Setelah hampir 22 jam perjalanan melalui udara dari Jakarta, akhirnya pesawat yang Moa tumpangi mendarat dengan selamat di bandara internasional John F. Kennedy. Moa menghela nafas lega begitu keluar dari pesawat. Kini dia masih harus menunggu koper-koper yang ia bawa. Gadis itu menyibak ujung lengan kiri jaket yang ia kenakan. Waktu pada jam tangan sudah ia atur sesuai waktu di kota tersebut. Dari yang ia tahu, jarak dari bandara JFK menuju ke Manhattan, tempat gedung-gedung NYU bertebaran sekitar 1 jam perjalanan darat. Setelah ini ia harus mencari taxi karena Moa memang masih buta tentang kota New York. Ia tidak punya kenalan yang bisa dihubungi untuk menjemput ke bandara. Gadis itu mendesah. Kedua matanya kembali mengamati koper-koper yang datang, mencari koper-koper miliknya.
"Hai … " Suara yang terdengar tepat di sebelah telinga, membuat Moa berjingkat. Dia sedang serius mencari keberadaan koper-koper dengan nama Moa di atasnya, ketika suara itu terdengar begitu jelas. Moa menoleh, mendapati seseorang yang mulai terlihat familier itu tersenyum lebar. Mata Moa mengerjap 3 kali, dan penampakan itu masih ada. Tepat di sebelahnya. Gerak reflek membawa gadis itu mundur dua langkah, dan naas ketika ia merasakan keras tubuh seseorang. Ia segera berbalik, lalu membungkukan badan berkali-kali sembari mengucap 'sorry'. Seorang pria dewasa yang tak sengaja ia tabrak mengangguk, dan meminta Moa untuk lebih berhati-hati. Moa mengucap terima kasih sembari meringis. Dia benar-benar merasa malu ketika pandangan matanya menyapu sekitar, dan mengetahui bahwa beberapa pasang mata sedang mengamati dirinya. Perlahan ia berbalik, kembali melihat sosok pembawa sial yang membuatnya merasa malu. Pemuda itu justru sedang terkekeh melihat Moa yang menahan amarah. Wajah putih gadis itu sudah memerah.
"Ah … ini dia koperku." Cowok itu mengabaikan wajah merah padam Moa, dan malah sibuk dengan beberapa koper yang mulai ia tarik kemudian susun supaya mudah saat di bawa. Moa terhenyak. Gara-gara marah, ia hampir lupa tujuannya berdiri bermenit-menit di tempat itu. Koper-koper Moa. Sepasang mata gadis itu kembali menyusuri satu per satu koper. Wajahnya langsung sumringah begitu koper dengan label 'MOA' terlihat. Dalam hati Mo terkikik geli mengingat ide sang Mama yang melabeli koper yang ia bawa dengan stiker besar warna kuning bertulis namanya. Kata sang Mama, itu akan memudahkan Moa mendapatkan kopernya, dan memastikan koper-koper itu tidak akan tertukar. Ternyata benar … batin Moa. Ia dengan mudah melihat koper-koper itu. Moa mulai manarik satu persatu koper yang ternyata terasa berat untuk Moa yang memiliki tinggi badan 160 cm, dan berat badan 50 kg.
"Sini … aku bantuin." Koper yang berada di tangan Moa dalam sekejap berpindah tangan. Dengan mudah cowok yang sudah membuat Moa marah itu menyusun ketiga koper ke atas trolly. Moa hanya bisa menganga mengamati kedua tangan yang seperti tidak merasakan berat sedikit pun.
"Sudah … ini." Moa menatap pegangan trolley yang sudah ada di depan mata. Haruskah ia berterima kasih? tapi cowok itu yang sudah membuatnya malu setengah mati. Akan tetapi kalau Moa pikir-pikir lagi, bukan salah cowok itu sebenarnya. Moa saja yang terlalu berpikiran negatif karena belum saling kenal.
"Aku Iqbal. Panggil aja Iqi." Uluran tangan menggantung di depan mata ketika pikiran gadis itu melayang ke mana-mana. Moa mendongak, menatap penuh menyelidik cowok yang 20 cm lebih tinggi darinya.
"Aku bukan orang jahat. Jangan menatapku seperti itu," keluh Iqi saat melihat tatapan gadis yang sudah ia perhatikan sejak di bandara Soekarno Hatta memicing. Gadis itu terlihat jelas menutup diri dari sekitar. Terlihat ketakutan pada orang-orang di sekelilingnya, jika ia tidak salah menebak. Selama beberapa detik Moa hanya menatap mata cowok yang berdiri sambil mengulurkan tangan kanan. Moa menarik nafas panjang sebelum menurunkan tatapan, lalu menyambut uluran tangan tersebut.
"Moa." Hanya sedetik tangan itu tertempel sebelum buru-buru ditarik kembali oleh sang pemilik. Iqi menggelengkan kepala melihat tingkah Moa.
"Kamu sedang berada di negeri orang. Harusnya kamu senang bertemu dengan sesama orang Indonesia. Paling tidak kita bisa berteman selama di sini." Ucapan Iqi membuat Moa berpikir. Benar, dia memang belum punya teman di New York. Tapi bagaimana kalau ternyata dia orang jahat? batin Moa saling bertentangan.
"Aku mau ke Manhattan. Kamu mau ke mana setelah ini?" Kepala Iqi bergerak ke samping. Mengamati wajah Moa yang sedang serius.
"Kok tahu aku mau ke Manhattan?" Kening Iqi langsung mengernyit dalam. Siapa bilang dia tahu gadis yang ternyata bernama Moa seperti stiker di koper itu mau pergi ke Manhattan? dasar aneh … batin Iqi.
"Aku bilang … aku mau ke Manhattan. Bukan aku tahu kalau kamu mau ke Manhattan." Akhirnya Iqi merasa kesal juga dengan tingkah anti pati Moa. Dia hanya berniat ramah pada sesama orang Indonesia yang berada di negeri orang. Tidak ada yang salah dengan hal itu kan?
Mulut Moa menganga. Ternyata dia salah. Tapi kenapa tempat tujuan mereka bisa sama? bukankah itu aneh? Suara decakan Iqi terdengar. Lagi-lagi Iqi masih tidak mengerti apa yang Moa pikirkan.
"Kok bisa sama?" Mulut yang sebelumnya menganga cukup lama itu mengeluarkan suara. "Kamu nggak lagi ngikutin aku, kan?" lanjut Moa. Mata Iqi melotot ke arah Moa. Demi apa dia repot-repot mengikuti cewek aneh di hadapannya. Ingin rasanya Iqi mengetok kepala Moa biar gadis itu sadar dari khayalan. Iqi sedikit membungkuk untuk bisa menyamakan tinggi badan Moa, lalu berucap pelan.
"Moooooo ... aaaa." Suara aneh ketika Iqi justru terdengar seperti sapi yang sedang menolak untuk diperah susunya itu membuat Moa tertawa. Ia dorong kening Iqi ke belakang. Lumayan cepat gerak tangan Moa hingga Iqi harus mendorong kaki ke belakang agar bisa menjaga keseimbangan, atau dia akan menjadi bahan tawa orang-orang di sekitar mereka karena terjatuh. Moa memegang perut kala tawanya tak juga bisa berhenti. Gadis itu meraih pegangan trolley, kemudian mulai mendorongnya menjauh dengan sisa tawa yang sudah mulai berkurang. Melihat itu, Iqi dengan cepat meraih trolly nya sendiri, lalu mendorong mengikuti Moa.
"Hey … Moa … tunggu. Kita bisa sharing ongkos taxi. Tunggu …" Moa menghentikan langkah, kemudian menengok ke belakang. Tidak ada salahnya berbagi ongkos taxi karena tujuan mereka sama. Moa bisa sedikit berhemat. Lagi pula dia sendiri masih sangat buta dengan kota tersebut, dan Iqi sepertinya bisa dia andalkan. Iqi tersenyum sembari menyamai langkah Moa.
"Okey kita bagi ongkos taxi. Lumayan … irit," kata Moa sebelum kembali melangkah. Iqi hanya menggelang mengikuti langkah kaki yang tidak selebar langkahnya tersebut.
"Aku tebak ini pasti pertama kalinya kamu ke tempat ini, kan?" tanya Iqi sembari melirik gadis di sampingnya yang terlihat mengangguk.
"Itu sebabnya kamu terlihat anti pati dengan orang asing," gumam Iqi yang masih bisa di dengar Moa.
"Jaman sekarang banyak orang jahat yang berpura-pura baik." Iqi langsung berdecak mendengar ucapan Moa. Dia merasa tidak terima disangka orang jahat oleh gadis itu. Padahal dari awal niatnya baik.
"Apa wajahku terlihat seperti orang jahat?" Iqi mendekatkan wajah ke hadapan Moa. Gadis itu berdecak.
"Kamu pikir para pencopet di bus, atau angkot itu berwajah sangar?" Moa mencebik. "Justru sebaliknya, mereka terlihat bersih, rapi, senyum manis, tapi ternyata … " Moa menggelengkan kepala. "Pen-co-pet," lanjut Moa dengan penekanan. Iqi menghela nafas. Memang benar apa yang Moa katakan. Jadi dia tidak bisa menyalahkan Moa sepenuhnya. Hanya saja dia tetap merasa tidak terima. Bagaimana bisa wajahnya disamakan dengan para pencopet itu. Bukankah wajah seorang terpelajar itu bisa jelas terlihat. Oh ayolah … Iqbal Akbar selama 3 tahun menjadi 3 besar idola di sekolahnya. Juara olympiade matematika, jago fussal, renang.
"Hei … kita naik taxi itu?" dorongan di bahu membuat Iqi tersadar dari lamunan. Moa mengedikkan dagu ke arah taxi kuning tak jauh dari tempat mereka berdiri. Iqi mengangguk.
"Tunggu di sini sebentar," pamit Iqi sembari menggeser trolly yang semula ia pegang berjajar dengan trolly yang Moa bawa. Cowok itu berjalan menjauh untuk mendapatkan taxi.
Moa sadar ia sudah salah menilai Iqbal. Cowok itu bukan orang jahat. Ia hanya terlalu takut salah mengenal orang. Lihatlah cowok itu yang sedang sibuk menata koper miliknya ke bagasi taxi. Kemudian menyingkirkan trolly yang mengangkut koper-koper mereka dari dalam bandara, sementara Moa sudah duduk manis di dalam taxi. Ia memasang wajah tersenyum ketika Iqi masuk ke pintu samping pengemudi, sedang dia sendiri duduk di kursi penumpang.
Satu jam, akhirnya Moa sampai di tempat tujuannya. Di depan sana flat yang akan ia tempati selama masa 4 tahun kuliah di NYU. Moa turun dari taxi, dibantu Iqi menurunkan kembali koper miliknya dari dalam bagasi. Dari perbincangan dengan Iqi selama di perjalanan, cowok itu tinggal di appartment tidak jauh dari Flat tempat tinggal Moa.
"Butuh bantuan buat bawa ke dalam?" tanya Iqi. Tentu saja iya. Moa pasti akan kesulitan membawa ketiga koper besar itu ke lantai 6 tempat kamarnya berada. Tapi ia juga tidak ingin merepotkan Iqi lebih banyak lagi. Hingga akhirnya justru gelengan kepala yang Moa tunjukkan.
"Tenang aja, teman sekamarku akan membantuku. Udah sana … kasihan tuh sopir taxi nya nungguin." Iqi mengangguk.
"Ok deh. See you Moooo … aaaa … "canda Iqi yang langsung mendapat pukulan ringan di lengannya. Mereka tertawa sebelum akhirnya cowok berlari kembali ke Taxi. Masuk ke dalam taxi, lalu kendaraan berwarna kuning itu melesat.
***
Moa menekan berkali-kali bel pintu flat bernomor 33A-1 di hadapannya. Untung saja ada satpam flat yang membantunya membawa kopor-kopor besar itu, kalau tidak mungkin Mo akan menangis di bawah sana. Ia semakin kesal kala pintu flat masih tidak terbuka. Nomor ponsel Joan, yang ia tahu akan menjadi teman satu flat nya tersebut tidak aktif. Moa menghentak-hentak kaki sembari kembali menekan bel pintu. Gadis itu menghela nafas lega begitu mendengar bunyi 'klik' dari dalam. Tandanya sebentar lagi pintu di hadapannya akan segera terbuka. Moa berdehem, membersihkan kerongkongan serta memasang senyum semanis mungkin untuk memberi kesan pertama yang baik pada teman satu flatnya.
Mata yang tidak terlalu lebar itu dipaksa pemiliknya terbuka secara berlebihan. Senyum yang sudah terpatri indah surut seketika berganti nganga lebar melihat penampakan di hadapannya. Dada kekar dengan bulu-bulu halus tepat berada di depan mata perawannya. Entah berapa lama Moa hanya menganga sebelum tersadar kemungkinan ia salah mengetuk pintu kamar.