Rumah yang disebutkan oleh Amma adalah bangunan unik yang baru kali ini dilihat oleh Gayatri. Bangunan itu berbentuk persegi dengan atap melengkung dari dedaunan yang dianyam rapi, mungkin sejenis daun rumbia purba. Atap itu bisa memayungi dan melindungi rumah dari panas dan hujan. Sementara dindingnya terbuat dari batu-batu berukuran sama yang disusun rapi. Sejuk, itulah kesan yang dirasakan Gayatri alias Ashfara saat memasuki rumah.
Di dalam bangunan rumah, hanya ada satu ruangan luas, tanpa sekat. Di satu sisinya terdapat batu datar yang lebar dan luas, lalu permukaannya ditutup dengan rumput-rumput kering yang cukup tebal. Bagian atasnya ditutup lagi dengan 'kain seprai. Kain itu berwarna coklat, tidak keras namun tidak juga terasa lembut saat diraba. Hanya saja ia terasa cukup hangat dan nyaman. Sepertinya terbuat dari kulit pohon yang diolah. Di sanalah kini 'Ashfara' dibaringkan oleh Amma.
"Ra berbaring disini ya! Jangan kemana-mana lagi. Amma mau memanggil kakak-kakakmu." Ucap Amma sambil mengelus rambut Ashfara. Anak itu mengangguk.
Setumpuk pertanyaan masih menggantung di kepala 'Ashfara'. Apakah aku sedang bermimpi? Ashfara mencoba menggigit jarinya sendiri.
"Aww! Sakit." Semua ini terasa nyata. Ashafara memejamkan mata dan mencoba mengingat-ingat sesuatu.
Ia teringat, terakhir kali sebelum terbangun dan bertemu dengan Amma, dia merasa dunianya berputar dan seperti tersedot kekuatan besar dari sebuah benda. Bola kristal! Iya, sekarang Ashafara ingat, ia adalah Gayatri yang sedang berlibur di rumah Nini dan turun ke lembah, lalu menemukan benda aneh. Sebuah bola kristal yang bercahaya.
Gayatri mencoba menganalisa kejadian yang menimpanya. Bermacam pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Apakah kini aku berada di dunia lain dan jiwaku bertukar peran dengan anak kecil bernama Ashfara? Apakah nanti aku bisa kembali lagi? Kalau aku tidak bisa kembali lagi, apakah artinya akan selamanya di sini? Bagaimana dengan keluargaku …
Gayatri mengacak-acak rambutnya sendiri. Kemudian memejamkan matanya rapat-rapat. Berharap kabut gelap di otaknya bisa mulai hilang.
Entah berapa lama 'Ashafara' memejamkan mata. Tiba-tiba perutnya berbunyi, berkerucuk-kerucuk. Reflek Ashfara memeganginya.
"Duh, lapar … rupanya anak ini belum makan? Eh, aku kan juga belum sempat sarapan saat pergi dari rumah Nini tadi?" batinnya.
Ashfara mendengar suara Amma dan anak-anak di depan rumah. Siapa mereka? Dengan rasa penasaran, Ashfara berjalan keluar rumah. Kepalanya masih agak berat namun jalannya tidak lagi sempoyongan.
Melihat Ashfara keluar rumah, Amma melambaikan tangan menyuruhnya mendekat. Tiga anak lelaki tampak sedang duduk berkumpul mengelilinginya. Ukuran tubuh mereka lebih besar dari Ashfara. Kulit coklat dan rambut ikalnya sama persis dengan Amma. Mata-mata mereka bulat dan bening, tampak ramah dan bersahabat saat menatap Ashfara. Apakah mereka juga anak-anak Amma?
"Ra, duduk sini dekat Amma," Perintah Amma menyuruh Ashfara duduk disampingnya. 'Ashfara' mulai merasa dekat dengan Amma. Sama sekali ia bukan perempuan liar, kepribadiannya hangat dan terlihat sangat menyayangi anak-anaknya.
Ashfara duduk menyandar di tubuh Amma. Tangan Amma merengkuh dan memeluknya. Nyaman dan damai serasa meresap dalam tiap pori-pori Ashafara. Pelukan penuh cinta dari seorang ibu.
Amma membuka bungkusan daun yang ada disampingnya. Tampak aneka buah warna-warni yang sudah matang dan aromanya tercium harum dari jauh. Sepertinya manis dan enak sekali.
Ketiga anak laki-laki di sekeliling Amma tiba-tiba terdiam dan seperti bersiap-siap. Apa yang akan mereka lakukan? Bukankah kita akan makan buah? Tanya hati Ashfara.
"Kalian sudah siap?" tanya Amma sambil tersenyum.
"Siaaap, Amma …!!" ketiga anak itu menyahut berbarengan.
"Baiklah, sayang. Ini …" ucap Amma sambil mengambil buah-buahan itu dan mengulurkannya pada mereka. Bukannya menerima, anak-anak itu malah seperti kecewa. Mukanya cemberut.
"Bukan begitu, Amma … " ucap anak yang paling kecil diantara mereka dengan muka cemberut. Ashfara hendak tertawa melihat mukanya yang lucu.
"Lalu mau bagaimana, Kay?" tanya Amma. Oh, namanya Kay. Batin, Ashfara.
Belum sempat Kay menjawab pertanyaan Amma, dari langit diatas mereka tiba-tiba terdengar suara nyaring. Angin kencang berputar-putar di sekitar tempat mereka. Sesosok makhluk besar berwarna gelap terlihat meluncur turun dengan teriakan anehnya.
"KKKKRRRRR … ZZZIISSHH ZZZEEEIIISSSSHHH !!
Ashfara kaget bukan main. Matanya terbelalak melihat pemandangan yang tak biasa di depannya.
Tubuh makhluk itu sangat besar, ekornya panjang berliuk-liuk menghindari batang pepohonan yang dilewatinya. Kepalanya memiliki tanduk yang bercabang, hidungnya besar seperti hidung kuda, bedanya dia memiliki sungut yang jika dilihat seperti kumis panjang. Mulutnya lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang runcing. Seluruh permukaan tubuhnya bersisik mengkilap, berwarna hitam bersemu kuning, sementara bagian siripnya semuanya berwarna keemasan.
Makhluk itu seperti gambar-gambar naga yang pernah dilihat Ashfara. Iya, benar. Itu adalah seekor naga raksasa!
Ashfara semakin kaget saat melihat sesosok lelaki tinggi besar melompat turun dari punggung makhluk itu. Gelombang angin dari kepakan sayap naga menyibakkan rambut yang semula menutup sebagian wajahnya. Dilihatnya seorang lelaki dewasa yang berkumis dan bercambang. Bahunya lebar dan kekar, terlihat sangat kuat dan gagah.
Setelah turun dari naga yang dikendarainya, lelaki itu mengelus kepala makhluk itu dan menyuruhnya pergi. Naga raksasa itu terlihat menggosok-gosokkan kepalanya di tangan tuannya itu sebelum akhirnya terbang dan melesat ke langit.
Amma dan anak-anak lelakinya tampak biasa saja menyaksikan pemandangan itu. Hanya Ashfara yang terus membelalakkan mata. Takjub.
"Amma … anak-anak …" sapa lelaki itu pada semua orang yang sedang berkumpul.
"Baba … sudah pulang?" ucap Amma menyambutnya.
"Iya, Amma. Tadi pergi ke bukit naga di sebelah timur timur," terangnya.
"Amma … ada air? Haus …" kata lelaki itu sambil mengusap tenggorokannya, meminta minum.
Tak beranjak dari tempat duduknya, tangan Amma bergerak menunjuk tempat minum. Benda yang seperti tabung itu melayang mengarah ke Baba. Tak ada setetes air pun yang jatuh. Dengan satu gerakan, Baba menangkap tempat minum itu setelah dekat, kemudian menenggaknya hingga habis.
Ketiga anak lelaki di depan Amma bertepuk tangan dan terlihat antusias melihat pertunjukan itu.
"Amma … mau dikasih buah melayang," ucap Kay membujuk Amma.
"Iya, Amma … kami mau yang seperti Baba," tambah anak yang paling besar.
Amma tampak berpikir sejenak kemudian mengangguk dan tersenyum.
"Baiklah, tapi janji nanti juga mau belajar pada Amma dan Baba ya?" katanya.
"Iya, Amma … mau, mau. Kami mau belajar!" sahut anak-anak lelaki itu berbarengan.
Amma mengangkat tangannya, siap mengangkat buah-buahan dan menerbangkannya.
"Siapa dulu? Kay?" tanyanya pada Kay. Anak lelaki berwajah lucu itu mengangguk senang. Tangannya diacungkan, siap menangkap buah berwarna merah yang melayang kearahnya.
Setelah Kay menerima buah, pandangan Amma beralih pada dua anak lelaki yang lain.
"Kal, Kaf … siapa mau dulu?" tanyanya.
"Kaf dulu, Amma. Kal terakhir nggak apa-apa," Kata anak yang paling besar.
"Baiklah, tangkap ya Kaf!" perintah Amma pada Kaf. Kaf mengangguk kemudian menangkap buah yang melayang kearahnya.
"Ini untuk Kal, anak sulung Amma yang paling baik," ucap Amma sambil mengarahkan buah pada Kal. Kal menangkapnya dan tersenyum. "Terima kasih, Amma." Ucapnya.
Merasa dilupakan, Ashfara menyenggol Amma dan menunjuk pada buah-buahan yang masih tersisa.
Amma mengerti kemudian menunjuk dan menerbangkan buah itu pada Ashfara. Hampir saja buah itu tak dapat ditangkap. Baru kali ini Ashfara menangkap buah yang melayang padanya!
Ashfara menggigit buah berwarna merah itu. Sangat manis dan segar rasanya. Entah buah apa ini namanya, mungkin sejenis apel, tapi lebih lembut dan banyak airnya. Ashfara tak peduli, rasa lapar di perutnya harus segera diobati. Ashfara makan dengan cepat, terlihat sangat kelaparan.
Baba yang sudah membasuh muka dan mencuci tangan dari sumber air kecil di samping rumah, berjalan menghampiri istri dan anak-anaknya.
Ashfara kini dapat melihat wajahnya dengan jelas. Benar-benar lelaki yang tampan. Ashfara pun terpesona! Hampir saja dia lupa kalau kini ia hanyalah seorang anak kecil, anak perempuan pasangan suami istri dari Lemuria ini.
Amma, Baba, Kal, Kaff dan Kay. Senang bisa mengenal kalian. Kata hati Ashfara, sambil terus mengunyah buah dan memperhatikan orang-orang di sekelilingnya
Baba melepaskan pelukan setelah Amma mengajaknya makan dan bergabung dengan anak-anak. Tanpa banyak melakukan atraksi menerbangkan buah lagi, Amma mengambilkan buah-buahan yang sudah matang dan mengulurkannya pada Baba.
Baba menerimanya dan mengembalikan satu pada Amma.
"Amma makan juga," ucapnya. Amma tersenyum dan menerima buah itu, kemudian ikut makan bersama yang lain.
Ashfara tersenyum kecil menyaksikan tingkah Amma dan Baba. Siapa bilang manusia purba tidak romantis? Drama Korea yang biasa ditontonnya kalah romantis dibanding sikap orang tua Lemurianya ini.
Sambil makan, Baba bercerita tentang kegiatannya hari ini. Dia bilang sudah bisa mendekati keluarga naga biru di bukit timur. Kapan-kapan dia akan kesana lagi untuk membujuk mereka agar mau memberikan tumpangan pada manusia yang membutuhkan.
Amma terlihat serius menyimak. Ashfara yang bersandar padanya ikut mendengarkan walaupun tak sepenuhnya paham.
Tiba-tiba perhatian Baba terpusat pada Ashfara.
"Amma, ingat tidak? Dua malam lagi usia Ra genap 3 tahun. Waktunya kita membawanya ke kuil dan melihat tanda apa yang ada di dahinya," ujarnya.
Amma tak langsung menanggapi perkataan Baba. Disibaknya rambut yang menutup kening anak perempuannya itu.
"Ra mau ikut Baba dan Amma ke kuil? Nanti kita akan lihat tanda lahir apa yang ada di keningmu ini," ucapnya pada Ashfara.
Ashfara tak mengerti maksud perkataan orang tuanya. Diusap-usapnya dahinya dengan tangan mungilnya.
"Apa ada yang salah dengan dahi Ra?" tanyanya bingung.
"Tidak ada yang salah, sayang. Setiap anak Lemuria terlahir istimewa. Masing-masing anak memiliki tanda khusus di keningnya. Kamu juga punya, tapi hanya bisa dilihat di kuil setelah usiamu genap 3 tahun," Jelas Amma.
Ashfara masih tidak mengerti.
"Tak usah bingung, Ra. Nanti pergi dengan Baba. Kita naik Daggeon," Kata Baba pada Ashfara.
"Daggeon? Apa itu?" tanya Ashfara.
"Daggeon … apa kamu sudah lupa, Ra? Itu nama yang diberikan Baba untuk naga kesayangannya. Hehehe …" Amma tertawa, merasa geli pada putrinya yang sekarang tiba-tiba seperti lupa pada hal-hal kecil.
"Na ga … maksudnya yang tadi terbang kesini, Amma?!" tanya Ashfara terkejut.
"Iya, itu si Daggeon,"
Jantung Ashfara berdegup kencang. Apalagi ini? Belum hilang rasa bingung pada dirinya sendiri, besok dia akan diajak manusia-manusi purba ini terbang menaiki naga!
Oh Tuhan!
***