Chereads / My Boy (Rasa Untuk Raisa) / Chapter 7 - BAB 7

Chapter 7 - BAB 7

Raisa mengerutkan keningnya. "Maksud lo apaan? Nanya keadaan lo kapan?"

Giliran Yuda yang menautkan alis bingung, "ah lo mah masih aja malu-malu. Enggak apa-apa sih singkat SMSnya tapi intinya kan lo khawatir," jelas Yuda semakin membuat Raisa bingung.

"Tunggu deh," Raisa berdiri setelah meletakkan semua snack, rencana untuk sarapan pagi hilang begitu saja ketika mood -nya berubah mendapati Yuda di rumahnya tanpa diduga. Memang benar dia tadi malam mengawatirkan keadaan Yuda tapi tidak sampai mengirimnya pesan.

"Gue enggak ngirim apa-apa deh sama lo." Raisa berpikir sejenak mengingat di mana ponselnya yang ternyata masih belum dilepas untuk pengisian daya.

"Ah, itu pasti ulah abang tadi malam. Abang!" Raisa segera berlari menuju rumahnya meningalkan Yuda yang tersenyum geli melihat tingkah kekanak-kanakan Raisa, berbanding balik dengan kejudesannya.

Raisa menarik badan Fairuz yang tengah mencari sesuatu dalam pendingin es.

"Kenapa bang, handphonenya bunyi?" tanya Raisa menaruh kotak P3K di samping Fairuz untuk mengobatinya.

"Enggak ini udah mati, dicas dulu sana!" jawab Fairuz. Raisa mengambil ponselnya untuk dicas di kamar lantas kembali lagi ke ruang tamu tanpa tahu seulas senyum terukir di bibir Fairuz saat dia menaiki tangga.

"Abang kenapa ngirim pesan buat Yuda? Terus kenapa dia ke sini bukannya abang bilang tadi malam buat enggak ngedekati Raisa lagi? Abang enggak takut apa preman seperti dia masuk ke rumah? Ah, abang pokoknya harus bilang sama dia kalau bukan Raisa yang ngirim tapi abang. Iya, kan?"          Fairuz menarik kursi masih terkekeh dengan sikap Raisa yang mondar-mandir di meja makan.

"Aww!" Raisa meringis ketika dahinya membentur badan seseorang. Dia menengadah mendapati Yuda yang tengah terseyum padanya.

"Ganteng gini dibilang preman, jahat kamu ah!" Yuda mencubit hidung Raisa lantas menarik kursi menerima sodoran air dari Fairuz.

"Lho-lho kenapa masih di sini?"

"Enggak baik mengusir tamu, adikku," kata Fairus menghentikan Raisa menarik paksa Yuda untuk bangkit dari kursinya.

"Maaf," ucapnya pelan melepaskan tangannya. "Gue enggak kirim itu, perlu lo tau," lanjutnya menatap Fairuz.

"Iya-iya, abang mengaku bersalah. Tapi dia ke sini bukan karena abang, iya kan?" Yuda mengangguk membenarkan pernyataan Fairuz.

"Yaudah mending kalian mengobrol dulu, aku mau mandi jemput Kak Clara katanya udah sampai di bandara. Memang ya calon kakak iparmu itu susah ditebak. Hati-hati jangan patah hati," cerocos Fairuz berlalu dari dapur meninggalkan keduanya.

"Lo nggak mau tawar gue apa kek, laper nih. Pagi-pagi ke rumah lo eh tau-taunya malah diajak latihan karate," ujar Yuda mengelus perutnya yang keroncongan.

"Jawab gue jangan ngalihin pembicaraan!" Raisa menarik kursi duduk berhadapan dengan Yuda.

"Kenapa lo ke sini?"

"Kan sudah aku bilang buat ketemu sama kamu, biar kamu enggak khawatir tentang kondisiku."

"Aduh, kenapa sekarang pakek aku-kamu sih. Cepat jawab!"

"Kita kan kekasih sudah sepantasnya manggil aku-kamu masa elo-gue, enggak ada manis-manisnya gitu. Eh, kalau mau sayang juga boleh sih biar lebih romantis." Raisa mengacak rambutnya frustasi, entah doa apa yang sudah dipanjatkan sehingga muncul lelaki seperti Yuda.

"Jawab gue!" tegas Raisa lagi membuat decakan dari mulut Yuda.

"Aku udah jawab."

"Terus kenapa abang ngizinin lo masuk! Bukannya abang bilang—''

"Ya, sebagai abang yang menjaga adiknya, aku bisa maklumin dia melakukan seperti itu. Untung aku enggak mempan dengan ancaman itu. Aku ke sini mau memerjuangin cinta kita, dan abangmu akhirnya setuju kalau aku masih bisa jadi pacarmu." Raisa diam menatap datar ke arah Yuda yang memasang wajah bahagia, jelas sekali kalau itu dibuat-buat.

"Darimana lo dapat alamat rumah gue?"

"Itu enteng, peta ada," jawab Yuda mengedipkan mata.

Raisa mendengus kesal lantas bangkit membuka laci mengambil roti untuk dihidangkan pada Yuda tanpa berkata apa-apa meski Yuda mencoba mengajaknya berbicara. Raisa mengambil pulpen dan menulis di memo kuning lantas disodorkan pada Yuda.

-Makan dan enggak usah banyak ngomong. Tinggalin aja piring di wastafel.-

Raisa keluar dari dapur menuju kamarnya, mengabaikan teriakan Yuda yang menyuruhnya berganti pakaian karena mereka akan pergi jalan-jalan sebentar lagi.

-Aku bisa memahami semua terjemahan bahasa asing tapi tidak dengan bahasa matamu yang sulit untuk diterjemahkan-

***

"Lo ngapain ke kamar gue?" tanya Raisa dengan melotot ketika mendapati Yuda berdiri di depan kamarnya.

"Abang!" Raisa mengetuk kamar Fairuz yang terletak tidak jauh dari kamarnya.

"Abang Fairuz udah keluar sejam lalu. Kamu sih lama banget di kamar. Kok belum ganti baju?'' Bukannya menjawab, Raisa malah berlalu masuk ke kamarnya, begitu juga dengan Yuda yang mengikutinya di belakang.

"Lho-lho ngapain masuk ke da—''

Yuda membekap mulut Raisa, membawanya masuk ke kamar mandi lantas mengunci dari luar sambil menyuruh Raisa untuk segera mandi dan berganti baju karena mereka akan keluar jalan-jalan.

"Jangan lama nanti kesiangan!" teriak Yuda kemudian duduk di atas ranjang tidurnya Raisa menunggu gadis itu membasuh diri sambil mengomel di dalam sana.

"Lo keluar bentar gue nggak bisa ganti baju!" teriak Raisa dari dalam setelah lima belas menit berlalu, berarti telah selesai dengan ritual mandinya.

"Keluar aja aku  nggak bakalan ngintip kamu kok, serius deh." Raisa mengeram kesal, membuka pintu kamar mandi dengan menyemburkan kepalanya ke luar.

"Lo mau gue telpon 911, ya? Cepet keluar gue mau ganti baju!" Yuda terkekeh dengan omelan Raisa. Dia berdiri menuju lemari, memilah baju untuk dipakai oleh Raisa tanpa persetujuan dari gadis itu.

"Udah cepetan ganti! Kamar kamu wangi jadi aku betah di sini." Raisa mengambilnya dengan kasar lantas segera mengunci kembali pintu maroon tersebut.

Yuda terkekeh, merebahkan tubuhnya di atas big size sambil memandangi langit-langit kamar Raisa yang bernuansa hijau. Matanya tertuju pada pigura kecil di atas nakas.

"Eh, lo mau ngapain! Jangan pegang-pegang!" Raisa merebut cepat sebelum Yuda berhasil menjangkau benda itu.

"Udah selesai?" Raisa mengedikkan bahunya, meletak kembali pigura yang sudah dibaliknya tadi.

"Ayo keluar!" Yuda bangkit ketika Raisa menatapnya galak di ambang pintu.

"Semangat juga ya kamu mau jalan-jalan sama aku," Yuda mengacak rambut Raisa, "kamu cantik," lanjutnya dibalas pelototan oleh gadis itu.

"Di mana-mana cewek memang cantik, lo nggak usah modus gue nggak mempan sama gombalan jadul begitu," kata Raisa menuruni tangganya cepat keluar dari rumah.

"Sekarang lo pergi aja!" usir Raisa mendorong tubuh Yuda untuk menjauh dari rumahnya, dia hendak masuk kembali ke rumah ingin menonton film laga yang diunduh tadi malam yang belum sempat ditonton.

"Eh, kita mau jalan-jalan ngapain sih di rumah, nggak takut apa sendirian?" Yuda mencegat tangan Raisa.

"Ada bibi kalau lo lupa."

"Ah, iya. Bibi jaga rumah ya, kami keluar bentar!" teriak Yuda lantas menarik paksa tangan Raisa menuju motornya, mengabaikan pemberontakan Raisa.

"Abang Fairuz udah ngizinin kita keluar jadi kamu nggak usah berpikir untuk mengadukan ini. Pakai!" Yuda menyerahkan helm bewarna pink, "sorry, besok gue beliin yang hijau."

Raisa masih melipat tangannya di dada, membuang wajahnya ke sembarangan arah.

"Pakai atau gue cium, Raisa!"

Cuaca pagi menjelang siang masih terik tapi seakan Raisa mendengar gelegar petir yang menusuk telinganya. Raisa dengan kesal mengambil helm tersebut, memukul lengan Yuda yang meringis kesakitan.

"Oow!"

"Eh, lo nggak apa-apa, kan?" tanya Raisa panik ketika mendengar Yuda mengaduh. Raisa mengecek lengan Yuda yang ternyata masih memar.

"Sorry, gue nggak tau," ujarnya panik merasa bersalah, refleks meniupnya berkali-kali.

Yuda memerhatikan itu dengan bibir mengembang.

"Udah nggak sakit, kan?" tanya Raisa menengadah, Yuda segera menampakkan wajah kesakitannya.

"Resek lo ah!" ketus Raisa menyadari sandiwara Yuda.

"Yaudah, maaf ya, kamu jangan ngambek dong sayang. Ayo dipakek helmnya!"