Pagi baru saja menjelang. Semburat warna merah tampak menghiasi langit timur. Matahari belum lagi terbit, tapi Amma sudah bersiap melakukan rutinitasnya.
Iya, setiap pagi Amma akan bermeditasi sekitar 1 jam. Amma akan duduk bersila dengan tenang dan menghadap kearah matahari. Matanya terpejam. Sementara tangannya terbuka dan diangkat sejajar dengan tinggi dada.
Terkadang Baba akan menemaninya bermeditasi, namun lebih sering ia pergi ke sungai dan mengambil air untuk minum mereka. Air yang ada di Lemuria terasa berbeda di mulut Ashfara, sangat dingin dengan sedikit rasa manis. Sungguh menyegarkan dan anehnya dapat membuat perut kenyang.
Orang-orang Lemuria tidak makan sesering manusia modern, mereka akan makan ketika sudah merasa lapar. Ashfara yang terbiasa makan tiga kali sehari awalnya sulit menyesuaikan diri, namun setelah beberapa kali minum air murni dan buah-buahan Lemuria, kini rasa lapar tak lagi sering dirasakannya. Semuanya terasa jadi enteng dan nyaman.
Saat Amma sedang diam bermeditasi, Kay dan Kaf mendekati. Mereka ikut duduk dan mengikuti apa yang dilakukan Amma. Namun, namanya anak-anak, mereka tak bisa diam terlalu lama. Mulailah saling cubit dan menggoda satu sama lain. Lama-lama terjadi pertengkaran dan menimbulkan suara yang berisik.
"Kaf, Kay … jangan berisik dulu. Kalau mau main jangan mengganggu Amma." Ucap Baba yang baru pulang sambil membawa air dalam batang-batang tanaman mirip bambu.
"Eh iya, Ba. Kay yang lebih dulu memukul Kaf …" Anak nomer dua itu mengadu pada bapaknya.
"Kaf membalas dengan pukulan yang lebih keras, sakit sekali tangan Kay," Anak nomer itu merasa teraniaya dan ikut mengadu.
"Sudah-sudah, kesini saja kalian. Bantu Baba memindahkan air ini ke tempat penyimpanan air," Perintah Baba.
Serempak mereka berdua mendatangi Baba dan ikut mengalirkan air ke dalam wadah dari batu yang bentuknya mirip seperti tempayan. Sekarang Ashfara mengerti, rasa dingin air yang diminumya didapat dari tempat penyimpanannya yang terbuat dari batu itu.
"Ra, Kal dimana?" tanya Baba pada Ra. Dilihatnya anak sulungnya itu tak ada di sekitar mereka.
"Tadi Kal bilang mau pergi ke hutan. Kemarin katanya melihat buah yang sudah mau matang," Jawab Ashfara yang berdiri tak jauh dari Amma.
"Oh ke hutan. Tidak apa-apa, Kal sudah besar dia tidak akan tersesat dan bisa pulang sendiri," ujar Babaji.
Ashfara mengangguk dan kembali asyik mengumpukan bebatuan. Batu-batu di Lemuria ini sangat cantik, mereka memiliki warna-warna yang terang dan berkilauan. Di zaman moden, apakah ini yang dinamakan permata? Jika iya, maka sebongkah batu saja bisa membuatku kaya raya dan tak perlu bekerja keras lagi, batin Ashfara.
"Apa yang kamu lakukan, Ra?" tanya Amma yang sudah selesai dengan meditasi paginya.
"Mengumpulkan batu-batu ini, Ma," Jawab Ashfara jujur.
"Itu namanya batu hias, sayang. Kamu bisa merangkainya dan jadi hiasan yang cantik untuk dipakai di tubuhmu," jelas Amma.
Benar kan? Ini adalah batu-batuan permata. Orang Lemuria belum tahu betapa berharganya batu-batu ini di masa depan.
Bagaimana cara membuatnya, Amma?" tanya Ashfara berminat.
"Nanti Amma ajarkan membuat hiasan dari batu untukmu," kata Amma. Ashfara mengangguk dengan cepat saat mendengarnya.
"Terima kasih, Amma," Ucap Ashfara dengan senyum senang.
Saat mereka sedang asyik bercakap-cakap, dari rerimbunan pohon muncul Kal yang membawa buah-buahan memakai tas sederhana. Tas itu diselempangkan dengan tali kulit pohon.
"Lewat sini. Amma ada di rumah," kata Kal pada seorang wanita muda. Wanita itu tampak kerepotan menggendong seorang anak yang sudah sebesar Kay.
"Ooh R'wheyna putri rembulan, tolonglah anak saya," Ucap wanita itu sambil menyembah kaki Amma.
Amma buru-buru mengangkat perempuan itu. Ia sama sekali tak suka disembah meskipun orang-orang di kelompoknya sering melakukannya.
"Kenapa anakmu?" tanya Amma sambil memeriksa anak lelaki yang terlihat pucat di dalam gendongan ibunya.
"Kemarin dia bermain di tebing dan terjauh, sekarang dia tak bisa berjalan. Apakah dia akan mati, R'wheyna? Huu hu huuu…" Perempuan itu menangis. Air matanya bercucuran.
"Letakkan dia di atas batu itu, biar aku memeriksanya!" Perintah Amma.
Wanita itu membaringkan anaknya diatas sebongkah batu datar tak jauh dari tempat meditasi Amma. Baba yang tanggap situasi cepat datang dan membantunya.
"Kenapa dia?" tanya Baba.
"Jatuh dan tak bisa berjalan lagi, Kannawa," jawab wanita itu.
Dengan cekatan Amma memeriksa sekujur tubuh anak malang itu.
"Kepalanya baik-baik saja, hanya kakinya yang terluka. Tidak ada tulang yang patah, hanya memar sedikit. Beberapa ototnya bergeser, harus diluruskan," Jelas Amma dengan tenang. Ashfara takjub melihat Amma yang berubah jadi seorang penyembuh yang pintar.
"Apa perlu diambilkan ramuan obat?" tanya Baba.
"Ya, tolong ambilkan. Saya akan sembuhkan kakinya," jawab Amma.
Baba segera masuk ke dalam rumah dan membawa perlengkapan pengobatan Amma. Ada bermacam ramuan dan batu-batu beraneka rupa.
Amma menggosok kaki anak yang sakit itu dengan ramuan obat, kemudian memijatnya perlahan menggunaan batu berwarna hijau. Batu itu seperti bersinar saat dipegang oleh Amma.
Lagi-lagi pemandangan yang baru pertama kali dilihat Ashfara itu membuatnya bengong. Matanya tak berkedip melihat Amma yang terampil mengobati orang sakit.
"Eeehhh … aaahhh … " Anak itu mengaduh. Ibunya berusaha menenangkannya dengan mengusap-usap kepalanya.
"Sebentar lagi sembuh, tahan sebentar ya!" perintah Amma. Tanpa keraguan sedikitpun, Amma dengan keras menarik ujung jari-jari kaki anak itu. Terdengar keras suara tulang yang ditarik.
"SAKITTT!!" Anak itu berteriak kesakitan. Namun tak lama kemudian kakinya dapat bergerak lagi. Ia pun bangun dan menggerak-gerakkan kakinya. Sakit itu tak lagi dirasakannya.
Anak itu kemudian mencoba berjalan. Benar saja, ia dapat berjalan lagi dengan normal dan tidak kesakitan.
"Sembuh, aku sudah sembuh!" ucapnya senang. Ibunya yang melihat tersenyum lebar dan memeluknya erat.
"Ayo, Nak. Ucapkan terima kasih pada R'wheyna …" ajaknya. Mereka berdua kembali bersujud di depan Amma.
Lagi-lagi Amma buru-buru mengangkat mereka.
"Berdirilah, tak perlu begitu. Aku tak suka disembah. Aku hanya menjalankan tugasku menolong kalian," Ucap Amma dengan nada setengah protes.
"Kami hanya ingin berterima kasih atas mukjizat yang kau berikan pada kami," Balas ibu itu.
"Tidak tidak, bukan begitu caranya… bisa menolong kalian saja aku sudah senang," Ujar Amma.
Amma kemudian melambai pada Kal, memberikan isyarat agar membawakan air minum dan makanan untuk tamu-tamunya itu.
"Makan dan minumlah, kalian pasti lelah sudah berjalan jauh kemari," Kata Amma.
"Iya, R'wheyna. Aku pergi dari kelompokku sejak semalam, tak banyak orang yang aku temui di jalan jadi aku tidak bisa bertanya di mana tempat tinggalmu. Untuk saja tadi bertemu dengan anak lelaki baik itu, dia yang menunjukkan rumah ini," jelas perempuan itu
"Oh, itu Kal, anak sulung saya." Amma tersenyum pada Kal. "Terima kasih, Kal".
Kal tersipu malu dan hanya mengangkat tangan kanannya.
Setelah beristirahat cukup dan merasa kuat untuk pulang ke kelompoknya, ibu dan anak itu berpamitan.
Baba mengantar mereka sampai hilang di belokan jalan yang menuju ke arah hutan.
"Amma, jadi Amma juga bisa menyembuhkan orang yang sakit?" tanya Ashfara pada Amma yang sedang memberekan perlengkapan pengobatannya.
"Iya, Ra. Kita sama-sama diberikan kekuatan alam untuk bisa mengobati orang sakit," Jelas Amma. "Apakah Ra masih bingung? Nanti Amma akan ajarkan ilmu pengobatan setelah Ra berumur 16 tahun, sesuai dengan petunjuk dari Babaji,"
Ashfara mengangguk. "Apakah itu ada hubungannya dengan lambang bulan di dahi kita?" tanyanya.
"Tentu saja, lambang itu menandakan kita membawa kekuatan bulan sejak lahir. Termasuk kekuatan untuk mengobati orang," Jelas Amma lagi.
"Ya, Amma. Karena itu kita disebut anak-anak bulan oleh Babaji?" tanya Ashfara menyimpulkan.
"Iya, kita adalah anak-anak rembulan," Jawab Amma dengan senyuman manisnya. "Semakin hari kamu semakin pintar saja, Ra. Kadang Amma berpikir kamu berasal dari masa depan…"
Ucapan Amma seketika membuat Ashfara terkejut. Apakah Amma sudah tahu identitas aslinya?!
***