-Kadang ketika kamu berharap saat itu pula kamu harus siap dengan segala jawaban-
***
"Kenapa lo? Nggak punya uang lagi? Yaudah nggak usah ngajak nonton kalau nggak punya modal," ujar Raisa ketika Yuda sibuk mengecek sesuatu dalam saku celananya. Raisa menghentakkan kakinya sambil berjinjit mengambil popcorn jumbo kemudian berjalan ke arah pintu keluar.
"Maaf ya, Mbak," ucap Yuda sopan mengejar Raisa yang sudah keluar ke parkiran.
"Tunggu deh," cegatnya menarik tangan Raisa, "kita ke dalam yuk!"
Raisa menatapnya sengit. Melirik jam lengan sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dia kesal dengan sikap Yuda yang masih menahannya padahal teman-temannya sudah pulang duluan sejam lalu dari wahana permainan. Sebenarnya Raisa enggan mengikuti ajakan Yuda ke bioskop karena hanya berdua saja tapi mengingat ada daftar film dengan rating tinggi yang belum dilihatnya, membuat Raisa tidak bisa menolak ajakan menonton.
"Lo nggak punya uang, mau pakai ap—'' Yuda membekap mulut Raisa dengan tangannya, menghimpit tubuh Raisa pada dinding sambil melirik sesuatu di balik tembok parkiran yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Aku punya uang tapi bukan itu masalahnya Raisa," tuturnya menatap lekat pada mata hitam Raisa. "Handphone aku hilang," lanjutnya masih membekap mulut Raisa yang memberontak untuk dilepaskan.
"Kalau aku lepasin janji ya jangan teriak?" Raisa mengangguk.
"Kamu masih ingat kan orang yang kemarin malam itu?" tanya Yuda kembali mengintip empat lelaki yang duduk di atas jok motor.
"Mereka di sini?"
"Iya, ponsel aku sama dia, aku cuma sebentar ambillin HP kamu tunggu di—''
"Nggak kamu nggak boleh samperin mereka," potong Raisa menahan tangan Yuda yang menatapnya usil, "maksud gue lo nggak usah samperin mereka, muka lo aja masih boyok gitu nggak usah sok jadi jagoan," ucapnya membenarkan ketika menyadari kekeliruannya.
"Tapi—''
"Dengerin gue, Yu!" Raisa menangkup wajah Yuda, mata mereka saling beradu, sekuat mungkin Raisa menahan desirnya. Jujur, mata hitam Yuda membuat dia terkunci saat pertama kali bertatapan tapi dia mencoba menahannya.
"Gue enggak suka pakek cara otot, sesekali pakek otak," kata Raisa merogoh ponselnya, "gue telpon nomor lo pura-pura gue lagi di WC terkurung gitu, nyuruh lo ke sana. Kalau mereka nggak angkat gue SMS aja, memancing mereka ke sana. Gimana?"
Yuda tampak berpikir dengan ide Raisa yang tidak ada salahnya untuk dicoba.
"Boleh juga."
"Peluang buat dikembaliin ponsel lo itu kecil bahkan nol, jadi saran gue ikhlasin aja. Lo kan kaya nih bisa beli banyak dah sekalian counternya. Ngehindarin perkelahian lebih baik, kan?''
"Iya-iya mamah dedeh.'' Raisa mengerucut, Yuda terkekeh pelan.
"Jangan ngambek, nambah cantih nanti. Maaf, deh.''
Raisa mengangguk mantap, segera melancarkan trik pengelabuan. Detik berlalu, Raisa segera berteriak panik tanpa menunggu pengangkat memulai percakapan ketika panggilannya diterima di seberang sana. Seolah Raisa berpikir yang mengangkat itu adalah Yuda.
"Yud, cepet lo bantu gue ini pintu toilet kagak bisa dibuka! Buruan ya! NggaK pakek lama!"
Tut.
Raisa menutup ponselnya, menunggu reaksi para lelaki di parkir depan yang terlihat beranjak dari motor mereka.
"Gimana mereka masih di sana?"
"Enggak, mereka udah masuk ke bioskop," jawab Yuda menyemburkan kepalanya untuk leluasa mengecek keadaan yang dirasa sudah aman.
"Ayo, buruan sebelum mereka balik ke sini." Yuda segera menarik tangan Raisa menuju motornya, detik kemudian motornya sudah melesat dari parkiran bersamaan umpatan keras dari lelaki tinggi yang mengetahui mereka sudah dibodohi.
"Kenapa, Arkan?"
"Sialan! Mereka sudah kabur. Lo tau cewek itu?" tanya pada temannya yang berbaju kaos hitam.
"Gue sih enggak jelas liat mukanya tapi gue sempet denger namanya dipanggil. Kalau enggak salah ..." Bobby mencoba mengingat, "itu loh yang penyanyi cantik di iklan Oppo."
"Raisa,' kan?" tebak Fero dibenarkan oleh Bobby.
"Cari tentang dia! Besok kita kasih peringatan buat cowok sok jagoan itu!"
"Okey, Arkan!"
-Jangan tangisi orang yang menyianyiakan cinta karena air mata itu mahal-
***
Yuda melemparkan tasnya pada Rio yang baru turun dari motor. Dia berjalan mendahului Rio yang tidak sempat mengumpat. Dari arah depannya, Ridho berjalan dengan gaya cool yang mengundang decakan kagum para perempuan yang berada di koridor tersebut.
"Bete amat lo," sapa Ridho menepuk bahu Yuda lantas beralih pada Rio.
"Kesel dia, Raisa satu-satunya cewek pertama yang nolak dijemput pergi bareng ke sekolah," ujar Rio menahan tawanya.
"Nah, nah gue bilang juga apa. Raisa itu memang sulit ditaklukkan. Lo jemputnya telat kali, Raisa udah setengah jam di sekolah," kata Ridho yang tidak sengaja lewat kelas Raisa dan melihat perempuan itu lagi berbincang dengan sahabatnya. Untung saja Bela tidak ada.
"Eeh, lo mau ke mana?!" seru Ridho ketika Yuda menaiki tangga cekatan.
Yuda mengibaskan tangannya tetap berjalan tanpa menoleh ke belakang. Rio berpamitan pada Ridho untuk menyusul sohibnya yanh terlihat berantakan. Dia harus mencoba menenangkan Yuda tidak ingin kejadian di sekolah lamanya terulang lagi. Hal langka yang bakalan heboh ketika amarah Yuda memuncak.Yuda tidak suka diabaikan, dan tidak suka sama orang yang menghiraukannya. Siapa pun yang melakukan itu, tunggu saja tanggal main darinya. Seperti kejadian lima bulan lalu saat anak OSIS menantangnya, berlaku sok penguasa dengan jabatan maka Yuda tak segan-segan memberi pelajaran untuk anak lelaki tersebut.
Mengingat bagaimana susahnya dia bangun tidur awal, pergi menjemput Raisa ke rumahnya tapi gagal melaksanakan rencana pedekatenya karena Raisa ternyata sudah berangkat pagi sekali, membuat Yuda menghampiri Raisa.
"Hahaa, lo baper sama yang beginian, Kint? Yaelah makanya besok-besok ganti bacaan aja dari teenlit ke thiller biar ada temennya gue. Iya nggak Arifah?"
Yuda menghentikan langkahnya ketika sampai di pintu kelas barunya, mendengar obrolan Raisa dengan kedua sahabat karib, membuat Rio sedikit membentur tubuh lelaki itu karena tidak sempat menghindar.
"Ya lo mah, Rais, kami itu nggak mau ganti duta shampoo—eh bacaan maksudnya," sahut Arifah mengelus punggung Kinta yang tengah menangis tersedu-sedu.
"Yaudah deh terserah kalian sih," tutur Raisa masih belum menyadari kehadiran Yuda yang berhasil mengalihkan teman kelasnya yang mendadak diam.
"Tapi berhenti nangisnya dong, Kin, elo mah baperan amat cuma sama cerita fiktif dong, elah," lanjut Raisa menyodorkan tisu pada Kinta.
"Lo nggak tau sih gimana sakitnya si cewek ini cuma jadi taruhan cowok brengsek itu, kalau saja gue kebagian tokohnya udah gue pepesin tuh cowok, hikz." Kinta menghasup sisa air mata sambil memukul bagian dadanya seolah dia sendiri merasakan sakitnya perasaan sang tokoh utama dari novel yang baru ditamatinya berjudul I?
"Mana penulisnya bikin sad ending lagi, kan nyebelin," celetuk Arifah yang sudah terlebih dulu membacanya.
Yuda dan Rio saling menatap untuk beberapa detik hingga suara Raisa membuat mereka menoleh kembali ke sudut kelas.
"Udah ah jangan tangisi orang yang menyianyiakan cinta, air mata lo sangat berharga buat orang yang tidak bisa menghargai cinta. Gue cabut ke perpus deh daripada liat lo drama gini. Sebel gue punya sahabat kok korban fiktif semua. Mana Bela belum datang lagi," Raisa bangkit, "kalau udah bel Line gue aja, ya."
Arifah mengangguk sedangkan Kinta kembali menangis tidak karuan.
Raisa memasukkan erphone-nya dalam telinga hendak keluar dari kelas namun dikejutkan oleh Yuda yang masih berdiri di sana dengan wajah senyum evil, sorot mata tajam berubah lembut menyapa Raisa.