Yuda membantu Raisa memakaikan helm. Meski setengah terpaksa Raisa pun ikut naik ke motor karena dia tahu lelaki ini sangat keras kepala dan akan melakukan sesuatu di luar akal jika dia masih saja memberontak.
"Lo mau ke mana sih?" tanya Raisa ketika Yuda sudah menjalankan motornya.
"Terserah sih, kamu mau pergi ke suatu tempat?" balas Yuda meliriknya lewat spion. Raisa tampak berpikir sejenak sebelum menyebutkan alamat tujuan mereka.
Lalu lintas Jakarta di hari Minggu memang padat tapi tidak bagi pembalap bernama Yuda yang punya cara tersendiri keluar dari kemacetan. Raisa tidak henti-hentinya menggerutu pesoal tingginya laju yang dikendarai Yuda. Masih dengan omelannya, Raisa turun dari motor mendahului Yuda memakirkan Vixion.
"Bela!" Bahkan Raisa mengetuk pintu rumah cream itu dengan setengah keras terbawa emosi pada lelaki yang terkekeh berdiri di sampingnya kini.
"Bentar, rambut lo berantakan." Yuda menyisir rambut bagian depan Raisa dengan jemarinya. "Udah, sekarang udah cantik lagi." Raisa bukannya tersipu malah menginjak kaki Yuda lantas kembali mengetuk pintu memanggil pemilik rumah yang terdengar derap kaki di dalam semakin mendekat.
"Ah, lo kenapa sih lama banget bukanya," cerocos Raisa ketika Bela sudah membuka pintu. Tanpa dipersilakan masuk, Raisa sudah melenggang ke dalam rumah Bela yang menatapnya heran lalu beralih pada Yuda untuk menyuruhnya masuk juga.
"Bela lo sendirian di rumah?" tanya Raisa yang sudah duduk di sofa.
Bela tidak menjawab, menatapnya dengan datar, membuat Raisa menepuk dahinya pelan ketika menyadari sesuatu kalau mereka masih marahan, tepatnya Bela yang tidak ingin berbicara dengannya.
"Sebelumnya gue minta maaf nggak minta izin sama lo bawa dia ke sini," ujarnya bangkit karena pancaran tidak bersahabat di matanya Bela.
Yuda menyadari ada sesuatu tidak beres di antara mereka. Tadi dia sudah menanyakan tujuan mereka ke rumah Bela untuk apa tapi Raisa tidak memberitahu selain ingin bertemu Bela saja.
"Gue cuma mau minta maaf, Bel. Lo kenapa nggak angkat telepon dan nggak balas SMS gue. Nah, yang paling penting lo nggak masuk sekolah tadi." Raisa berjalan menghampiri Bela yang berdiri dekat almari hias.
"Lo bisa tunggu di luar nggak?" kata Raisa pada Yuda yang hendak menjawab namun segera diambil alih oleh Bela yang menyuruhnya duduk saja di sofa.
"Bel, tatap gue Bela!" Raisa mencengkram bahunya pelan agar tidak membuat Bela merasa sakit.
"Kalau lo berpikir gue ada apa-apanya dengan Joey maka lo salah. Dan kalau lo memilih membenci gue sebagai sahabat lo cuma karena mantan lo itu lo salah besar. Gue enggak suka lihat Bela yang gue kenal berubah cuma karena cowok. Gue ke sini cuma mau jelasin semuanya sama lo. Gue enggak ada hubungan apa-apa sama Joey itu. Mau lo percaya apa enggak tapi itulah kenyataannya. Lo tau sendiri kan gue paling anti bermain drama cintaan kayak gini. Jadi, ini terakhir kalinya gue menjelaskan ini sama lo. Gue enggak ada apa-apa sama Joey." Raisa mengembuskan napas setelah berkata panjang. "Lo mau maafin gue?" lanjut Raisa setelah melepaskan pegangan di bahunya Bela.
Bela tidak menyahut, membuang wajahnya pada Yuda yang memilih diam memerhatikan dua gadis tersebut.
"Okey, lo diam berarti lo nggak mau kasih gue jawaban." Raisa kembali mengembuskan napas pelan. "Kalau gitu gue cabut. Yuk Yuda!" tutupnya melirik Yuda di sofa.
"Tunggu!" cegat Bela ketika Raisa hendak pergi. "Gue udah maafin lo tapi gue nggak mau percaya begitu saja. Gu-e butuh bukti."
"Bukti?"
"Gue buktinya," sela Yuda berjalan ke arah mereka. "Gue pacarnya Raisa bukan Joey lelaki brengsek itu. Udah cukup kan bikin lo percaya. Iya kan sayang, aku pacar kamu?"
Yuda menoleh pada Raisa dengan memegang tangan gadis itu.
"Betul itu, Rais?"
Raisa sulit menelan ludahnya sedangkan Yuda tersenyum manis sambil mengedipkan mata.
"Bu-kan," jawabnya gagap melepaskan tangan Yuda darinya.
"Ih, Raisa lo mah gitu udah taken aja masih pura-pura. Congrat ya lo nggak jomb lagi. Uahah, gue seneng banget, Raisa!" Bela memeluknya erat, menyubit pipinya yang tidak terlalu tembem.
"Lo Yu-da, kan?"
Yuda mengangguk, berjabat tangan dengan Bela.
"Bela! Itu di depan motornya siapa?!" Ketiganya menoleh pada suara cempreng yang masuk dengan tergesa-gesa.
Dua gadis terlihat terkejut dengan mulut terbuka dan mata melotot.
"Lho, kok lo di sini Raisa. Lo juga Yuda."
"Iis, kalian jangan bikin malu deh," ujar Bela menarik Arifah dan Kinta agar tidak melakukan hal konyol karena kedua gadis itu sudah bersiap dengan ponsel mengarahkan kamera ke arah Yuda, yang sudah bisa ditebak akan dijadikan pengundang boom like di IG mereka seperti yang sering mereka lakukan ketika mendapati cogan di sekolah maupun di mall dan taman.
"Mereka udah jadian, nggak salah dong mereka jalan bareng," jelas Bela menjawab kepenasaranan Arifah dan Kinta.
"Jadi itu seriusan Raisa?" Raisa menggeleng cepat tapi Arifah malah memeluknya erat sambil mengatakan selamat untuknya.
"Wah, Raisaku yang sekarang sudah bukan Raisa yang dulu." Kinta bersenandung memeluk Raisa sambil menggodanya.
"Pj, pj ya Rais. Pj Yu," ucap Kinta girang pada Yuda yang terkekeh melihat kelakuan para gadis itu.
"Nggak usah didengarin, Yu.''
"Udah nggak apa-apa. Kalian bersiap saja kita pergi keluar," sahut Yuda merogoh ponselnya, "teman gue bentar lagi sampai ke sini."
"Eh, emangnya kita mau ke mana? Teman lo siapa?"
"Yey, makasih Yuda. Bel, yuk siap-siap, gue nggak sempet make up tadi si Kinta pagi-pagi udah ke rumah jemput gue. Lo sih bikin cemas aja nggak ke sekolah. Yuk ke kamar lo!"
Pertanyaan Raisa tertimbun dengan kegembiraan Arifah yang menyeret Bela ke lantai dua seolah ini rumahnya sendiri. Kinta pun melakukan hal yang sama, meninggalkan Raisa dengan Yuda di ruang tamu.
"Yu, lo apa-apaan sih. Tuh kan bikin mereka salah paham." Raisa menampakkan wajah kesalnya, duduk di sofa dengan melipat tangan di dada.
"Salah paham apanya, sayang. Kamu kan memang benar pacar aku," balas Yuda tersenyum evil.
"Lo itu—'' Perkataan Raisa terputus ketika suara bel berbunyi. Yuda berjalan ke arah pintu utama menyambut teman-temannya untuk dipersilakan masuk.
Tak lama Bela dan kedua temannya turun dan terkejut mendapati Ridho, Rio dan Alif sudah duduk di sofa di antara Raisa dengan wajah kesalnya.
"Eh, Neng Arifah sudah siap?" sapa Alif yang tidak bisa menahan rasa bahagianya ketika melihat Arifah dengan penampilan manisnya.
"Ini apaan sih?" Raisa bangkit dari duduknya.
"Iish, lo nggak usah ngambeklah Raisa. Ini namanya keberuntungan bisa jalan bareng sama cogan. Iya kan, Bel?"
Bela mengangguk tidak bisa menahan tawanya melihat Raisa yang cemberut.
"Gue sama siapa dong, Yu? Arifah udah ada Alif. Gue bukan level Ridho, ya kan, Dho?" ujar Kinta sadar diri karena tubuhnya yang pendek sedangkan kriteria mantan pacarnya Ridho adalah cewek cantik yang setidaknya tinggi semampai dengan Ridho sedangkan tubuhnya hanya mencapai sebatas bahu Ridho.
"Gue belum kenal Rio, noh liat aja dia cuek gitu, bisa-bisa gue dikira jalan sama boneka," lanjutnya menoleh ke arah Rio yang memasang wajah dingin.
"Rio nggak gitu kok cuma lagi sok cool aja," sahut Alif menyolek Rio.
"Rio lo nggak usah pasang sok nggak maulah," timpal Yuda, "udah Kin lo sama Rio aja tadi dia minta nomor lo kok," lanjutnya mengada.
Rio bergedik pada Yuda. Rio memang tipekal agak kaku dengan perempuan tapi dia akan sangat romantis pada perempuan yang bisa menarik hatinya. Sejauh ini dia hanya berpacaran tiga kali, tidak tertular gen Yuda yang sudah tidak bisa dihitung nama-nama perempuan yang di-PHP-in.
Bela memilih diam, melirik Ridho yang sibuk dengan ponselnya.
'Lo bahkan enggak mau menatap gue, Dho.'
"Eh, lo kok diam aja, Dho? Lo pergi dengan Bela aja, ya," ujar Alif merebut ponsel Ridho.
"Kembaliin nggak!" bentak Ridho membuat Alif segera menyerahkan kembali ponsel itu.
"Gue nggak pergi aja deh, kalian aja," ucap Bela pada akhirnya.
"Kalau ada masalah itu diselesaikan bukan didiamin malah bikin ribet," celetuk Raisa membuat semua perhatian terarah padanya karena bingung dengan kalimat yang dilontarkannya.
"Lo cowok kan Dho? Yaudah selesaikan masalah dengan benar bukan marahan kayak anak kecil," ungkap Raisa terang menyadari ada api emosional di antara Ridho dan Bela.
Raisa sudah cukup banyak mempelajari tentang bahasa tubuh, sedari tadi dia membaca gerak-gerak antara keduanya. Ditambah dari pengamatannya selama ini ketika melihat Bela yang selalu menghindar ketika berjumpa dengan Ridho. Meski dia tidak pernah menanyakannya tapi dia menaruh curiga dan menuggu waktu Bela sendiri yang akan menjelaskan.
"Cewek lo udah jadi dokter psikolog, Yu. Hati-hati lo bisa dibaca juga pikiran lo," kata Ridho sinis sambil bangkit menarik tangan Bela.
"Ayo kita pergi!" Bela membiarkan tangannya ditarik menuju motor hitam yang terpakir bersejajar dengan motor besar lainnya.
"Kamu beneran bisa baca pikiran orang?" bisik Yuda ketika memakaikan Raisa helm.
"Ya, dan pikiran lo penuh dengan kemodusan. Ayo ah cepat sebelum gue berubah pikiran," jawab Raisa galak.
"Yaudah peluk dong, aku bukan mas ojek lho. Liat mereka aja nempel gitu masa kita yang udah resmi eng—''
"Cepet bawa Yuda, atau gue turun!"
"Iya-iya, aku kan cuma enggak mau kamu jatuh aja. Nah begini baru." Yuda menarik paksa kedua tangan Raisa untuk melingkar di pinggangnya.