"Bagaimana dengan hubunganmu dengan pria itu? maksud ku dengan Ryou."
Wajah Alyosha bertambah masam. Kalau tahu begini ia takkan mau mengangkat teleponnya.
"Aku muak bodoh! berhenti membahas si dungu itu denganku!" seru Alyosha di sambungan telepon itu.
'Kakak, cobalah untuk menerima lelaki itu. Nampaknya ia mencintai mu dengan tulus.' Elisio membujuk Alyosha yang tengah dirundung emosi.
"Ini aneh, dia datang tiba-tiba dengan pernyataan konyolnya tentang cinta. Aku takkan mempercayai orang aneh itu," balas Alyosha dengan dingin.
Lalu pintu ruangan terbuka tiba-tiba memunculkan sesosok lelaki tampan yang tengah ditahan oleh beberapa bodyguard Alyosha.
"Berikan aku waktu tiga bulan. Dan selama itu aku pastikan yang kau dapatkan dari ku adalah kehidupan bahagia penuh cinta dan kasih sayang. Takkan ada laki-laki selain aku yang dapat memberi mu cinta sebanyak yang aku punya."
'Hah? kenapa bisa kebetulan sekali?' Alyosha bertanya dalam hati.
"Tiga bulan?" Alis Alyosha naik sebelah. Ia meletakkan teleponnya dan memutuskan sambungan panggilan telepon dari Elisio. "Tapi sayangnya aku tidak akan memberikan mu kesempatan walaupun hanya tiga detik."
"Tidak akan tahu kalau tidak dicoba," balas Ryou berusaha meyakinkan Alyosha. "Bukankah setiap orang harus diberi kesempatan?"
Alyosha lalu berkacak pinggang dengan tatapan sinis. "Memangnya siapa kau sampai kau berani meminta kesempatan dariku? kau tidak punya hak apapun untuk meminta sesuatu dariku."
"Aku berhak meminta kesempatan darimu. Karena aku adalah jodoh mu. Percayalah, aku tidak akan mengecewakan kepercayaan mu." Ryou menatap Alyosha dengan tatapan memelas.
Selangkah demi selangkah Ryou maju mendekati Alyosha. Wajahnya yang ekspresinya bercampur antara sendu, memelas, dan penuh harapan itu menatap wajah Alyosha dengan intens. Berusaha bertukar pesan dari dalam hatinya ke hati Alyosha.
Tapi sayang sekali, hati Alyosha seperti sudah dipasangi pagar besi yang kokoh. Tak ada satupun hal yang dapat menembus pertahanan hatinya tersebut.
"Pergilah, tak ada yang perlu kau katakan lagi. Aku tidak akan pernah sekalipun berpikir untuk mempertimbangkan kesempatan untukmu mendekati aku," balas Alyosha dengan angkuh. Ia bersandar di tepi meja kerjanya.
"Lalu apa yang akan aku lakukan bila aku tidak mau pergi dari sini," balas Ryou. Ia bertanya-tanya dalam hati kenapa dirinya bisa berani mengatakan hal seperti itu.
"Tidak mau ya?" tanya Alyosha. Ia tersenyum remeh, nampaknya ia sedikit terhibur dengan keberanian setengah-setengah Ryou tersebut.
Alyosha melangkah dari tempatnya, membuka sebuah lemari kayu berwarna krem. Meski terbuat dari kayu, namun sebenarnya itu hanya hiasan, di dalam lemari itu ada pintu besi yang dapat dibuka dengan kunci sidik jari.
Alyosha membuka lemari tersebut. Mengambil sesuatu dari sana.
"Aku bisa memberi hadiah untuk keberanianmu itu," ucap Alyosha dengan senyum khasnya.
Glek
Ryou menelan ludah kasar. Ia mendadak terhenti, sebuah revolver yang tenaga tembakannnya berkekuatan tinggi di arahkan tepat ke kepala Ryou.
Ryou masih sayang nyawa, tapi kalau ia tidak mempertahankan ucapannya maka harga dirinya sebagai seorang lelaki akan hancur begitu saja.
"Kenapa diam?" tanya Alyosha lagi dengan ekspresi remeh. Ia sudah menduga kalau Ryou akan takut melihat revolver itu. Tentunya setiap orang pasti sayang dengan nyawa mereka, tak terkecuali Ryou.
Mata Ryou menatap tajam Alyosha. Perubahan ekspresi Ryou cukup cepat. Dari yang tadi memelas, menjadi serius sekali.
Bukan Alyosha kalau gentar hanya karena tatapan seperti itu. Tapi ia berusaha menerka apa maksud dari tatapan Ryou itu.
Ryou kembali melangkahkan kakinya, tak ada keraguan terlihat di sana. Wajah tampan dan rambut hitamnya yang sedikit gondrong itu terlihat jelas di bawah sinar lampu ruangan Alyosha.
Alyosha mulai menarik pelatuk pistol miliknya.
Grep
Alyosha terkejut bukan main. Ryou mengambil cepat pistol yang ada di tangannya itu. Awalnya ia mengira Ryou hendak merebut pistol itu karena ingin menembaknya. Tapi nyatanya pistol itu Ryou arahkan ke dahinya sendiri.
"Mau apa kau?" tanya Alyosha. Ia panik lalu menepis pistol itu dengan cepat dari dahi Ryou sebelum lelaki itu benar-benar menarik pelatuk pistol itu dan membuat kepalanya berlubang.
"Aku tidak mengkhawatirkan tentang kepalamu bodoh! hanya saja aku tidak mau resort ku mendapat penilaian yang jelek karena ada kasus kematian orang yang bunuh diri di sini. Dan orang itu adalah dirimu!" bentak Alyosha.
"Aku tidak akan berhenti sampai kau mau menerima---"
"Kita bicarakan itu nanti! apa kau tidak berpikir bahwa aku sedang pusing sekarang?! pergi dari ruangan ku atau aku tidak mau menemui mu lagi sampai kapanpun!"
Setidaknya ada tanda-tanda kalau Alyosha ingin berbicara dengannya lagi. Ryou juga tidak boleh terlalu berlebihan, karena ia malah akan membuat Alyosha tertekan.
Ryou keluar dari ruangan Alyosha, dia sempat bertatapan dengan Alyosha sebelum punggungnya menghilang dari balik pintu putih ruangan Alyosha tersebut.
Semua ide konyol dan nekat Ryou itu terjadi secara spontan. Tak ada rencana yang sistematis ataupun arahan dari siapa pun. Intinya itu semua alami terjadi.
Walaupun sebenarnya Ryou hanya menerka-nerka kalau pistol itu tak ada isinya.
DORR
Ryou yang sudah keluar dari ruangan itu terkejut bukan main mendengar suara revolver yang ditembakkan di dalam ruangan Alyosha.
"Huh! apa dia pikir revolver ini tak ada isinya? atau mungkin dia memang depresi dan ingin bunuh diri?" tanya Alyosha bermonolog. Ia lalu meletakkan pistolnya itu ke dalam tempatnya.
.
.
.
.
.
Kini Alyosha tengah santai singgah di sebuah restauran mahal di sana. Dengan hidangan kesukaannya yang berupa lobster besar dengan saus berlimpah, ia menikmati hidangan tersebut tanpa merasa terganggu sedikitpun.
"Yeah, indahnya hidup bila bisa dinikmati seperti ini. Beberapa hari terakhir aku terus diganggu oleh si aneh itu, dia terlalu keras kepala dengan memaksakan perasaannya itu. Tentu saja aku tidak akan mudah percaya padanya." Alyosha bermonolog sembari menyuap potongan daging lobster itu dengan santai.
Baru saja ia ingin meneguk Cocktail nya, tiba-tiba Ryou datang ke dalam restoran itu dan berdiri di samping Alyosha. Tentu saja dia terkejut dan tersedak melihat sosok Ryou yang ada di situ.
"Sial*n! kau lagi dan kau lagi! aku sudah muak melihat wajahmu asalkan kau tahu! aku bisa menembak kepalamu ini sampai hancur bila kau tidak pergi dari sini sekarang juga!"
Alyosha tidak main-main dengan ucapannya. Karena di tangannya kini ada sebuah senjata api dengan selongsong peluru yang masih terisi penuh. Ia bisa saja menarik pelatuk pistol itu dan membuat kepala pria jangkung itu berlubang sekarang juga.
"Saya tidak akan pernah berhenti untuk mengatakan kalau saya mencintai anda. Bahkan bila anda menarik pelatuk itu sekarang maka saya tidak punya penyesalan, karena orang yang saya cintai yang tekah membunuh saya. Secara tidak langsung anda menjadikan saya sebagai kepemilikan anda seorang," ujar Ryou dengan lantang, kilat matanya menatap Alyosha dalam-dalam.
Tidak seperti yang terlihat di luar, sebenarnya ia tengah ketakutan setengah mati karena pistol itu sudah menempel di pelipisnya. Tapi kalau ia lari sekarang malah ia akan semakin terlihat berbohong. Demi adiknya ia akan melakukan apapun, begitulah yang Ryou pikirkan sekarang.
Alyosha menatap sinis pria yang ada di sampingnya tersebut. Rasa laparnya menjadi sirna seketika, padahal ia baru memakan dua potong dari lobster itu. Tanpa berkata-kata ia langsung pergi dari sana meninggalkan Ryou.
Tapi Ryou sudah menepis rasa malu dan takutnya, ia mengikuti wanita mafia itu sampai masuk ke restoran lain. Alyosha yang mengetahui itu langsung menoleh dan melayangkan tatapan tajamnya.
"Mau apa kau hah?! untuk apa kau mengikuti aku?"
"Tentu saja saya mengikuti kamu karena ingin lebih dekat dengan dirimu. Saya tidak bisa menghilangkan bayang-bayang anda dari pikiran saya sejak hari itu. Bisa berbicara langsung dan berduaan dengan anda adalah hal terindah dalam hidup saya," ucap Ryou.
Pipi dan mata sebelah kiri Alyosha berkedut kesal. Semakin ia mendengar diksi melankolis itu membuat dia semakin muak. Setelah itu Alyosha berpikir kalau dirinya semakin menjauhi dan memaki orang itu pasti tidak akan ada habisnya, jadi ia lebih memilih mendiamkannya saja sampai Ryou merasa bosan.