Moa membuka buku di tangannya, kemudian mendesah ketika mulai membaca ulang. Ia sedang berbaring terlentang di atas ranjang kesayangannya. Baru saja ia selesai berdiskusi dengan kedua orang tuanya mengenai kedua belas lampu merah yang harus ditaatinya ketika ia berada di negeri orang. Bibirnya mencebik ketika kembali mengingat permincangan mereka.
"Lampu merah yang ke-enam …. " Dan Moa kembali waswas kala sang Papa masih melanjutkan menuliskan kembali rentetan lampu merah yang harus dipatuhinya.
"NO THICK MAKE UP." Moa membelalakkan mata yang tidak terlalu lebar itu. Apa sang Papa lupa kalau Moa bahkan tidak pernah berdandan? kenapa harus dituliskan segala?
"Papa tahu Mo sekarang tidak pernah dandan, tapi orang bisa berubah karena lingkungan pertemanan. Papa hanya tidak mau Mo berubah. Itu sebabnya point ini harus tetap Papa tuliskan." Moa mengusap-usap hidung bawahnya. Merasa takjup dengan kemampuan sang papa membaca pikirannya. Ia melirik sang Mama yang terkekeh. Oh … Mamanya sudah melupakan air mata yang sedari tadi turun. Mo mendesah lega. Paling tidak sang Mama sekarang sudah bisa tersenyum.
"Baiklah … Mo setuju. Mo nggak akan berubah. Akan tetap menjadi Mo yang lugu tanpa make up seperti yang Papa dan Mama suka," seru Mo dengan bersemangat. Sang Papa mengangukkan kepala berkali-kali. Dalam hati Mo berdoa agar deretan lampu merah berakhir di point ke 6. Please … jangan ada lagi Tuhan. Sudah cukup enam lampu merah yang harus Mo patuhi, batin Moa berdoa. Sang Papa terkekeh melihat raut wajah sang Anak yang memelas.
"Lampu merah ke-tujuh … " Dan kedua bahu Moa langsung jatuh. Harapan, serta doanya tidak terkabul. Sepertinya Tuhan mendukung sang Papa, dan sedang mengabaikan keinginannya. Matanya nanar menatap sang Papa yang sedang menoleh kearahnya dengan sebelah alis terangkat.
"NO SHORT SKIRT." Kepala Moa langsung bergerak maju dengan mulut menganga. Padahal dia sudah membayangkan akan membawa beberapa rok pendek yang ia koleksi, lalu memakainya saat musim panas tiba. Bola matanya memutar ke atas. Sepertinya orang tuanya tetap ingin mengontrol Moa meskipun mereka terpisah jarak belasan ribu kilo meter. Wait … hanya rok mini kan yang tidak boleh? dia masih punya hot pant, celana pendek, juga tank top untuk Summer. Bibirnya terkulum menahan senyum. Tidak ingin sang Papa mengetahui pikiran liciknya.
"Pa … harusnya bukan cuma rok mini yang nggak boleh, tapi semua pakaian mini. Termasuk celana pendek, juga tank top." Tubuh Moa langsung tegak. Matanya melirik tajam sang Mama yang baru saja bersuara. Mamanya itu jarang bicara dari awal diskusi, tapi begitu bicara meruntuhkan sisa-sisa pengharapan Moa. Ayahnya terlihat mangut-manggut, dan mata Moa segera mengikuti gerak tangan sang Papa yang mencoret tulisan NO SHORT SKIRT, kemudian menggantinya dengan NO MINI CLOTHES. Hela berat nafas yang dikeluarkan Moa membuat kedua orang tuanya menoleh, dan menatap bertanya sang anak. Moa hanya mencebik lalu mengangguk. Seperti dia punya opsi lain saja selain mengangguk. Sekarang saatnya dia berkonsentraasi untuk kembali berdoa. Berharap tangan sang Papa tidak lagi menuliskan kalimat apapun dalam buku di hadapannya. Tanpa disadari, mata Moa menatap lekat buku dihadapan sang Papa, membuat kening sang Papa mengernyit dalam. Mata Moa mengerjap begitu menyadari tatapan sang Papa. Ia berdeham, kemudian menarik sudut bibirnya keatas. Sang Papa menggeleng sebelum kembali menghadap lembar buku yang terbuka dihadapannya, dan kembali membuat Moa was-was ketika jari-jari sang Papa mulai kembali bergerak. Moa menahan nafas dengan tatapan penuh pengharapan. Hela nafas kasar langsung keluar begitu tangan itu kembali menuliskan lampu merah selanjutnya.
"Lampu merah ke-delapan …" ucap sang Papa sembari tangannya menulis. "NO NON-HALAL FOOD." Tangan kanan Moa langsung terangkat mengusap keringat yang entah sejak kapan mulai menghias keningnya yang tertutup poni super lurus. Dia sedikit merasa lega mengetahui lampu merah selanjutnya adalah larangan untuk memakan makanan yang tidak halal. Itu bukan hal sulit untuknya karena selama ini dia juga tidak pernah memakannya. Jadi, dengan semangat ia mengangkat kedua ibu jarinya ke hadapan kedua orang tuanya dengan senyum terpatri. Tangan kiri sang sapa bergerak, mengusap kepala sang putri. Dia sangat menyanyangi satu-satunya buah cinta dalam pernikahannya bersama sang istri. Moa tersenyum, menatap sang Papa penuh rasa sayang. Namun kembangan senyum itu tak bertahan lama ketika tangan kiri sang Papa kembali turun, dan wajah pria yang di sayanginya itu kembali fokus ke lembar buku di depannya. Perasaan Moa kembali was-was. Apalagi yang ada dipikiran sang Papa, yang membuat pria tersebut khawatir Moa akan melakukannya ketika jauh dari mereka? Kernyitan di kening sang Papa menunjukkan pria itu sedang berpikir keras. Sang Mama terlihat mendekatkan kepala ke telinga sang suami, dan berbisik yang sayangnya tidak bisa Moa dengar meskipun ia sudah memasang telinganya lebar-lebar. Sang Papa tampak terkejut sebelum kemudian mengangguki apapun itu yang dibisikkan sang Istri.
"Lampu merah ke-delapan … " Sang Papa melirik Moa yang masih terlihat tegang. Menerka-nerka apalagi kekangan yang akan membuatnya melepaskan kebebasan yang sudah digadang-gadang.
"NO SEX BEFORE MARRIAGE." Gerak bibir sang Papa membuat Moa membelalak sempurna. Mungkin saat ini lebar matanya sudah bisa menyamai lebar mata orang jawa pada umumnya. Moa tidak habis pikir kedua orang tuanya mengkhawatirkan hal itu. Moa tahu pasti sex adalah hal yang terlarang sebelum pernikahan, dan dia sendiri tidak menuliskan hal itu dalam daftar kebebasan yang ingin ia dapat ketika jauh dari kedua orang tuanya. Ia mendesah … apakah kedua orang tuanya tidak sepercaya itu padanya? Moa menatap keduanya bergantian dengan mulut rapat. Sang mama menegakkan duduknya, menoleh kearah Moa.
"Bukan Mama dan Papa tidak percaya Mo anak baik." Kalimat yang terucap dari bibir tipis sang Mama. Mo mengamati sang Mama, berusaha menebak kalimat apa lagi yang akan diucapkan sang Mama untuk menangkis pikirannya.
"Kami percaya Mo bisa menjaga diri. Menjaga martabat kita sebagai perempuan. Kami perlu menuliskannya hanya sebagai pengingat." Meilan mendesah.
"Kami pernah muda Mo. Kami tahu bagaimana darah anak muda yang sering meledak-ledak, dan terkadang sulit dikendalikan. Di situ fungsi orang tua yang mungkin kalian bilang cerewet, tidak pengertian, atau apapun itu. Tapi yang sebenarnya bahwa kami orang tua melakukan semua itu karena rasa sayang kami pada anak-anak kami. Papa juga baru menyadarinya setelah dewasa. Dan Papa harap Mo bisa mengerti itu." Sang Papa berucap dengan tenang. Tatapan sayang menusuk kedua manik Moa, meluruhkan rasa kesal yang sempat menggerogoti hatinya. Moa sadar seberapa besar kedua orang tuanya menyayangi dirinya selama ini. Matanya terasa memanas. Kepalanya segera mengangguk sebelum cairan itu menetes. Sang Papa menarik tubuh Moa, kemudian memeluknya. Tidak Mau ketinggalan, sang Mama ikut memeluk keduanya. Ah … Moa pasti akan merindukan kedua orang yang dikasihinya ini. Papa Amir dan Mama Meilan. Dua orang beda kebangsaan yang sudah berjasa membuat Moa hadir ke dunia, dan bisa merasakan udara segar. Mereka melepaskan pelukan setelah beberapa saat. Sang Papa menghapus bekas air mata yang membasahi pipi sang putri. Tersenyum kearahnya.
"Papa … juga Mama … sayang sama Mo. Mo tahu itu, kan? Mo mengangguk, kembali memeluk sang Papa. Amir mengusap punggung yang terasa kecil untuk tangannya yang besar.
"Jadi Mo harus percaya bahwa apapun yang Papa, dan Mama lakukan semua untuk kebaikan Mo. Termasuk aturan lampu merah yang Papa buat." Mo kembali mengangguk di bahu sang Papa. Mo melepaskan pelukannya, kemudian dengan senyum berseru.
"Ayo lanjutkan Pa. Masih ada lagi, kan?" Sang Papa terkekeh, sementara Mei menatap sang putri dengan haru. Putrinya ternyata sudah besar. Rasanya baru kemarin ia mengandung buah hatinya bersama Amir. Rasanya waktu berjalan terlalu cepat. Ia mengusap setetes air yang merembes dari sudut mata. Sang suami sudah kembali fokus dengan lembaran di depannya.
"Lampu merah yang ke-sepuluh … NO BOY'S ROOM MATE." Amir menoleh ke arah Moa, dan mendapati sang anak menganguk-angguk. Bibirnya berucap ' ok … no problem." Ia kembali menghadap ke depan. Mulai menggerakkan pena di tangannya.
"Lampu merah ke-sebelas … NO SMOKING." Ia kembali menoleh ke kiri. Sang anak mengangkat kedua bahunya.
"Sure Pa … Mo tidak suka rokok. Jadi Mo tidak akan merokok. Sayang uang kalau harus dipakai berobat ke Dokter paru," candanya yang berhasil membuat kedua orang tuanya tertawa. Ketegangan yang tercipta sudah sepenuhnya mencair. Moa tidak lagi memohon pada Tuhan untuk menghentikan gerak jari-jari sang Papa. Ia percaya semua yang Papanya tuliskan adalah untuk kebaikan Moa sendiri. Itu bagian dari rasa sayang, dan penjagaan yang kedua orang tuanya berikan.
"Lampu merah ke-dua belas … NO NIGHT CLUB." Moa menelengkan kepalanya. Sang Papa sudah menuliskan NO ALCOHOL sebelumnya. Bukankah orang pergi ke kelab malam untuk menikmati segelas alkohol?
"Meskipun Mo sudah setuju untuk tidak minum Alkohol, bukan berarti Mo boleh pergi ke kelab malam. Karena apa yang ada di dalam kelab malam itu tidak ada yang baik. Buat Mo tentu saja," lanjut sang Papa. Mo rasa dia bisa mengerti kecemasan orang tuanya. Dan dia tidak mempermasalahkan hal itu. Apa sih menariknya kelab malam? Mo tidak mengerti, dan Mo rasa dia tidak ingin mencari tahu.
***
Mo menggulingkan tubuhnya hingga menelungkup. Kedua kaki sebatas lutut terangkat. Di bawah ke-dua belas lampu merah yang sudah dituliskan sang Papa, ada tanda tangannya di sana. Berdampingan dengan coretan tangan kedua orang tuanya. Perjanjian yang mereka buat untuk meloloskan keinginannya melanjutkan sekolah ke Universitas New York.