-Cinta itu hanya permainan kata yang diperankan hati dan perempuan. Dan aku, lelaki yang memainkannya-
***
Raisa merasakan dunianya berhenti ketika membaca pesan masuk. Seharusnya dia tahu, mendapatkan sesuatu pasti ada sesuatu yang harus diberikannya juga. Meski ada yang bilang, membantu itu harus ikhlas tanpa pamrih. Tapi nyatanya, dia harus membalas jasa yang menolongnya. Memberikan ID Line sama saja memberikan separuh harinya. Separuh hari yang bakalan terbagi dengan hal baru. Antara cewek dan cowok jika sudah berkomunikasi tentulah menjurus ke suatu hubungan dan Raisa hanya menyukai sebatas pertemanan.
Raisa menggeleng ketika sadar telah berpikiran yang tidak-tidak.
"Lo kenapa sih? Pusing?" tanya Bela menutup ponselnya, beralih pada Raisa yang terlihat tidak seperti biasa.
"Eh, enggak kok," kilahnya, "yang ada lo kenapa, muka lo kok bete," alihnya. Kinta menyahut di depan meja mereka.
"Biasa habis putus."
"Syukur deh kalau putus, gue nggak harus lihat kelebayan buaya itu," timpal Arifah, secetak senyum mengembang di bibir Bela.
"Ya-ya, kalian memang benar gue oon kalau masih ngasih kesempatan sama buaya darat itu. Tapi gue bisa apa? Hati gue masih belum move on." Bela menekuk wajahnya. 'Dari dia bukan dia.'
Biasanya Raisa akan memberi kata-kata nasehat, kutipan qoute dari Tere Liye ataupun Om Mario Teguh. Tapi kali ini perhatiannya tertuju pada ponsel yang bergetar dengan pertanda ada pesan masuk.
'Lima menit lagi tanding, lo ke sini atau gue jemput.'
"Lo kenapa sih?" Bela menyenggol sikunya. Kinta dan Arifah pun meminta penjelasan. Tidak biasanya Raisa sibuk dengan ponsel ketika mereka mengobrol.
"Ah, yasudahlah. Kita ke lapangan yuk, kan bentar lagi mereka tanding basket. Untung kan bu Jasmine nggak masuk kita bisa lihat Ridho tanding. Eh, gue jagoin tim lawan aja ah, mereka cogan semua sih." Kinta bangkit mengajak mereka segera ke lapangan.
"Eh, iya kan hari ini mereka tanding, gue kok lupa, ya." Arifah kalang kabut mengambil cermin untuk berkaca.
"Udah cantik kok, yuk!"
"Loh nggak mau pergi?" tanya Bela ketika Raisa masih dengan posisi duduk.
"Kalian aja, gue nggak suka basket."
"Oh iya, kalau sepak bola baru lo. Yaudah lo baik-baik ya di sini. Bye!" Kinta segera menyeret kedua temannya agar cepat keluar karena takut tidak kebagian tempat pertama.
'Sorry, gue nggak bisa ke lapangan, ada tugas.'
Setengah tak percaya diri dia mengirimkan balasan.
'DIHARAPKAN SEMUANYA KE LAPANGAN UNTUK MENDUKUNG TIM BASKET KITA!'
Raisa terkejut mendengar pengumuman audio speacker, itu tandanya semua kelas tidak belajar. Hal langka yang terjadi, pasti ini bukan tandingan biasa saja.
'Lo datang atau gue jemput?'
Raisa menutup ponselnya gusar, dia tidak suka ada yang mengaturnya. Tipikal cowok yang dibenci adalah mereka yang bersikap protektif. Apalagi mereka belum berkenalan secara formal.
'Makasih ya udah ngebantu gue tadi tapi sorry gue enggak suka basket.'
Dia bangkit menuju perpus namun langkahnya dicegat oleh Joey, mantan Bela yang terkenal buaya darat, playboy kakap anak IPS 2.
"Lo mau ke mana?" tanya Joey menautkan alis, kedua temannya menyeringai.
"Apa urusan lo sih?" Raisa menepis tangan Pipin yang menghalanginya. Raisa sejak dulu memang mewanti Bela agar tidak berhubungan dengan cowok seperti Joey, dia merasakan energi negatif tiap kali berdekatan dengan Joey.
"Lo udah dengar kan dari Bela kalau gue sama dia udah end, gue pengen lo jadi pacar gue!"
Raisa menatap mereka datar, menunggu kelanjutan omong kosong dari playboy itu.
"Udah?"
Lorong koridor menuju perpus memang sepi karena semua sudah merapat ke lapangan. Jika dia berteriak mungkin tidak akan ada yang menolongnya tapi tanpa disadari dari arah belakang datang cowok berkacamata dengan tampilan rapi.
"Raisa, lo kenapa di sini, bukannya lo mau ke perpus? Eh, Joey, kalian mau ke perpus juga?"
Sapaan Atha dengan senyum mengembang mengalihkan perhatian mereka. Ketua OSIS yang terkenal dengan nilai akademik tinggi itu menatap mereka dingin, dia bukan tipikal yang suka mengertak orang, cukup dengan satu kalimatnya saja siswa yang bandel akan ciut. Termasuk Joey meski terkenal dengan segala kenakalan tapi setiap bertemu dengan Atha, mereka akan memilih menjauh.
"Eh, gue haus nih, ke kantin yuk!" ajak Joey pada kedua temannya, "Raisa gue tunggu jawaban lo!" ucapnya sebelum berlalu.
Raisa mengembuskan napas kasar, menoleh pada Atha yang selama ini sering dilihatnya di pojok perpus. Hanya dua kali Atha pernah berbicara dengannya itu pun hanya bukan hal penting.
"Lo mau ke perpus?" Atha membuka keheningan. Raisa mengangguk, suasana hatinya sedang tidak baik. Dia berjalan terlebih dulu diikuti Atha di belakang.
Raisa langsung mengambil buku bacaan dan duduk di bangku samping jendela. Dia seakan lupa bahwa Atha juga masuk ke perpus, makanya dia sama sekali tidak menyadari Atha yang sedari tadi memerhatikannya dengan duduk di bangku depannya.
Raisa terus memahami isi buku berjumlah 300 halaman lebih itu. Mencerna tentang pola pikir manusia. Dia suka membaca hal berbau physcology.
'Lo beneran nggak dateng? Okey, jangan salahin gue ya kalau gue samperin elo nanti!'
Pesan masuk kembali menganggunya.
"Lo kenapa?"
"Eh?" Raisa terperangah, jika saja Atha tidak menangkap ponselnya mungkin sudah menjadi kepingan terpanting ke lantai.
"Lo kapan di sini?"
Bukannya menjawab, Atha malah tertawa melihat ekspresi Raisa yang selama ini diam-diam sering diperhatikannya.
"Gue udah masuk bersama-''
"Yak, apa sih maunya!"
Raisa memotong pernyataan Atha yang kini menatapnya bingung. Raisa berdiri, memasukkan ponselnya dalam saku. Mengambil buku bersampul biru tadi menaruhnya kembali pada tempat asal. Berpamitan pada Atha lantas segera keluar perpustakaan.
Langkahnya terhenti di ujung tangga terakhir. Suara penonton dekat lapangan begitu riuh. Teriakan para cewek melengking nama jagoan mereka.
Ridho.
Yuda.
Raisa memfokuskan matanya mencari keberadaan Yuda, cowok pemaksa yang mengganggu harinya. Pandangannya menyapu ke tengah lapangan, di mana orang yang dia cari kini tengah menatap ke arahnya dengan senyum mengembang sambil memegang bola orange.
Menyesal. Satu kata itu kini tengah menyelimuti Raisa. Bagaimana tidak, seharusnya dia tidak menggerakkan langkahnya ke sini. Mengundang perhatian semua mata yang kini menatapnya penuh tanda tanya. Dia kaku pada tempatnya berdiri, seakan menunggu cowok tinggi berwajah tampan itu menuju ke arahnya, memegang tangannya lembut sambil menariknya pelan ke tengah lapangan. Tubuhnya seolah dikendalikan dari luar. Ada apa dengannya membiarkan cowok tak dikenal itu mengontrol jiwanya.
"Perkenalkan dia cewek gue!"
Sorakan kecewa bercampur kaget menyadarkan kebekuan Raisa yang kini menatap Yuda dengan penuh tanda tanya. Yuda membalasnya dengan senyum manis, siapa saja yang melihat senyum itu pasti akan merasakan susah tidur tujuh hari tujuh malam. Jujur, Raisa juga telah terpesona dengan senyum tersebut tapi alam kesadarannya kini telah terjaga, dia menepis tangan Yuda dengan setengah menghentak.