Benar saja, dua malam kemudian Ashfara dibawa oleh Amma dan Baba ke kuil yang ada di puncak gunung Lysh. Gunung tertinggi yang dikenal oleh manusia kala itu. Tak sembarang orang bisa mendatanginya karena puncaknya selalu tertutup awan. Hanya mereka yang memiliki naga yang sanggup mencapainya.
Tepat saat matahari terbenam, Amma sudah mendadani Ashfara dengan hiasan yang berbeda dari biasanya. Anak perempuan berumur 3 tahun itu mengenakan rok yang terbuat dari akar dan kulit pohon yang dijalin dengan rapi. Sementara rambutnya yang keriting dan mulai panjang dihiasi dengan bando dari bunga-bunga kecil yang indah. Amma juga yang membuatnya sendiri dengan telaten sore tadi.
"Amma, sudah siap?" teriak Baba dari depan rumah batu.
"Sebentar Baba, Ra harus pakai ramuan minyak dulu," jawab Amma.
Ashfara menurut saja pada semua yang dilakukan Amma padanya, mau kabur pun sia-sia. Tempat ini begitu asing baginya.
Amma membalurkan ramuan beraroma di sekujur tubuh Ashfara. Baunya tercium menyengat, seperti minyak telon atau minyak kayu putih. Setelah meresap kedalam kulit, kini Ashfara merasakan tubuhnya jadi hangat dan segar. Ajaib sekali ramuan buatan Amma.
"Apa ini Amma?" tanyanya.
"Ramuan dari kayu putih, sayang. Kamu harus pakai ini biar nanti saat terkena angin tidak pusing," jawab Amma.
Mungkin maksud Amma adalah supaya aku tidak masuk angin, batin Ra.
"Amma, apakah Daggeon terbangnya cepat sekali?" tanyanya kemudian. Sejujurnya sampai saat mau berangkat ini, Ashfara masih menyimpan kekhawatiran karena mau naik naga!
"Tentu saja, Ra. Daggeon adalah naga emas di sini, dia adalah kepala para naga. Terbangnya cepat sekali seperti kilat," Amma menjelaskan.
Bukannya senang mendengar penjelasan Amma, Ashfara justru semakin pucat. Dia takut pingsan atau jatuh saat menaiki Daggeon.
"Kenapa kamu malah pucat, Ra?" Bukannya dari dulu kamu ingin sekali naik Daggeon?" tanya Amma sambil menepuk pipi anaknya.
"Ii i ya, Amma… tapi sekarang ... agak takut," jawab Ashfara jujur.
"Tidak apa-apa, sayang. Daggeon naga yang jinak, dia tak akan membahayakanmu. Nanti peluk Amma erat-erat ya!"
Ashfara mengangguk dan memegangi tangan Amma, benar-benar berharap perlindungan darinya.
Merasa sudah siap semuanya, Amma menggandeng Ashfara keluar rumah. "Ayo kita berangkat sekarang!"
Di luar rumah, Baba berdiri menunggu. Sebuah tas sederhana tampak diselempangkan di bahunya.
"Berangkat sekarang, Amma?" tanyanya. Amma mengangguk.
"Kal, jaga adik-adikmu ya!" seru Amma pada Kal dan adik-adik lelakinya yang terlihat berjalan membuntuti mereka.
"Siap, Amma. Hati-hati ya!" jawab Kal. Anak sulung keluarga itu memang memiliki kepribadian yang tenang dan bisa diandalkan.
Baba terlihat menengadahkan kepalanya ke langit lalu bersiul dengan kerasnya.
"Suuuuiiiiittt … !" siulan yang terdengar panjang dan melengking.
Tak berapa lama angin topan serasa mendatangi mereka. Sesosok makhluk bersayap itu muncul lagi dengan suara khasnya.
"KKKKRRRR.... ZZZEIIISSSSHHH ...."
Cahaya bulan yang tengah purnama raya membuat siripnya yang berwarna emas tampak berkilauan.
Setelah Daggeon menjejakkan kakinya diatas tanah, Baba melompat keatas punggungnya. Amma ikut melompat dan duduk di belakang Baba sambil menggendong Ashfara.
"Pegang Amma yang kencang, Ra!" ucapnya.
Ashfara duduk di pangkuan Amma dan memeluk pinggang ibunya itu dengan kuat. Matanya terpejam.
"Kenapa kamu tutup matamu, sayang? Banyak pemandangan indah dari atas nanti," ujar Amma dengan geli saat melihat putrinya menutup kedua matanya dengan rapat.
"Takut, Amma …" jawabnya dengan suara lirih. Kepalanya makin dibenamkam dan bersembunyi di dada Amma.
"Nanti kita bisa melihat bintang-bintag dari dekat, Ra…" bujuk Amma lagi. Ashfara tetap menggelengkan kepala.
"Biarkan saja, dia masih takut, Amma. Ini pengalamannya terbang yang pertama kali. Nanti kalau sudah terbiasa juga akan merengek minta ikut terbang," Ucap Baba.
"Iya, Baba. Ayo berangkat. Jangan terlalu malam, para tetua mungkin sudah menunggu,"
Baba segera memerintahkan Daggeon untuk terbang. Dalam satu kali hentakan, naga itu segera melesat ke langit.
Setelah berada di atas awan, Daggeon terbang meliuk-liuk dengan tenang dan stabil. Ternyata menyenangkan dan tidak semenakutkan bayangan Ashfara sebelumnya. Anak kecil itupun membuka mata dan mulai mengintip pemandangan di kanan dan kirinya.
"Woaa… waahh …!!" Ashfara terkagum-kagum. Bintang-bintang di langit tampak sangat dekat berada diatas kepalanya, bersinar dan berkelap-kelip begitu indah. Dari atas Daggeon dia dapat melihat dengan jelas warna bintang. Ada yang berwarna putih, merah, coklat, kelabu juga biru dan hijau. Cantik sekali.
Amma yang menyadari Ashfara sedang terpesona pada bintang-bintang mencubit pipi anak itu dengan gemas.
"Siapa tadi yang takut naik Daggeon? Sekarang matanya melotot melihat bintang-bintang," ujar Amma.
"Hihihi … Indah sekali, Amma?" Balas Ashfara sambil bersandar dengan manja di punggung Baba, dia sudah bisa bersikap lebih santai.
"Iya, Ra. Alam semesta ini memang diciptakan dengan sempurna dan indah. Kewajiban kita menjaga dan merawatnya," ucap Amma.
Ashfara mengangguk, meski lagi-lagi tak terlalu mengerti maksud dari perkataan Amma.
Selang beberapa lama terbang, di depan mereka tampak gunung yang menjulang tinggi. Tampaknya itu gunung yang dituju. Gunung Lysh. Dari bawah tentu saja puncak gunung ini tak bisa dilihat, karena puncaknya berada diatas awan dan diliputi oleh es abadi.
"Kita sudah hampir sampai, bersiap turun," Ujar Baba sambil memberi perintah pada Daggeon. "Berhenti di sisi sebelah barat kuil, Naga Emas …"
Daggeon, si Naga Emas, bukanlah naga biasa. Meskipun tak bisa berkomunikasi seperti manusia, dia mengerti perintah dan perkataan yang diucapkan Baba. Lagi-lagi Ashfara terkagum-kagum dengan dunia tempatnya berada sekarang.
Tidak menukik tajam seperti saat hendak turun di hutan sekitar rumah, kali ini Daggeon mendarat dengan tingkat kemiringan yang tepat, layaknya pesawat yang landing di bandara. Benar-benar naga yang terlatih.
Para penumpang Daggeon segera melompat turun dan masuk ke dalam kuil.
Yang dimaksud kuil adalah bangunan berundak sederhana. Terdapat pilar-pilar berwarna putih membentuk lingkaran dengan kubah yang juga berwarna putih diatasnya. Tepat di tengah kubah itu terdapat lubang berbentuk lingkaran. Lubang kubah itu seolah menjadi pintu gerbang ke langit yang tinggi.
Empat orang tetua terlihat sudah berada di dalam kuil dan menunggu. Raut wajah mereka tampak lega saat melihat Baba bergandengan tangan dengan Amma menaiki tangga kuil.
"Kannawa, R'wheynna … akhirnya kalian datang juga. Kami kira kalian lupa kalau malam ini purnama raya," Ucap seorang tetua yang mengenakan ikat kepala dari bulu burung.
"Tidak lupa, Babaji … cuma agak terlambat karena harus mengurus anak-anak yang lain dulu," jawab Amma.
Baru disini Ashfara tahu, nama orang tuanya adalah Kannawa dan R'wheyna. Nama yang sangat unik.
"Iya, kami mengerti. Dalam kelompok kita, anakmu yang paling banyak dan cepat berkembang, hehehee…" Babaji terkekeh. Para tetua yang lain juga ikut tertawa.
Amma tersenyum, sedikit malu, lalu menurunkan Ashfara dari gendongannya.
"Ini Ashfara, anak perempuan pertama kami," Baba memperkenalkan Ashfara pada para tetua.
"Malam ini usianya genap tiga tahun. Kami mohon ijin pada langit untuk melihat tanda di keningnya, supaya kami bisa merawat dan menjaganya sesuai dengan arahan dari para tetua," Ucap Baba dengan sikap menjura hormat.
Para tetua balas membungkuk dan serempak menjawab, "Semesta memberkati kita semua…"
"Silahkan duduk di posisi masing-masing. Sebenar lagi bulan tepat di tengah pintu langit. Kita akan melihat siapa kesejatian Ashfara ini," Ucap Babaji.
Para tetua segera membentuk lingkaran dalam formasi segi enam. Amma mendudukkan anaknya di tengah-tengah mereka. Sebelum kembali ke tempatnya, Amma berbisik lembut di telinga Ashfara.
"Ra tenang dan diam duduk disini," Tangan Amma mengusap dahi dan kepala Ra. Seketika tubuh Ashfara seperti kaku dan tak bisa bergerak sedikitpun. Hanya matanya yang bergerak-gerak menyaksikan apa yang dilakukan orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Orang-orang itu kemudian duduk bersila dengan tenang dan mengangkat kedua tangannya. Dari telapak tangan mereka muncullah asap-asap yang tipis berwarna putih. Asap-asap energi itu semuanya berkumpul di tubuh Ashfara.
Ashfara yang tak bisa bergerak hanya bisa merasakan asap-asap itu menyelubungi seluruh tubuhnya dan membuatnya kedinginan.
Dari kejauhan, terlihat kumpulan energi yang berkumpul di tubuh Ashfara membumbung keatas menembus portal langit di tengah kubah. Terus bergerak keatas dengan kecepatan cahaya hingga sampai ke permukaan bulan.
Tiba-tiba dahi Ashfara terlihat bercahaya, awalnya redup lama kelamaan begitu terang. Lalu terlihat dengan jelas satu tanda kecil seperti bulan sabit di tengah dahinya.
"Tanda bulan!" bisik Amma pada Baba.
Baba dengan seksama ikut mengamati tanda itu. "Betul, tanda bulan. Anak ini terhubung dengan rembulan, sama denganmu, Amma," Kata Baba sambil tersenyum.
"Setelah sekian lamanya kelompok kita turun ke bumi, dan semenjak kelahiranmu, akhirnya kita mendapatkan anak rembulan," Ujar Babaji dengan senyum gembira.
"Apakah artinya itu, Babaji?" Amma bertanya dengan penasaran.
***