"Kak Charles," panggil Michelle ketika lelaki muda itu sedang duduk sambil menikmati kopi di teras belakang rumah keluarga Charles.
Lelaki yang dipanggil namanya itupun menoleh. Tersenyum pada gadis muda yang berdiri di ambang pintu dengan senyum manisnya.
"Ada apa Michi? Sini duduk dengan kakak," ucapnya memanggil gadis itu dengan nama kesayangannya.
Michelle pun mendekat kemudian duduk di sebelah Charles. Ia mengambil bantal di sofa kemudian memeluknya sambil menatap Charles dengan raut yang sulit diartikan.
"Kenapa? Ada apa?" tanya Charles. "Ekspresimu itu sungguh tidak dapat aku mengerti, Michi."
"Hum, aku hanya memikirkan beberapa hal. Terutama tentang Kak Andra dan istrinya."
Andra dan Asha. Tentu saja dua nama itu benar-benar menganggu Charles dan pikirannya. Keengganan untuk mengakui status mereka. Bahkan kekecewaan karena Andra bukannya semakin sakit malah bertambah sehat. Mungkin Charles akan dianggap sebagai adik durhaka karena tidak mendoakan kebaikan untuk saudaranya. Tapi bagi Charles, ketiadaan Andra adalah kesempatan baginya untuk dilihat sebagai sosok lain tanpa bayang-bayang saudaranya.
"Kenapa lagi dengan dua orang itu? Kamu terganggu dengan kehadiran mereka di rumah ini?"
Micheelle mengangguk, "Tentu saja. Aku tidak terganggu dengan Kak Andra. Bagaimanapun dia adalah saudaraku dan juga putra sulung di keluarga ini. Aku hanya tidak menyukai Kak Asha. Dia terlalu, yah begitulah," ujar Michelle.
Charles tersenyum miring. Sudah tahu apa yang dimaksud oleh Michelle.
"Kamu tidak suka karena dia…" Charles tidak melanjutkan ucapannya namun Michelle langsung menjawab dengan anggukan seolah dia tahu apa yang lelaki itu maksud.
"Ya. Karena dia memang tidak pantas di sini," sahut perempuan itu. "Hanya karena dia sudah mendonorkan ginjalnya pada Kak Andra. Lalu dia dianggap sebagai pahlawan di sini. Sungguh! Keadaan ini sangat menggangguku."
Charles menatap Michelle yang terlihat sangat kesal. Wajah muda menggemaskan itu tidak dapat membuat Charles marah sedikitpun. Meski terkadang sikapnya keterlaluan, Michelle di mata Charles masih muda dan dapat dimaafkan apapun yang dilakukan. Dan untuk rasa bencinya pada Andra dan Asha, Charles setuju. Sebab Charles pun sama tidak menyukai keduanya.
"Bagaimanapun, aku tidak akan menerima Asha di keluarga kita. Dia hanya dokter yang menjalankan tugasnya yang beruntung saja masuk menjadi bagian keluarga kita," ucap Michelle. "Dia hanya akan menjadi orang saing bagiku."
Charles tertawa kecil. "Jaga bicaramu. Jangan keras-keras. Nanti mama mendengarnya," peringat Charles pada Michelle. Bagaimanapun mama adalah pendukung utama Asha dan Andra. Mereka harus berhati-hati supaya tidak menyinggung mama atau membuat mama jadi berfikir yang tidak-tidak pada keduanya.
"Hem, itu yang tidak kusukai lagi dari Kak Asha. Dia satu-satunya yang disukai oleh Mama Renata dan satu-satunya yang diakui sebagai menantu di keluarga ini. Padahal—"
"Apapun yang terjadi, mama hanya melihat Asha seorang. Jadi kita harus menjaga perasaan mama. Kamu mengerti?"
Michelle mendengus kemudian mengangguk meski terpaksa.
***
Di tempat lain. Di sebuah ruangan dengan cahaya remang nan romantis. Sepasang suami istri asik menikmati makan malam di dekat teras kamar. ditemani cahaya lilin yang menyala di tengah meja menemani makan malam indah mereka, sepasang suami istri itu tidak pernah melunturkan senyuman yang ada di wajah masing-masing.
Asha menyuapkan potongan daging ke dalam mulutnya. Mengunyah pelan sambil menatap suaminya yang mengamatinya sejak tadi.
"Kamu kenapa sayang? Ada yang salah dengan cara makanku?"
Andra menggeleng. Ia tersenyum kemudian menyuapkan sepotong daging panggang ke dalam mulutnya dan mengunyah dengan santai.
"Tidak ada. Kamu makan dengan baik dan sangat manis."
Seketika Asha tertawa kecil. "Aku manis? Apakah kamu sedang menggoda istrimu, Pak Andra?"
Andra ikut tertawa kemudian meneguk air mineral yang ada di dekatnya. "Bukan begitu sayang. Aku hanya berkata sejujurnya. Kamu memang manis."
"Manis? Baru kali ini kamu mengatakan demikian. Apa karena—"
"Tidak," potong Andra kemudian tertawa. "Jika yang kamu maksud adalah mengenai apa yang sudah kita lakukan seharian, aku akan menjawab tidak. Bukan tentang itu."
"Jika bukan tentang itu lalu tentang apa?" balas Asha.
"Ini tentang. Yah, sejujurnya kamu memang manis. Seharian ini kamu bertingkah manis. Mengingatkanku pada dirimu ketika remaja dulu."
"Jadi aku dulu manis? Sungguh?"
Andra mengangguk meyakinkan. "Kamu dulu sangat manis. Terlalu manis hingga aku tidak tega untuk merusak hubungan persahabatan kita dan memilih memendam perasaan sendiri."
"Kamu pikir aku tidak merasakan hal yang sama?" ucap Asha. "Aku juga memikirkan kita sehingga memilih untuk melupakan perasaan itu dan fokus pada tujuan utamaku menjadi dokter."
"Dan kamu berhasil meraihnya bukan? Cita-cita yang selalu kamu banggakan. Yang kamu selalu ucapkan setiap kali kamu diberi pertanyaan mengenai cita-cita dan tujuan masa depan. Bagaimana kamu berusaha dan belajar giat. Kamu yang rajin mengikuti organisasi dan lomba yang kemungkinan besar menunjang penerimaanmu nanti."
Asha mengangguk membenarkan. Mengingat masa remajanya yang penuh ambisi sehingga ia mengesampingkan urusan hatinya, kini Asha dapatkan keduanya meskipun membutuhkan waktu yang sangat lama.
"Iya. Aku dulu karena berfikir bahwa kemungkinan kita tidak bisa bersama, memilih untuk menekuni usahaku masuk kedokteran. Dan kamu yang aku tahu, rupanya juga mengejar tujuan utamamu menjadi CEO muda. Dan yah, ternyata benar kamu bisa sampai ke titik ini. Menjadi pimpinan perusahaan besar seperti impianmu."
Andra tersenyum. "Sesungguhnya aku tidak menyukai kenyataan itu."
"Kenapa? Bukankah tujuanmu adalah menjadi dirimu yang sekarang?" tanya Asha.
Andra menggeleng pendek. Ia mengambil tangan Asha yang ada di atas meja kemudian mengenggamnya lembut. Lelaki itu menatap mata Asha sendu dengan senyum lembutnya.
"Aku tidak suka pada diriku yang lama karena dia terlalu pengecut. Ia takut untuk berjuang sehingga memilih untuk mengabaikan perasaannya yang begitu besar. Dia hampir melupakan harapan itu ketika akhirnya berpisah. Tapi, Tuhan Yang Maha Besar memberinya kesempatan kedua. Mendatangkan perempuan itu lagi dalam hidupnya dan membuatnya berjuang lebih keras dari sebelumnya," ujar Andra menceritakan dirinya sendiri. "Aku cinta kamu. Katakan jika ini terlalu membual atau terlalu memuakkan. Tapi aku memang cinta padamu. Aku senang akhirnya bisa bersamamu. Menjadi suamimu secara sah."
Asha balas tersenyum. Ia menggenggam tangan Andra dengan kuat namun lembut.
"Aku juga salah karena tidak berusaha menunjukan perasaanku. Semua sudah berlalu dan sekarang adalah lembaran baru hidup kita," balas Asha. "Andra, aku tidak pernah meminta banyak darimu. Mari kita berbahagia bersama."
"Iya, sayang. Aku berharap kita bisa bahagia bersama," lelaki itu tersenyum begitu hangat kemudian berdiri dan menarik Asha ikut berdiri bersamanya. Andra menatap mata Asha. Tersenyum pada istrinya kemudian menarik perempuan cantik itu dalam pelukannya.
Ada perasaan lega. Ada perasaan hangat sekaligus bahagia ketika raga Andra bisa sedekat ini dengan Asha.
"Dunia ini memang penuh teka-teki, Sha. Tidak ada yang pasti. Ketika kita menyerah, terkadang Tuhan malah mendatangkan kita sesuatu yang membuat kita kebali bangkit. Ketika kita ingin meninggalkan, Tuhan kirimakan alasan kita untuk bertahan. Denganmu, aku memiliki keduanya. alasanku untuk bangkit dan bertahan. Bersamamu, aku ingin membuat banyak kenangan tak terlupakan. Merajut banyak kisah bahagia yang selama ini terlupa karena terlalu sibuk dengan hal lainnya," batin Andra sambil memeluk Asha dengan lembut namun erat. "Bertahanlah, Sha. Bertahan demi kita berdua. Sebab mungkin akan ada badai yang menghantam kita berdua di depan sana."
[]