beberapa bungkus beng-beng, dari dulu Raja selalu tahu jajanan apa yang disukai gadis itu.
"Kita duduk di sana," tunjuknya ke arah kursi kosong yang menghadap ke kandang jerapah.
Senang bukan main, memang ya, dengan pemandangan hijau ala kota Bogor, seakan merasakan udara di sini lebih hidup. Sherly menghitung jerapah-jerapa di sampingnya. Sifat kekanak-kanakkannya mulai muncul.
Tidak masalah bagi Raja, melihat bagaimana gadis itu tersenyum lucu membuatnya ikut merasakan kebahagiaan yang sama.
"Kamu kenapa ada pikiran ke sini sih? Kayak masa kecil kurang bahagia aja."
Ini sudah bungkus kedua beng-beng yang masuk ke mulutnya. Sebegitu sukanya Ratu dengan jajanan yang pernah diiklankan Hito.
"Kebalik kali, Yang. Justru, Orang-orang di sini malah orang-orang yang bahagia. Karena apa? Karena bukan manusia yang ingin mereka lihat, tapi makhluk lainnya. Manusia itu suka ngibul, lihat aja para sales di mall-mall besar."
"Terus, alasan kamu ngajak aku ke sini apa?"
"Karena aku gak pernah ke sini."
Apa? Haruskah Ratu percaya? Masalahnya adalah Raja sering memperlihatkan liburannya di berbagai negara, bukan hanya Indonesia saja.
Hanya ke Bogor, kan sangat mustahil? Atau Raja memang tidak level ke tempat-tempat lokal seperti ini?
Siapa pun tahu kalau mereka memang beda kelas, strata sosial kadang menyurutkan Ratu untuk bertahan. Takut dengan kehidupan orang-orang berduit yang selalu melakukan perjodohan demi bisnis keluarga.
"Mungkin kamu lupa, aku terlalu bosan ke luar negri. Yeah, sampai-sampai aku tak pernah keliling destinasi negeri sendiri."
"Nggak level ya?"
Raja menggeleng mantap. "Bukan karena itu, Beb. Tapi karena orang tuaku memang selalu punya urusan di banyak negara. Dan secara tidak sengaja aku dan Aurora selalu diajak, kami sebenarnya bosan tahu. Kayak ya ampun, kita sangat penasaran dengan dinginnya negeri di atas awan, kabut di gunung-gunung Indonesia juga pulan Sumba."
Raja menyambung lagi kalimatnya. "Setiap kami mengajak liburan, mereka selalu bilang gak ada waktu, selalu pergi dan pergi lagi. Aku adalah korban kesibukan orang tua, Ratu. Bahkan Aurora gak pernah ngerasain gimana rasanya diambilin rapot sama ayah."
Dengan hati-hati, Ratu menepuk bahu Raja, memberikan saluran penyemangat yang ia punya. Kehidupan sama persis, kekurangan sentuhan kehangatan kasih sayang orang tua. Tapi ia bersyukur hidup berdua dengan mama. Ya, wanita yang memberikan slogan jangan menyerah meskipun dunia tak bisa diajak kerja sama.
"Kita mau jalan-jalan atau speechlees sih? Senyum dong, kita keliling yuk!" Ajaknya.
Tak ada penolakan, Raja dengan baik hati membawa mini bagian milik Ratu. Berjalan, melangkahkan kaki ke kandang-kandnang hewan.
Matanya menatap satu persatu hewan yang sedang berada dalam rengkuhan induknya. Lagi dan lagi, ada tetesan hangat yang segera ia seka.
Kalau boleh jujur, Raja juga punya hati. Ia rindu ditanya bagaimana kabar hidupnya, masalah yang dihadapinya, luka remajanya. Bukan hanya ditanya kebutuhannya. Kekayaan bisa digali, tapi tidak dengan kasih sayang sepenuh hati.
"Kamu boleh nangis kok, gak semuanya bisa kamu pendam, Raja."
"Aku malu sama kamu. Bagaimanapun juga aku gak pantas kelihatan gak baik-baik saja di depan gadis yang aku suka."
Raja adalah Raja. Pria yang memang terlihat kuat dari cangkangnya, padahal perasaannya memiliki keinginan di masa kecil yang belum pernah terpenuhi.
Memiliki tuntutan pula dengan kebahagiaan Aurora, ya, kenapa sih orang-orang selalu mendewakan uang dan kekayaan?
"Aku sayang sama kamu, asal kamu tahu. Dan aku gak mau, pria yang aku sayang ini nahan apa yang gak seharusnya dia tahan. Air mata itu bukan untuk kaum kita-kita aja kali, kaummu juga layak menggunakannya. That's life, Dear."
Entahlah, perkataan Ratu seakan menyihir perasaan Raja lebih baik. Harus diakui, secara tiba-tiba, air mata yang tadinya akan keluar mendadak kembali lagi ke dalam.
"Terima kasih sudah menyayangi pria yang berantakan sepertiku. By the way, kita kalau menikah di sini aja gimana?"
What? Apa tadi? Merried? Gila aja, masih dua tahun Ratu menjalani dunia kuliahnya. Masih harus kerja, cari pengalaman. Umurnya bahkan masih sangat mentah untuk berumah tangga.
"Gak dulu deh, skip bahas nikah. Okey?"
"Kenapa? Kamu gak mau nikah sama aku?"
"Bukannya gak mau.."
"Oh, berarti mau ya!" Potong Raja.
Dasar, selalu mahir menyimpulkan sendiri perkataan orang.
"Yeah, aku juga ingin menikah. Tapi tidak sekarang, kita masih buta arah, you know?"
"I know, tadi aku cuma latihan aja sih ngelamar kamu. Takut ditolak. Haha."
Ratu sedikit lega mendengar tawa pacarnya akhirnya muncul juga, setidaknya meskipun tidak merasa bahagia jangan sampai menahan rasa kecewa di waktu yang sama.