Waktu di jam terus berubah. Tentu saja, waktu memang akan terus berjalan. Dan sekarang Alyosha dirundung rasa bingung. Perkataan ibunya tadi membuat ia tertohok. Bukan karena tersinggung atau tidak terima. Ini lebih ke perasaan cemas.
Ia tidak mempermasalahkan dirinya sendiri, ia juga tidak khawatir bila tak memiliki seorang anak sampai usia 40 tahun. Tapi melihat kesedihan ibunya membuat ia tidak tega untuk menunda-nunda lagi waktu bagi dirinya untuk menikah.
Tapi dengan siapa?
Ia tak menjalin hubungan spesial dengan siapapun akhir-akhir ini.
Ia juga tidak sedang dekat dengan siapapun.
Dan dirinya pun juga tidak sedang tertarik pada siapa-siapa.
Alyosha bingung harus bagaimana kedepannya. Apa ia minta dijodohkan saja? tapi ibunya sendiri mendesak dirinya untuk mencari, berarti beliau juga tak mempunyai calon yang dapat beliau jodohkan dengan Alyosha.
"Arghh, menikah itu untuk apa sebenarnya?! kenapa para orang tua selalu ingin anaknya cepat-cepat memberikan mereka cucu?" tanya Alyosha. Ia menggaruk kepalanya dengan emosi, ia tak sadar membuat berantakan rambutnya sendiri.
Netra biru miliknya melirik ke arah jam dinding, sudah jam 4 sore. Sebenarnya sudah tak ada lagi yang perlu ia kerjakan, karena setiap laporan yang ia terima sudah ia periksa. Ia juga sudah menerima pemasukan semua barang yang telah ia kirim. Lalu apalagi yang harus ia lakukan?
Ya istirahat tentunya.
Sudah penat melakukan rutinitas pekerjaan seharian, kalau ada waktu lebih, sesekali bisa saja digunakan untuk refreshing.
"Ah sudahlah, nanti kalau diiyakan dan didiamkan akan lupa sendiri," ucap Alyosha sembari beranjak dari kursinya.
Alyosha keluar dari ruangannya. Melangkah keluar dari bangunan mewah yang merupakan salah satu gedung resort yang ia miliki. Setiap keryawan dan karyawati yang ada di situ membungkuk hormat padanya. Sebenarnya ia bukan orang yang gila pujian dan sanjungan. Tapi kalau memang mereka memperlakukan dirinya begitu ya ia juga tidak mempermasalahkannya, malah ia senang dengan hal tersebut. Maka dari itu juga ia tidak mau memperlakukan mereka semena-mena, ia memberikan hak mereka sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.
Kalau ia sudah keluar dari ruangannya, maka semua bawahannya yang hendak menyerahkan apapun mengurungkan niat untuk pergi ke ruangan itu. Karena Alyosha sudah menguncinya, jadi lebih baik mereka datangi langsung saja di luar atau mereka kirimkan lewat email apabila dalam bentuk file. Karena Alyosha tidak pernah memberi kepercayaan pada siapapun untuk masuk ke ruang kerjanya. Ia hanya ingin privasinya tetap terjaga.
Dia dalam ruang kerjanya terdapat berbagai macam barang penting menurut Alyosha.
File salinan milik perusahaannya ia tinggal di dalam sana meskipun sudah ia ambil yang asli, justru itu ia tak mau ada banyak campur tangan di ruangannya tersebut.
Lupakan soal itu.
Alyosha tak berkeinginan pergi ke bar atau tempat ramai lainnya. Ia malah ingin mencari suasana yang sepi dan menenangkan. Sudah cukup hiruk-pikuk di ranah bisnis yang membuat ia penat. Kepalanya terasa dipenuhi oleh semut dan sarang burung saking pusing dan lelahnya dirinya. Dan itulah yang membuat dirinya beralih ke tempat yang punya pemandangan indah dengan suasana yang nyaman dan dapat membuatnya merasa rileks.
Melangkah di atas pasir pantai yang lembut memberikan sentuhan yang berbeda dan menghanyutkan di kaki Alyosha. Deburan ombak dan gemuruh suaranya yang beradu jarang ia temui bila ia sibuk dengan rutinitasnya di kawasan perkotaan yang padat akan bangunan.
Ya, resort mewah miliknya memang berada di pesisir pantai. Tapi itu jugalah yang menjadi daya tarik tersendiri, karena sama seperti pengunjung resort lainya, Alyosha mengharapkan ketenangan dan perasaan nyaman yang memanjakan perasaan dan pikiran ketika berada di sana.
Ia menatap ombak, begitu tenangnya pemandangan di sore hari ketika berada di situ. Ia yang masih memakai setelan jas kantor lengkap tak peduli dan langsung mendudukkan bokongnya ke atas pasir pantai yang putih di situ. Rasanya seperti naik ke atas awan, entah itu berlebihan atau tidak, tapi dirinya sedang merelaksasi dirinya.
Lain kali Alyosha akan lebih sering mengunjungi resort-resort lain miliknya nanti.
Tapi ketika ia menoleh jauh ke arah bibir pantai, ia mendapati sosok seorang pria yang amat ia kenal. Pria yang tenggelam dalam kegiatannya itu tak menyadari bahwa Alyosha tengah mengamatinya dengan intens.
Tangan putih namun kokoh itu mengulas kuas cat dengan snagat terampil. Tak ada garis yang terlihat putus ia torehkan di atas kanvas putih seputih pasir pantai yang mereka pijak itu. Entah sudah berapa warna yang tercampur di situ, tapi pastinya hasil yang akan ia perlihatkan dalam lukisan itu membuat hati tergugah untuk memiliki lukisan tersebut.
"Si bodoh itu," ucap Alyosha pelan. Bibir tipisnya sedikit terbuka. Matanya yang sebiru langit itu menajam, seakan ingin memperjelas apa yang ia lihat di seberang sana. "Apa yang sedang ia lakukan di sini? melukis? dari Manhattan ke Swiss?"
Sungguh totalitas tanpa batas apabila seseorang pergi mengelilingi negara apabila hanya untuk mendapatkan pemandangan yang sesuai sebagai ide melukis atau berkarya. Tapi Alyosha tak dapat menerka apa yang sebenarnya direncanakan oleh Ryou, lebih tepatnya yang direncanakan oleh Ryou dan Elisio.
Tapi kalau pertemuan mereka di pantai ini bukanlah sebuah hal yang direncanakan. Namun benar adanya itu murni sebagai sebuah kebetulan.
Apa sekarang Tuhan sudah mulai ikut campur ke dalam takdir mereka berdua? tentu saja, Tuhan selalu ikut campur. Kalau tidak pasti semua kehidupan makhluk ciptaannya akan berantakan.
Tanpa disuruh, tanpa disadari, dan tanpa dikendalikan, kedua kaki jenjang yang dibalut celana mahal itu berjalan mendekati sosok berkemeja putih yang masih asyik dengan mahakaryanya itu.
'Bodoh, kenapa aku mendekatinya?' tanya Alyosha keheranan. Ia menyumpahi kakinya sendiri yang seakan dikendalikan oleh alam bawah sadarnya.
Seperti insting tajam seekor hewan, Ryou juga menoleh ke arah Alyosha yang mendekatinya. Tatapan mereka bertemu, dan didramatisir oleh cahaya mentari senja yang memberi kemilau cahaya jingga yang lembut dan tak menusuk kulit.
"Alyosha?" tanya Ryou, ia seketika berdiri dari bangku kecil berbahan dasar kayu miliknya. "Kau juga ada di sini?"
Natural sekali, kebohongannya.
Bukankah kau sudah tahu kalau Alyosha akan berada di sini Ryou?
Segala macam informasi mengenainya termasuk resort yang ia miliki sudah Ryou kantongi. Dan sebuah kebetulan yang mempermudah dirinya karena Alyosha sendiri yang pergi menemui dirinya, walau bukan sebuah kesengajaan.
Seharusnya ia tak perlu menanyakan itu, jawaban Alyosha hanya akan menjadi kalimat yang retoris bagi Ryou. Tapi beda lagi ceritanya bila Ryou memang sengaja ingin terlihat tidak tahu.
"Kau sendiri untuk apa ke sini? jangan bilau kau mau mengikuti aku," ucap Alyosha tepat sasaran. Sebenarnya ia terlalu gamblang, tapi dirinya sedang tidak dalam debat bersama sesama penjahat, jadi itu bukan masalah.