Pintu ruang keluarga di kediaman Vermigoun belum tertutup rapat, dari celah pintu tersebut terlihat seorang wanita duduk di atas sofa sembari menatap jendela yang tirai nya terbuka.
Elisio yang melihat hal itu masuk perlahan ke dalam ruangan tersebut. Alyosha menyadari itu namun diam saja, ia tidak ingin berbicara atau diajak berbicara sekarang. Namun mau tidak mau Elisio harus membujuk kakaknya, atau setidaknya memperbaiki mood kakaknya yang sudah memburuk sekarang ini.
"Aku tidak ingin pergi ke sana lagi Elisio. Maaf, tapi aku berjanji kita bisa jalan-jalan di lain hari. Kebetulan jadwal ku kosong untuk lima hari ke depan." Alyosha berbicara tanpa berpaling menghadap Elisio.
Oke, berarti yang bisa ia tangkap sekarang adalah bahwa kakaknya tidak marah padanya. Dan kedua, wanita itu tidak ingin ada hal lain yang mengganggunya hari ini, jadi lebih baik sekarang Elisio mengiyakan saja apa yang dikehendaki saudaranya itu sekarang ini.
Kini ia duduk di sofa lain, kakaknya selalu saja menempati sofa tua kesayangan ayahnya tersebut. Tentu saja, ia sangat dekat dengan sang ayah, jadi ia merasa berada di samping ayahnya ketika duduk di sofa tersebut. Kini orang tua mereka berada di Belanda, negara yang damai dan penuh dengan hamparan bunga ya indah. Kesibukan Alyosha Dan Elisio membuat mereka tidak bisa sering-sering bertemu dengan orang tua mereka. Jadi karena Alyosha sering ke Manhattan, maka ia menyempatkan untuk selalu berkunjung di rumah ini.
Beralih dari persoalan itu ke persoalan lain. Elisio tidak bisa diam seperti ini terus menerus, ia ingin mengajak Alyosha bicara untuk membahas tentang masalah Ryou.
"Elisio."
Yang dipanggil hanya menyahut, padahal baru saja ingin ia ajak bicara tapi malah Alyosha.
"Ayo kita pergi ke tempat lain," pinta Alyosha sekaligus mengajak.
Daripada sang kakak moodnya semakin buruk, lebih baik ia turuti saja keinginan nya tersebut. Dan dalam waktu 15 menit, mereka sudah sampai di salah satu pusat perbelanjaan lain di kota tersebut. Sebelum sampai di sana, Elisio sudah mengirim pesan pada Ryou bahwa kakaknya tidak mau dibujuk kembali ke acara pameran tersebut.
*****
Tidak menunggu lama, besok lusa Elisio sudah memanggil Ryou kembali untuk membicarakan tentang kelanjutan dari hubungan Ryou dengan Alyosha.
"Selamat siang." Sebuah suara terdengar dari balik pintu luar ruangan kerja Elisio.
"Silakan masuk," ujar Elisio mempersilakan. Ia tahu siapa yang berada di luar sana.
Lalu Ryou masuk ke ruangan tersebut, nampak Elisio yang masih sibuk memeriksa laporan yang diberikan oleh sekretaris nya.
"Dan sekarang hubungan kalian menjadi jelek," ujar Elisio. "Maaf saya lupa memberitahu pada kamu kalau kakak saya punya masa lalu yang tidak mengenakkan tentang asmara. Dia tidak suka dengan orang yang mengungkapkan perasaannya dengan terlalu mudah."
Ryou mengernyit bingung. "Err....lalu saya harus bagaimana? apa saya harus mengubah cara saya mengungkap---"
"Tidak, tetap seperti itu saja," potong Elisio cepat. "Kakak saya adalah orang yang jeli, ia pasti akan curiga kalau kau tiba-tiba berubah. Karena kau sudah memulainya dengan seperti itu, maka kau harus bisa melanjutkan semuanya dengan caramu. Yeah kalau kau masih ingin perawatan adikmu berlanjut."
Ryou menelan ludah kasar, ia tidak ingin adiknya yang masih belum sembuh harus keluar dari rumah sakit sekarang karena biaya pengobatan yang tak lagi dikeluarkan oleh Elisio.
"Oh iya, saya akan memberimu tiket." Lalu Elisio mengambil paspor dan tiket pesawat yang bertuliskan Negara Swiss. "Alyosha dalam beberapa hari ke depan akan pergi ke Swiss untuk urusan bisnisnya. Kau harus pergi ke sana dan melakukan apa yang harus kau lakukan. Mengerti?"
Ryou mengangguk paham, walau sebenarnya di dalam kepala Ryou ada puluhan tanda tanya dan kebingungan yang membuat dirinya merasa pusing sekarang.
"Tapi...dia nampaknya sangat marah pada saya. Bahkan kemarin saya sempat menemuinya. Tapi malah leher saya yang diputar olehnya," ujar Ryou.
Elisio hanya mendengus kan tawa sembari mengendikan bahu. "Saya tidak peduli akan itu. Karena anda sudah menandatangani perjanjian, maka anda harus melaksanakan apa yang ada pada perjanjian itu. Masa belum menikah saja sudah menyerah? apalagi kalau kalian sudah menikah, bisa-bisa kau jadi samsak tinju nya nanti."
Mata Ryou membulat. Menikah? apa maksud Elisio.
"T-tunggu, menikah? apa ini akan sampai ke jenjang pernikahan?" tanya Ryou bingung.
Alis Elisio menukik tajam. "Tentu saja, memangnya kau berniat mempermainkan kakak saya? kalau sampai begitu bukan hanya adikmu saja yang pengobatannya akan dihentikan, tapi kau juga akan saya buru sampai manapun. Lagipula kau sudah membaca surat perjanjian itu bukan? isi di lembar kedua menuliskan tentang hal itu."
Batin Ryou berdecih, ia kurang teliti. Padahal ia melihat isi lembar pertama dan kedua kurang lebih sama. Bisa jadi pada lembar kedua Elisio menyelipkan tulisan tentang pernikahan antara dirinya dan Alyosha. Kakak sama adik sama saja, sama-sama licik. Yeah, kalau tidak begitu maka mereka berdua tidak akan menjadi salah satu orang paling sukses di tanah Eropa.
Dia sudah tidak bisa mundur lagi, perjanjian sudah terlanjur ditandatangani. Maka ia harus menyelesaikannya sampai tuntas, meskipun ia tidak mencintai Alyosha. Tapi apa salahnya ia menjalin hubungan dengan wanita itu?
Beberapa hari setelah itu, tepatnya di negara Swiss, Alyosha sudah sampai di sana untuk memeriksa kiriman opium yang besar dari perusahaannya ke negara tersebut. Ia tidak selalu melakukan hal seperti ini, karena hanya untuk kiriman diatas satu ton saja yang akan ia awasi sampai ke tangan bawahannya di tempat tujuan untuk disebar ke seluruh titik-titik yang memesan barang tersebut. Entah itu kalangan bisnis, pusat hiburan malam, atau agen penyebar yang bisa menjual itu di tempat tersembunyi sampai ke tangan pelajar sekalipun.
Dunia bisnis yang gelap menyimpan banyak keburukan di dalamnya. Itulah dunia, tak ada yang sempurna. Yang terpenting adalah kau bisa memakai parfum Caron Poivre dan Hugo Boss seharga ribuan dollar, menghisap cerutu Arturo Fuente Don AnniverXario, dan mempunyai koleksi roll-royce yang setara organ vital tubuh kita. Sungguh hidup yang glamor.
Alyosha yang kini berada di bangunan rahasia tempat pertemuan antara sesama sindikat kejahatan tengah melakukan transaksi. Senyuman manis penuh kebohongan yang selalu diintai peluru senjata api dan anak buah yang jago bertarung dan siap membunuh mewarnai transaksi tersebut. Bukan Alyosha namanya kalau dirinya merasa grogi saat melakukan transaksi seperti itu.
Oke, kini sudah ada ratusan ribu dolar dalam genggaman Alyosha. Waktunya ia pergi dari sana bersama anak buahnya. Pergerakan harus selalu cepat tanpa meninggalkan jejak ataupun memberi celah. Ini bukan tentang kepolisian ataupun pihak keamanan wilayah setempat, orang-orang berkerah putih itu sudah termakan lembaran-lembaran dollar dari Alyosha sampai kenyang dan semakin gendut. Jadi yang Alyosha perhatikan bukan tentang itu, melainkan rekan sesama bisnis dunia bawah, yaitu rekan sesama bisnis gelap seperti dirinya yang siap menyerang dari belakang dan menghabisi nyawa orang yang menjadi saingan mereka.
Tidak sedikit ada kasus pembunuhan sesama pemilik sindikat kejahatan yang terjadi setelah transaksi jual beli. Agar uang tetap kembali ke tangan mereka, maka mereka tidak segan-segan melakukan pembunuhan secara langsung. Alyosha kebal dengan hal-hal mengerikan seperti itu, karena sudah menjadi kebiasaannya menanggapi hal tersebut.