Moa berjalan dengan menggandeng erat lengan sang Mama, memasuki bandara keberangkatan internasional. Di samping kirinya, sang Papa, Amir mendorong trolly berisi 3 buah koper besar milik sang putri. Sebenarnya, ia dan Mei sang istri ingin mengantar putri tunggal mereka sampai ke negara yang di pimpin oleh seseorang yang pernah tinggal di Indonesia di masa ia kecil. Namun sang putri dengan keras kepalanya menolak.
"Mo sudah besar Pa … Ma. Mo bisa berangkat sendiri. Papa sama Mama antar Mo sampai bandara saja. Pleaseee …. "Lengkap dengan wajah memohon hingga membuat kedua orang tuanya mendesah. Sang putri sedang ingin menjadi mandiri. Mungkin memang selama ini mereka terlalu mengekang kehidupan sang putri hingga putri mereka itu terlihat begitu bahagia ketika pada akhirnya mereka mengabulkan permintaannya.
"Mama pasti bakal kangen banget sama Mo." Sang Mama menoleh kearah putrinya yang sedang menebar senyum bahagia. Lihatlah wajah berseri sang putri yang berbanding terbalik dengan wajah sendu sang Mama. Bibir Moa bergerak mengecurut.
"Mo juga pasti kangen. Tapi kita kan bisa telepon Ma. Bisa face time." Lalu kekehan Moa terdengar sementara bibir sang Mama memberengut.
"Tapi kan Mama nggak bisa peluk kamu, sayang." Moa tertawa kecil. Mamanya memang tidak pernah absen memeluknya setiap hari. Kalau Moa ingat-ingat … mungkin sang Mama memeluknya minimal 2 kali dalam sehari. Minimal.
"Untuk sementara, Mama bisa peluk Papa kalau lagi kangen sama Mo." Jawaban nyeleneh sang putri membuat Mei melotot. Sementara yang dipelototi hanya kembali tertawa. Putrinya benar-benar terlihat begitu bahagia. Ia mendesah. Ada sedikit sesak dalam dada ketika melihat sang putri justru terlihat bahagia di hari perpisahan mereka. Ia menghela nafas panjang, kembali menatap ke depan. Mengantar sang putri sampai ke tempat sejauh yang ia bisa. Langkah kakinya terhenti ketika tiba di tempat terakhir batas pengantar. Ia memiringkan tubuh, kemudian meraih tubuh sang putri yang sudah lebih tinggi darinya itu masuk ke dalam pelukan. Air mata sudah menetes. Tangannya bergerak naik turun mengusap pungguk sang putri.
"Hati-hati di jalan. Jaga diri baik-baik. Jangan lupa kabari kami kalau sudah sampai. Jangan lupa makan teratur. Jangan lupa sholat," nasihat sang Mama yang membuat kepala Moa bergerak mengangguk berkali-kali. Ia akan selalu mengingat pesan sang Mama. Dengan wajah basah air Mata, sang Mama melepas pelukan. Ia segera menghapus jejak air mata di kedua pipinya. Tidak ingin menjadi bahan tontonan banyak orang yang sepertinya sudah mulai tertarik dengan drama perpisahan mereka.
"Mama jangan nangis dong. Mo jadi sedih." Wajah berseri Moa lenyap seketika begitu melihat sang Mama menangis. Pelukan tangan kokoh di bahunya membuat Moa menoleh ke samping. Sang Papa tersenyum kearahnya.
"Mama sedih itu wajar. Papa juga sedih, hanya saja Papa tidak mungkin menangis di sini." Sang Papa terkekeh. Kekehan yang sama sekali tidak memperdengarkan kebahagiaan. Moa tahu sang Papa juga sedang bersedih. Moa juga sebenarnya sedih, tapi tidak ingin memperlihatkan kepada kedua orang tuanya. Ia tidak ingin Papa, dan Mamanya bertambah sedih. Tapi ternyata ia tidak berhasil menghilangkan kesedihan keduanya. Sang Mama yang lebih ekspresif entah sejak kapan sudah meneteskan air mata. Sedangkan sang Papa yang berusaha terlihat tegar, tetap saja jelas terlihat sedang bersedih. Ia bergerak memeluk sang Papa.
"Papa jaga kesehatan baik-baik. Jaga Mama … jangan boleh sedih-sedih terus. Mo pasti akan baik-baik saja. Jangan khawatir." Sebelah tangan sang Papa mengusap kepalanya penuh sayang. Moa pasti akan merindukan pria dalam dekapannya itu.
"Jangan khawatir. Papa sama Mama pasti akan baik-baik saja." Sang Papa melonggarkan pelukan, menunduk untuk memperhatikan wajah sang putri. Moa tersenyum, kemudian sekali lagi memeluk pria di depannya. Mei tidak tahan untuk tidak ikut memeluk sang putri. Mereka bertiga berpelukan, kemudian tertawa bersama meskipun dengan mata yang masih memerah.
"Kalau gitu Moa berangkat dulu Ma … Pa …" Mereka merenggangkan pelukan. Sudah saatnya melepas sang putri untuk mengejar mimpi gadis 17 tahun itu. Putrinya bukan lagi anak kecil. Mereka akan mempercayai sang putri. Moa akan bisa menjaga diri baik-baik.
Moa memdorong trolly masuk untuk melakukan cek in. Ia sempat menoleh untuk melambai pada kedua orang tuanya yang terlihat sedang saling merangkul.
Moa mendesah lega setelah melewati pengecekan imigrasi. Sekarang ia hanya perlu menunggu panggilan pesawat yang akan membawanya menuju tempat berjarak belasan ribu kilo meter dari tempatnya sekarang duduk. Ia menggeser tubuhnya ketika seorang pria seumurannya ikut duduk di kursi yang ia tempati. Moa hanya melirik cowok yang sibuk dengan earphone di telingannya. Melihat barang bawaannya, sudah pasti cowok itu juga akan melakukan perjalanan jauh. Lalu ia tertawa sendiri ketika menyadari kebodohannya. Tentu saja. Tempat tunggu yang mereka datangi itu memang untuk keberangkatan luar negeri. Sudah tentu semua yang ada di ruang itu akan melakukan perjalanan jauh. Untuk membunuh waktu yang terasa membosankan karena harus menunggu, Moa memainkan game dalam ponsel yang ia bawa. Entah berapa lama ia bermain sampai akhirnya panggilan untuk segera masuk ke dalam pesawat tujuan Newyork dengan transit Tokyo terdengar. Ia bergegas mematikan game dalam ponsel, kemudian membereskan tas yang ia bawa. Tiga koper besar yang dia bawa sudah berada di dalam bagasi pesawat. Ia berjalan pelan, berbaris mengantri untuk melewati pengecekan tiket terakhir sebelum diperbolehkan masuk ke badan pesawat. Jantungnya berdetak kencang. Sebentar lagi, untuk pertama kali dalam hidup ia akan berada belasan ribu kilo meter dari kedua orang tua. Ia akan benar-benar mandiri. Mengandalkan diri sendiri untuk segala hal. Tidak lagi bisa merengek kepada sang Mama, pun sang Papa yang pasti akan selalu membantu apapun yang ia butuhkan. Ia menghela nafas panjang, kemudian menoleh ke belakang saat merasakan sentuhan di bahu kanan. Matanya memicing kearah seorang cowok yang ia ingat duduk di sampingnya saat tadi berada di ruang tunggu. Cowok yang mengenakan jaket tebal warna hitam itu membuka mulut.
"Sendirian?" tanya cowok itu yang justru membuat Moa langsung berbalik ke depan dan berjalan lebih cepat. Pemuda di belakangnya mengernyit melihat cewek yang ia tanya justru terlihat ketakutan. Aneh … batinnya. Sementara itu Moa yang merasa ketakutan berusaha menempel seorang Ibu yang berdiri di depannya. Sesekali ekor matanya melirik ke belakang. Mencari-cari keanehan pada cowok di belakangnya. Dia sudah bersiap untuk berteriak sekencang mungkin jika cowok di belakangnya menunjukkan keanehan. Firasatnya mengatakan cowok itu orang jahat. Ia masih mengingat nasehat kedua orang tuanya ketika dia masih kecil. Jangan bicara pada orang asing. Jangan menerima pemberian apapun dari orang asing. Kita tidak pernah tahu jika orang yang terlihat baik di depan kita bisa jadi penjahat yang hanya sedang berpura-pura, lalu merampok kita ketika kita lengah. Lebih buruk lagi, membunuh kita. Moa bergidik ngeri. Ia melafalkan doa sepanjang berjalan dalam antrian. Desah lega keluar dari mulut Moa begitu melewati pengecekan tiket. Dengan cepat ia melesat, berjalan mendahului beberapa orang yang sebelumnya ada di depannya.
Moa tersenyum begitu memasuki badan burung besi tersebut, serta mendapat sambutan selamat datang dari para kru pesawat. Ia menunjukkan tiket yang ia bawa, lalu seorang pramugari menunjukkan arah kursinya berada. Ia merasa sangat bangga pada akhirnya berada dalam pesawat. Kepala Moa mendongak ke atas, melihat deretan nomer tempat duduk yang tertera. Senyum kembali terbit begitu melihat nomer yang sama dengan nomer tiket yang ia pegang. Ia menggeser miring tubuhnya untuk masuk. Ia bersyukur mendapat tempat duduk di samping jendela sehingga saat bosan ia bisa melihat pemandangan awan dari balik jendela. Perjalanan panjang lebih dari 21 jam akan segera ia tempuh. New York. Ia akan segera berada di kota besar tersebut. Ia sudah berencana akan pergi ke beberapa tempat yang terkenal di sana. Salah satunya adalah time squre. Sudah lama sekali ia ingin melihat tempat itu. Matanya mmbelalak saat ia menoleh ke kanan, lalu melihat cowok yang sempat menyapanya ada di sana. Duduk di seberang kursi yang Moa tempati. Cowok yang kebetulan juga sedang menoleh ke arah Moa itu tersenyum. Gugup, Moa segera membalik kepala. Lebih baik dia melihat pemandangan bandara di luar. Melihat mereka yang baru saja turun dari pesawat, dan berjalan berbondong-bondong masuk ke dalam bandara. Suara pilot memperkenalkan diri, di susul beberapa pramugari yang memperagakan beberapa gerakan di depan membuat Moa sedikit teralih dari rasa takutnya. Tak lama pesawat mulai bergerak. Moa menutup mata. Ia ingin merasakan, lalu menyimpan rasa pertama saat pesawat lepas landas. Sedikit hentakan ia rasakan, membuat perutnya mual. Ia membuka mata, lalu buru-buru mengambil permen di saku jaketnya. Untuk ia sudah siap sedia dengan permen mint. Ia pernah mendengar seorang temannya yang muntah saat pertama kali menaiki pesawat. Dalam hati Moa tertawa … hampir saja ia mengikuti jejak sang teman. Moa tidak bisa membayangkan akan semalu apa kalau ia sampai benar-benar muntah. Kepalanya tiba-tiba memutar ke kanan. Moa terdiam dengan mata membola melihat cowok di seberang mengacungkan permen mint ke arahnya. Permen yang sama seperti yang baru saja masuk ke dalam mulut.
"Mau muntah??" gerak mulut tanpa suara yang bisa dengan jelas Moa baca, membuatnya mencebik kemudian segera melengos. Malu setengah mati.