Dokter Kafa memeriksa keadaan sahabatnya yaitu dokter Asha. Pasca operasi kedua, dokter Asha di rawat di ruang VIP yang ada di lantai empat. Dokter cantik itu mengalami keadaan tak terduga sehingga harus menjalani operasi kedua setelah operasi donor ginjal untuk Andra. Beberapa hari terakhir, dokter dan perawat bergantian memeriksa kondisi Asha. Selain karena dia adalah salah satu dokter yang ada di sana, dokter Asha juga merupakan teman baik dan dokter yang cukup terkenal di sana. Wajar saja jika banyak pekerja di rumah sakit yang berdatangan menjenguk atau bahkan menemaninya selama ia sakit.
"Bagaimana keadaanmu? Apakah masih merasakan nyeri? Atau bahkan sakit?" tanya dokter Kafa sambil memeriksa cairan infus yang terpasang.
"Aku sudah merasa lebih baik, Dok. Jangan khawatir," balas Asha dengan lembut dan wajah yang masih terlihat agak pucat.
"Setelah operasi kedua aku pikir penyembuhannya perlu waktu yang sedikit lebih lama. Mungkin enam sampai delapan minggu," kata dokter Kafa dengan senyum kecil.
Asha tampak menghela nafas dengan pelan. Terlihat kecewa namun pasrah karena tidak dapat melakukan apa-apa. "Aku tahu. Pasti akan seperti ini. Rasanya sedih karena harus berbaring seperti ini di ranjang rumah sakit. Tapi aku tahu bahwa memang ini yang harus aku lakukan supaya segera pulih."
"Kamu pasti akan segera sembuh. Setelah ini semua akan kembali normal dan kamu bisa kembali berkutat dengan pisau bedah seperti biasa," ucap dokter Kafa menghibur.
"Enam sampai delapan minggu itu cukup lama. Tapi sudahlah, aku hanya berharap supaya aku bisa segera sembuh."
Dokter Kafa tersenyum menyadari perasaan kecewa Asha. Ia lantas menarik kursi yang ada di dekat nakas dan duduk di sebelah tempat tidur Asha.
"Kamu pasti akan segera sembuh. Tenang saja," hibur dokter Kafa. "Dokter Ilyas sudah memberikan saran obat-obatan terbaik untuk mendukung kesembuhanmu. Dokter Panca juga sudah melakukan yang terbaik supaya operasimu tidak meninggalkan luka yang terlalu jelas."
"Aku tidak masalah dengan bekas operasinya. Anggap saja itu sebagai kenang-kenangan," balas Asha dengan senyum kecil.
Dokter Kafa menatap Asha dengan tatapan kagum. Ia heran kenapa Asha mau sampai berbuat sejauh itu untuk orang yang bahkan belum melihatnya secara langsung selama sepuluh tahun. Mungkin saja Andra melupakannya. Mungkin saja Andra sudah memiliki kehidupan sendiri dan melupakan Asha.
Perasaan tulus Asha dan mungkin saja cinta yang masih ia miliki sekalipun sedikit, sepertinya menuntun Asha untuk berkorban demi Andra. Dokter Kafa hanya khawatir akan satu hal. Bahwa Asha mungkin saja akan sakit hati jika sampai Andra rupanya sudah memiliki perempuan lain.
"Sha, boleh aku tanya sesuatu?" tanya dokter Kafa.
"Boleh, tanyakan saja," jawab Asha.
"Kamu tidak menyesal sudah berkorban sejauh ini? Apa kamu tidak takut terlukai oleh fakta bahwa mungkin saja dia melupakanmu?"
Asha tersenyum saja, "Tidak. Aku berkorban hanya ingin menolongnya. Dia pernah berjanji bahwa dia tidak akan menjadi pasienku. Dan ketika dia rupanya menjadi pasien di sini, aku tidak bisa untuk tidak membantunya. Aku merasa harus menyelamatkannya. Itu saja. Dan aku tidak mengharapkan hal lainnya."
Dokter Kafa tersenyum dan mengangguk mengerti, "Aku bisa memahaminya. Kalau kamu sudah berkata seperti ini aku menjadi lega."
"Memangnya apa yang kamu khawatirkan? Jangan mengada-ada. Dan jangan berpikir yang tidak-tidak. Lebih baik sekarang kamu kembali untuk bersiap membantu dokter Panca melakukan operasi."
Dokter Kafa tertawa pendek, "Aku di usir?"
"Tentu saja. Ini karena aku adalah pasien dan aku perlu istirahat," balas Asha lalu tertawa kecil.
"Baiklah. Aku memang harus pergi," balas dokter Kafa kemudian beranjak. "Aku akan kembali lagi nanti setelah operasi selesai. Mungkin menumpang istirahat di sini."
"Ya, silahkan saja. Sekarang pergilah, Dok. Laksanakan tugasmu."
"Iya, aku pergi. Jaga diri baik-baik. Kalau perlu sesuatu silahkan menghubungiku. Atau kamu tinggal menekan tombol darurat. Kamu mengerti?"
"Tentu saja," balas Asha.
Dokter Kafa tersenyum kemudian berjalan ke pintu. Asha masih melihat dokter Kafa hingga ia menutup pintu ruangan. Setelah dokter Kafa menghilang di balik pintu, Asha memejamkan matanya lantas menarik selimut sebatas dada.
Baru beberapa saat memejamkan matanya hendak beristirahat. Suara ketukan mengganggunya. Asha bahkan malas untuk membuka mata sebab ia yakin bahwa itu adalah perbuatan iseng dokter Kafa.
"Dokter masuk saja. Tidak perlu mengetuk pintu dan mengangguku," ucap Asha dengan malas.
Pintu pun terbuka dan suara roda berputar pelan pun memaksanya membuka mata. Asha melihat ke arah pintu dan matanya langsung terbuka lebar melihat siapa yang datang berkunjung.
"Andra?"
Lelaki itu tersenyum manis. Meski wajahnya masih sedikit pucat, namun wajahnya tetap cerah seperti yang selalu Asha ingat.
"Asha, kamu rupanya?" ucap Andra yang kemudian mengisyaratkan pada mamanya untuk mendorong kursinya lebih dekat dengan Asha.
"Kamu bagaimana bisa tahu kalau aku ada di sini?" tanya Asha yang merasa cukup terkejut dengan kehadiran Andra yang tak teduga.
"Tante yang memberitahu Andra," kata Bu Renata menjawab mewakili putranya. "Tante penasaran dengan orang baik yang sudah memberikan donor pada Andra dan dokter Panca memberitahukan bahwa rupanya salah satu dokter di sini yang melakukannya. Tante kemudian bertanya lagi padanya dan dia mengantarkan tante ke sini. Waktu itu kamu masih dalam kondisi yang tidak stabil dan ia melarang tante datang menjenguk. Sekarang setelah kamu sudah lebih baik, tante mengajak Andra ke sini."
"Begitu rupanya. Aku sebelumnya meminta maaf karena melakukannya tanpa memberitahu tante."
"Tidak apa, Nak. Tante yang berhutang budi padamu. Saat semua orang bahkan keluarga Andra sendiri menolak memberikan ginjalnya untuk menyelamatkan nyawa Andra, kamu tanpa berpikir panjang bahkan tanpa basa-basi sudah melakukannya. Tante benar-benar berterima kasih padamu, Nak."
"Tante jangan seperti itu. Ini hanya bantuan kecil."
"Bantuan kecil apa? Ini bantuan yang tak ternilai," ucap Andra. "Bahkan adikku sendiri menolak menyelamatkanku. Aku tidak percaya ketika mama bercerita bahwa Charles menolak melakukannya. Mama juga berkata bahwa dia sudah melakukan segala cara untuk menemukan donor namun hasilnya nihil. Dan saat terakhir, rupanya ada orang baik yang melakukan dan tanpa diduga itu adalah kamu."
Andra tersenyum sambil menatap Asha. Ada keteduhan, kelegaan, juga kebahagiaan di sana. Ada sebuah tatapan yang Asha tidak tahu apa artinya. Yang jelas Andra tampak lebih baik sekarang.
"Aku berfikir cukup lama dan begitu penasaran. Aku sangat ingin tahu siapa orang baik yang menolongku. Dan aku tidak menyangka bahwa kamu rupanya. Dari hatiku yang paling dalam, aku mengucapkan terima kasih. Asha, terima kasih karena sudah menolongku. Aku berhutang nyawa padamu."
Asha menggeleng pelan. "Tidak, itu terlalu berlebihan," ucap Asha. "Ini hanya pertolongan sebagai sesama manusia. Jangan berlebihan."
"Aku tahu. Aku mengerti bahwa kamu akan melakukannya sekalipun itu bukan aku. Tapi, aku benar-benar merasa bahwa aku tetap berhutang nyawa padamu."
Asha tidak bisa menerima pemikiran Andra. Tapi ia pun enggan untuk berdebat dengannya dalam keadaan seperti ini. Jadi, dia memilih diam tanpa membalas.
"Kamu harus sembuh, Sha. Aku ingin sekali bertemu denganmu dalam keadaan yang lebih baik," ucap Andra.
"Kamu juga. Kamu harus segera sembuh karena aku perlu membuat perhitungan denganmu."
"Perhitungan denganku? Kenapa?"
"Karena kamu sudah melanggar janjimu sendiri. Dan aku kecewa padamu."
[]