Chereads / My Boy (Rasa Untuk Raisa) / Chapter 10 - BAB 10

Chapter 10 - BAB 10

Rio melenggang ke dalam menuju bangkunya sontak menghentikan tangis Kinta ketika menyadari Rio sudah datang. Bak ujian casting, Kinta langsung menyeka air mata, tersenyum berbinar-binar bangkit menghampiri Rio untuk diajak bicara. Arifah memayunkan bibirnya karena nasibnya tidak seindah mereka. Alif tidak mau pindah ke sekolahnya, membuat hubungan seumur jagung itu harus siap LDR-an. Dia mengarahkan pandangannya pada dua sosok yang sangat berbeda.

Raisa dengan tampang jutek dan cueknya setiap didekati lelaki. Dan Yuda dengan wajah tampannya membuat semua perempuan meleleh ketika menatapnya.

"Lo mau ke perpus?"

Raisa hanya mengedikkan bahunya, meski samar-samar dia mendengar pertanyaan Yuda karena memakai earphone namun Raisa memilih menghiraukan dan segera keluar dari kelas. Yuda berdecak kesal, lagi-lagi perempuan itu membuat mood nya bertambah jengkel. Baru tadi malam Raisa sedikit bersikap humble padanya tapi perkiraan Yuda melenceng menganggap Raisa akan luluh dengan gombalannya tadi malam saat mengantar dia pulang.

Yuda memilih mengikuti Raisa, menghiraukan tatapan-tatapan menggoda dari para perempuan yang terpesona padanya. Meski berstatus pindahan tapi Yuda berhasil mengalahkan kandidat lelaki famous di sini.

"Sepatunya harap dilepas!" Peringatan dari petugas perpus membuat Raisa menoleh sebentar ke arah belakang, di mana Yuda terlihat enggan untuk menuruti peraturan tersebut.

"Enggak pernah ke sini ya, Pak," cibir Raisa melepaskan earphone bersama sepatunya, menaruh pada rak sepatu.

Tanpa sadar Raisa mengulaskan senyumnya ketika melihat wajah Yuda yang cemberut melepaskan sepatu NIKE hitamnya.

"Senyum lo manis!" bisik Yuda dekat telinga Raisa.

"Aww!" Yuda meringis ketika mendapat pukulan kecil di lengan kirinya.

"Cie ... Cie ... Blushing juga," goda Yuda membuat Raisa kembali menipuknya berkali-kali hingga suara petugas perpus melerainya.

Ting ting ini bukan permen, ting ting ini suara bel.

Audio speacker mengudara, Raisa mengambil sepatu dan memakaikannya cepat. Niatnya ke perpus untuk mencari ketenangan gagal karena belum sempat dia masuk, bel sudah berbunyi saja.

Yuda terkekeh mengamati gerak-gerik Raisa yang salah tingkah.

"Io, lo ngeronda ya dari tadi mondar-mandir sana sini!" seru Yuda melihat Ridho berjalan dengan gaya maskulin.

"Nah, nah ketemu juga lo. Gue lupa nanya, tadi malam ponsel lo dibajak atโ€”''

"Ponsel gue hilang," potong Yuda, "udah gue ganti lupa call lo aja, sorry. Yaudah yuk cabut!"

Keduanya berjalan santai menuju kelas seakan tidak merasa getar dengan hukuman yang akan menimpa jika terlambat mengikuti jam pertama. Apalagi buat Ridho, anak ketua Yayasan yang sering kali bersikap seenaknya. Lain halnya dengan Atha, kembarannya yang lahir lima menit lebih dulu.

Atha keluar dari perpus, setelah memakai sepatu kemudian berbelok menuju ke kelasnya dengan langkah cepat. Sedari tadi dia berdiam di perpus, menunggu kedatangan Raisa tapi apa daya ketika hanya bisa menguping pembicaraan Raisa di luar perpus yang tak kunjung masuk.

"Apa pun yang terjadi gue nggak akan biarin lo masuk ke dalam permainan mereka, Raisa. Gue bakal lindungin lo dengan cara gue. Meski lo nggak bisa melihat gue sekalipun."

-Aku tidak punya hak menahanmu. Tapi ketika kakimu melangkah, doaku selalu menyertaimu-

***

Raisa bernapas lega, mendudukkan bokongnya pada kursi pojok perpus. Jam istirahatnya bakalan tenang dan bebas dari gangguan Yuda. Lelaki itu tampak tergesa keluar dari kelas ketika bel berbunyi bersamaan Rio. Meski Raisa sedikit penasaran apa yang terjadi tapi Raisa mencoba cuek saja.

"Mau minum?"

Raisa menoleh ke arah samping kanan, melihat Atha yang menyodorkan botol air ke arahnya.

"Enggak ada petugas, minum aja!" ujarnya menepis keraguan Raisa karena larangan makan minum di perpus. Akhirnya Raisa mengambil mineral tersebut dan meneguknya karena sangat haus. Tak lupa dia mengucapkan terima kasih.

"Enggak ada 'something, kan?" ucapnya tidak sekadar takut karena ada racun atau apa tetapi lebih dari imbalan yang diharapkan lelaki pada perempuan. You know what i mean.

"Ada," sahut Atha meletakkan buku Astronomi di atas meja. Atha terkekeh pelan melihat dahi Raisa yang berkerut.

"Canda kok, nggak kepikiran ke sana."

Raisa hanya beroh ria. Sedikit kaget dengan sikap Atha yang tiba-tiba humble padanya. Bersyukur lelaki itu bukan pemaksa seperti Yuda, bersikap sewenangnya padanya.

"Kok senyum? Ada yang lucu?"

Raisa menggerutu dalam hati, bisa-bisanya dia memikirkan lelaki protektif bernama Yuda itu. Argh, sepertinya dia sudah teracuni oleh minuman ini tapi bukankah seharusnya dia klepek-klepek sama Atha bukan Yuda.

"Eh, enggak kok, thanks buat minumannya," ujar Raisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Enggak perlu terima kasih ke dua kali. Sepertinya lo gagal fokus deh, sorry gue enggak beli Aqua tadi," kata Atha dengan nada becanda. Raisa menatap Atha sesaat, ada yang berbeda dengan lelaki itu.

Ah, iya.

"Lho, kok lo nggak pakai kacamata lagi?"

Atha menaruk tengkuknya. "Gue enggak minus sebenarnya cuma pengen orang bisa bedain gue sama Ridho aja tapi gue rasa itu enggak perlu lagi. Gue rapi dia enggak, itu aja udah cukup."

Raisa manggut-manggut. Jika percakapan ini diteruskan, kapan dia bisa membaca buku yang tadi diambilnya. Raisa mengambil ponsel di sakunya karena ada getaran pesan masuk.

Gue tunggu di taman belakang sekolah, sendirian nggak pakek lama. Cepet!

(Yuda)

Ganti nomor lagi?

(Raisa)

Tak ada balasan, Raisa kesal sendiri. Nomornya Yuda sudah ada tiga. Satu nomornya di ponsel yang hilang. Dua nomornya tadi malam yang disuruh simpan oleh Yuda, katanya nomor baru habis ganti ponsel. Dan ketiga yang sekarang. Raisa enggan menuruti tapi ada sedikit dorongan dalam dirinya untuk pergi ke sana. Mengingat ekspresi Yuda yang keluar tadi dari kelas, membuat Raisa bertanya apakah mungkin terjadi sesuatu. Tentang tadi malam, mungkin. Raisa akhirnya bangkit, berpamitan pada Atha dengan alasan ingin ke kantin.

"Ya, enggak apa-apa."

Atha hanya bisa memandangi punggung Raisa yang berlalu dari perpus. Dia sadar posisinya tidak bisa menahan Raisa untuk terus berada di dekatnya.

"Bahkan lo enggak bisa boong, Raisa. Gue tau itu pesan dari Yuda."

***

Raisa merasa was-was ketika menginjakkan kakinya ke taman belakang. Pasalnya entah kenapa rasa takut menyelimuti. Suara deru angin menepis daun menggelitik bulu kuduknya yang menyapu pandang untuk mencari sosok Yuda. Raisa mendapati pagar belakang sekolah mereka terbuka. Alisnya menaut, biasanya pagar itu selalu digembok dan setahu Raisa tidak pernah ada yang diizinkan keluar dari sana karena sudah dikunci mati. Lalu, bagaimana bisa itu terbuka. Raisa bergidik ngeri, seharusnya dia tidak pergi ke sini, sangat jarang ada anak sekolah yang mampir di sini.

Raisa hendak menelpon Yuda tapi ponselnya tiba-tiba lowbat. Dia memang suka lupa mengecas handphone. Raisa berbalik dan terkejut mendapati lelaki berjangkung yang menyeringai bersama dua temannya yang lain.

"Lo!"

Raisa mundur tapi naas dia tersandung. Raisa sempat berteriak hingga tangan kekar menutup mulutnya dengan kain kasar kemudian penglihatannya kabur.

"Arkan, kita harus bergerak cepet, Yuda udah balik lagi ke sekolah."

"Yaudah, yuk angkat tubuh Raisa. Telpon yang lain segera ke tempat pengekapan."

Ketiga lelaki itu membopong tubuh Raisa ke dalam mobil. Melajukan mobil shapire blue dengan kecepatan tinggi melalui pagar belakang yang terbuka.

"Thanks Joey atas bantuannya."

"..."

"Iya, ini gue sama anak lain udah berhasil. Sekali lagi thank you yo. Enggak lo sangat membantu meski hanya membuka pagar."

Arkan menyeringai di kursi pengemudinya.

"Cewek bodoh mau aja dikibulin,' cibir Arkan melirik di spion yang memantulkan tubuh Raisa dengan mata terpejamnya.

Raisa menggeliat, memaksakan membuka matanya. Menyapu ke segala arah ruangan cokelat lupuh yang sangat kotor. Dia berteriak sekeras-kerasnya berharap ada yang membantu tapi suara tawa membahana dari segala sisi. Raisa menggigil melihat Arkan dan kelima temannya mengelilinginya dengan beberapa alat tumpul di tangan.

"Kali-an m-au- apa??"

Raisa bergetar hebat mengundang ceringaian Arkan yang tertawa kemenangan.

"Divideoin kayaknya asyik nih, buat momentum. Betul, nggak?" Arkan mencodongkan tubuhnya pada wajah Raisa, memainkan cutter di wajah pucat Raisa.

"Cowok lo kan suka perkelahian ya, dia suka enggak sama yang begini, ya." Arkan mengarahkan cutter di lehernya Raisa, turun lagi di kancing pertama baju sekolah Raisa.

"Please ... jangan lakuin itu." Raisa menahan air matanya takut dirinya akan berakhir tragis.

"Hahah, lo mancing gue padahal gue enggak kepikiran ke situ lo." Tawa Arkan mengudara.

"Udah lo kirim videonya, Fer?" Arkan menegakkan tubuhnya, menoleh pada Fero yang sibuk dengan handycame.

"Beres," jawab Fero mengancungkan jempolnya.

"Okey, Bobby lo jaga dia. Fero sama Nando jaga pintu, lo Tyo, Rey ikut gue sebentar lagi mereka datang. Oh ya, Raisa, mending lo simpan suara lo karena enggak bakalan ada yang nolongin lo."

Raisa berpaling ketika Arkan menangkup wajahnya.

"Jangan harap lo bisa sembunyi di punggung abang lo, Raisa." Arkan menepuk pipi Raisa sedikit keras lantas berlalu membelok ke ruangan lain tak jauh dari posisi Raisa yang diikat di kursi.

Raisa menunduk, menangis dalam diamnya. Berharap Yuda akan segera datang untuk menolongnya. Bahkan dia mengucapkan janji dalam hati jika Yuda bisa berhasil membawanya keluar dari sini maka dia akan merubah sikap juteknya pada Yuda. Ya, dia tidak akan bersikap seperti itu lagi. Tidak peduli seberapa protektif diri Yuda terhadapnya, dia tidak akan memarahi lelaki itu lagi.

"Yuda, lo datang, kan?"

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Mohon maaf cerita My Boy hanya bisa posting 10 BAB saja, free untuk dibaca. Selanjutnya ikuti kisah Yuda dan Raisa dengan judul Rasa Untuk Raisa ya, novel akan segera dipublikasikan. Namun, akan ada beberapa BAB dikunci. Jadi, untuk tetap bisa membacanya sampai tamat kalian harus menggunakan koin. Semoga berkenan membuka BAB kunci dan membacanya sampai selesai ya.

Terima kasih atas pengertiannya ๐Ÿฅฐ