Tak kurang-kurang Moa mengagumi apa yang ada di hadapannya. Akhirnya, setelah 17 tahun ia bisa berada di salah satu tempat tujuan wisata di NYC. Times square. Time square sendiri sebetulnya adalah nama persimpangan jalan utama di Manhattan, New York City, Amerika serikat. Persimpangan tersebut merupakan tempat bertemunya jalan Broadway, dan Seven Avenue. Persis di tengah times square berdiri gedung one times square yang dinding luarnya dipasangi papan iklan, dan televisi berlayar lebar. Tempat wajah-wajah penyanyi ternama biasa terpampang ketika mereka mengeluarkan single atau album baru. Sebut saja Ariana Grande, Selena Gomez, Katty Perri, Taylor Switf yang biasa wara-wiri. Para pengunjung juga bisa menikmati theater di tempat tersebut. Ratusan orang tersebar di jalanan karena tempat itu memang salah satu tempat tujuan wisata yang banyak dikunjungi.
Moa mengedarkan mata dengan senyum tersungging indah. Dia benar-benar bahagia. Gadis yang memakai mantel bulu warna coklat senada dengan beani yang menutup kepala, celana jeans biru pudar serta sneker putih itu memutar tubuh, sementara sang pemandu hanya menggelengkan kepala. Merasa takjub dengan teman barunya. Kelihatan sekali selugu apa Moa. Seperti anak kecil, gadis itu sekarang melompat-lompat kegirangan. Tanpa diminta, iqi mengambil beberapa gambar Moa tanpa gadis itu sadari, lalu terkekeh melihat hasilnya. Moa memang selucu itu. Wajahnya yang baby face, dilengkapi dengan tingkah kekanakannya membuat gadis itu tampak menggemaskan.
"Qi...!" Iqi segera mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Menatap sang pemanggil, kemudian melangkah mendekat.
"Ambilin photoku, dong." Benar kan, batin Iqi. Gadis itu pasti akan meminta mengambil gambarnya. Setelah ini, dia pasti akan segera mem posting ke media sosial. Benar-benar anak muda jaman now. Kemana-mana jepret, trus posting. Habis itu deg-deg an nunggu komen. Terakhir ketawa-ketawa sambil balas komen satu-satu. Benar-benar mudah di tebak. Meskipun begitu tetap saja ia menerima ponsel yang Moa ulurkan kemudian bersiap mengambil gambar gadis yang sudah mulai berpose tersebut.
"Nih udah." Iqi menyerahkan kembali ponsel milik Moa, setelah entah berapa gaya yang Moa peragakan. Gadis itu segera menunduk untuk meneliti hasil jepretan Iqi. Menggeser layar untuk melihat keseluruhan hasilnya. Ia tersenyum puas. Tangannya dengan lincah bergerak di atas layar. Beberapa saat Iqi hanya menunggu, dan mengamati kesibukan Moa. Setelah selesai dengan kegiatannya, Moa segera memasukkan ponsel ke saku mantel yang membungkus tubuhnya hingga nyaris tak terlihat.
"Sudah di posting?" tanya Iqi. Cowok dengan kedua tangan berada di dalam saku celana itu memajukan tubuh. Moa merasa takjup.
"Woa … kok tahu kalau aku baru saja posting?" lalu mata kecilnya itu menyipit hingga nyaris tertutup.
"Apa? buang pikiran buruk dalam otak kecilmu itu." Sebelah tangan Iqi lolos dari saku celana, kemudian bergerak ke atas--menoyor kening Moa. Moa dengan segala pemikiran buruk gadis itu. Iqi bahkan sudah hafal. Bibir Moa memberengut, namun tak lagi membalas.
"Ayo… " Iqi melangkah mendahului Moa. Cepat-cepat Moa mengikuti langkah kaki Iqi. Sesekali gadis itu berjalan berjingkat. Matanya menyapu sekitar. Hatinya membuncah dengan rasa bahagia. Getar ponsel di dalam saku mantel tak membuatnya menghentikan langkah. Ia terkekeh. Teman-teman social media nya pasti sudah mulai heboh berkomentar melihat postingannya. Ia masih terkekeh sembari terus mengikuti Iqi. Mereka semua pasti merasa iri melihat photo-photonya. Moa memperhatikan gedung-gedung yang menjulang tinggi seolah menantang langit.
Iqi mengajak Moa masuk ke times square theater. Namun sebelumnya, gadis itu tidak lupa meminta nya mengambil gambar dengan latar belakang gedung megah tersebut. Iqi tertawa kecil, sebelum kembali mengambil gambar Moa. Gadis itu tersenyum lebar. Iqi sampai merasa pegal sendiri melihat bibir merah muda itu tak berhenti melebar.
"Jangan lupa gedungnya harus kelihatan ya, Qi!!" Teriak Moa. Ia mulai menata pose nya. Iqi hanya menggelengkan kepala, sebelum kembali memfokuskan bidikan kamera ponsel ke arah gadis yang sudah tersenyum lebar. Beberapa kali Moa berganti posisi, dan gaya. Gadis itu begitu puas melihat hasil yang diperlihatkan Iqi. Ternyata memutuskan menerima pertemanan dengan Iqi adalah yang tepat. Cowok itu banyak membantu Moa selama seminggu dia berada di negara tersebut. Di kampus, Moa juga selalu mengekori cowok itu. merasa asing ketika sendirian. Dia sudah mulai berkenalan dengan beberapa mahasiswa asal Indonesia dan juga Asia, namun belum menemukan yang 'klik' dengan nya. Dengan Iqi, dia bahkan tidak berusaha keras untuk mengenal, dan dia sudah merasa nyaman begitu saja. Kadang ia merasa aneh. Padahal awal bertemu, dia merasa ketakutan. Mengira bahwa Iqi bukanlah orang baik. Meskipun sebenarnya sulit dipercaya jika melihat wajah Iqi.
"Kalau mau posting … ini yang paling bagus." Iqi menunjukkan satu photo Moa yang menghadap ke arah gedung times square theater dengan wajah tertoleh ke samping. Hasilnya terlihat begitu natural. Tidak terlihat bahwa itu adalah gaya yang disengaja oleh gadis itu. Moa yang beberapa saat masih memperhatikan wajah Iqi yang sedang menunduk mengamati photo-photo yang sudah ia ambil, segera mengalihkan tatapan. Ia bergerak kikuk. Tiba-tiba merasa tidak nyaman. Padahal Iqi terlihat biasa saja.
"Nih… " Iqi menyodorkan ponsel yang masih dia pegang. Kemudian menarik sebelah telapak tangan Moa, dan meletakkan ponsel ke atas tangan gadis itu. Pria itu berjalan mendekati gedung tujuan mereka. Dia akan mengajak Moa menikmati sajian yang ditawarkan gedung megah tersebut. Moa melangkah cepat mengikuti Iqi memasuki gedung. Hari ini Iqi adalah pemandunya, dan dia akan mengikuti kemanapun Iqi membawanya.
***
"Sekarang kita kemana?" tanya Moa begitu keluar dari gedung theater. Dia merasa puas dengan apa yang baru saja mereka lihat. Di tangan nya sudah ada satu cup plastik cold brew, kopi yang diseduh dengan air dingin dengan suhu ruang selama beberapa jam. Beberapa kali ia meneguk cairan itu, lalu mendesah nikmat. Coba kalau ia pergi dengan kedua orang tuanya, mereka pasti akan melarang Moa minum sambil berjalan.
"Minum itu sambil duduk. Mo." Ucapan sang Papa terngiang di telinga. Ah … Moa merindukan pria itu. Juga sang Mama. Hampir tiap hari mereka bertukar pesan, namun tetap saja Moa merindukan mereka. Moa yakin, kedua orang tuanya pun merasakan kerinduan yang sama.
Iqi menoleh, kemudian menaikkan kedua alis nya. Tanpa menjawab, pria itu hanya terus melanjutkan langkah. Moa tertawa. Bergerak cepat menyusul Iqi, lalu memukul pelan lengan pria tersebut.
"Gaya amat pake rahasia-rahasian segala." Ia mensejajari langkah Iqi yang tertawa menanggapi.
"Ikut aja kenapa sih, Mo. Yang pasti aku akan bawa kamu ke tempat-tempat yang bisa bikin mata sipit kamu itu terbuka lebar," jawab Iqi yang membuat Moa langsung memajukan bibir nya.
"Mata ku bukan sipit. Lihat nih lihat. Ini nggak sipit, cuma kurang lebar dikit doang." Moa bergerak ke depan. Memperlihatkan mata yang ia coba buka selebar ia bisa, sembari melangkah mundur ketika Iqi tak jua menghentikan langkah kaki nya. Tawa Iqi meledak melihat seberapa keras Moa mencoba membuka mata, supaya terlihat selebar mata orang Indonesia pada umumnya. Dia tidak pernah menanyakan keluarga gadis itu, tapi melihat dari fisik Moa, dia bisa menebak bahwa gadis itu lahir dari campuran Jawa, dan Tionghoa. Kulitnya putih mulus, mata tidak sesipit orang tionghoa pada umumnya, tapi juga tidak selebar orang Jawa.
"Sudah lihat??" Moa masih melebarkan mata sebisa mungkin. Iqi yang baru saja hanyut dengan pemikirannya segera berdehem, lalu mengangkat kedua bahu. Respon yang membuat Moa bertambah kesal. Wajah Moa segera tertekuk karena kesal. Ingin mengumpati Iqi tapi itu tidak sopan setelah apa yang sudah pria itu lakukan untuknya.
Iqi sadar bahwa gadis di belakangnya pasti sedang bersungut-sungut karena kesal. Ia terkekeh tanpa menghentikan langkah. Sebenarnya dia hanya ingin menggoda gadis yang begitu menggemaskan tersebut. Dia seperti melihat sosok adik yang manja kepada kakaknya. Begitulah Iqi melihat Moa dengan segala tingkah gadis itu.
"Aaaa … !!" teriak Moa ketika menyadari kemana Iqi membawanya. Masih di area times square. Di depan sana, dia melihat penyanyi idolanya. Wajah Tailor Swift terpampang di layar besar. Tanpa sadar, dia sudah berjingkrak-jingkrak. Lagi-lagi Iqi tertawa melihat tingkah kekanakan gadis 17 tahun tersebut. Padalah mereka seusia, tapi Moa sama sekali tidak terlihat sedewasa usianya. Gadis itu justru terlihat seperti anak kecil.
"Suka?" tanya Iqi sembari menoleh ke arah Moa yang masih berbinar menatap seratus meter ke depan. Gadis itu mengangguk tanpa menoleh sedikit pun. Moa meniup poni lurusnya sebelum melangkah kembali. Dia ingin melihat dari dekat, dan ber photo tentu saja. Dia benar-benar senang hari ini. Padahal baru satu lokasi yang dia datangi. Di daftarnya masih ada beberapa tempat lain yang ingin segera ia kunjungi. Tapi sepertinya tidak hari ini. Ia melihat jam yang melingkar di lengan kiri.
Iqi mengulurkan tangan kanan ke depan Moa dengan tatapan datar. Moa mengulum senyum, kemudian mengambil ponsel dan meletakkan di tangan Iqi. Gadis itu mulai berpose. Entah sudah berapa kali ia berpose seharian ini. Moa jadi merasa seperti Model. Mungkin ini yang para model itu rasakan ketika harus berpose di depan kamera. Mencoba mencari spot yang bagus dan menerka pose seperti apa yang akan terlihat menawan. Beberapa kali Iqi mengarahkan Moa. Pria itu terlihat seperti seorang photographer. Moa tertawa, lalu berjalan mendekati Iqi--membuat pria itu mengernyit. Baru beberapa jepretan, dan Moa sudah merasa cukup? tumben … batin Iqi. Tapi ternyata ia salah. Moa mengambil ponsel di tangan Iqi kemudian mengubah arah kamera untuk mengambil photo mereka berdua. Iqi tersenyum ke arah kamera.
"Wah … mereka pasti akan berpikir kita pasangan kekasih setelah ini," ucap Moa lirih, sembari jarinya bergerak cepat mem posting beberapa gambar yang sudah ia pilih.