"Kamu yakin mau pergi sendiri? Tidak mengajak adikmu buat menemani?" tanya ibu Gayatri saat anak perempuannya itu berpamitan.
"Sendiri saja, Ma. Walaupun mereka belum masuk sekolah dan kampus, tapi toh setiap hari mesti mengerjakan tugas online." Jawab Gayatri sambil menggendong tas ranselnya.
"Kita sudah lama sekali tidak ke rumah nenek buyutmu. Apa kamu masih ingat jalannya?" tanyanya lagi.
"Masih, Ma. Sudah Gaya lihat di Google Maps. Memang daerahnya terpencil, tapi masih bisa dijangkau lah dengan kendaraan." Jawab Gayatri yakin.
"Ya sudah, kalau begitu hati-hati saja di jalan ya, Nak. Kabari Mama kalau kamu sudah sampai disana. Salam buat Nini …"
"Ya, Ma. Pasti saya kabari dan sampaikan salamnya. Gaya pamit dulu, Ma…" Gayatri mencium tangan ibunya. Ia buru-buru membuka pintu pagar rumah dan mendatangi tukang ojek online yang sudah menunggu.
"Langsung berangkat, Neng?" tanyanya.
"Iya, Pak. Langsung ke terminal bus." Jawab Gayatri sambil mengenakan helm. Tangannya melambai pada ibunya saat motor itu pergi meninggalkan rumahnya.
Setibanya di terminal, Gayatri segera mencari bus tujuan Jakarta – Cianjur. Suasana terminal tidak seramai hari biasanya, terkesan sepi, hanya orang-orang yang memiliki keperluan penting saja yang bepergian.
Di masa pandemic seperti sekarang ini, orang lebih memilih berdiam diri di rumah dan tidak pergi kemana-mana agar tidak tertular virus.
Kernet bus tersenyum lebar menemukan Gayatri yang mengatakan ingin pergi ke Cianjur.
"Mangga, Neng ... Mangga naik bis saja! Masih kosong, bebas pilih tempat duduk."
"Terima kasih, Mang." Jawab Gayatri pendek. Ia segera naik dan mencari tempat duduk di tengah, kemudian memilih kursi di pinggir jendela kaca. Gayatri ingin melihat pemandangan selama perjalanannya nanti.
Hampir satu jam Gayatri menunggu sampai bis itu berjalan. Hanya ada beberapa penumpang di dalamnya. Dalam hati Gayatri merasa kasihan juga dengan para pengusaha angkutan umum. Efek ekonomi akibat pandemi bukanlah isapan jempol semata. Orang-orang dibawah memang harus berjuang keras untuk bisa bertahan hidup.
"Ini, Mang." Gayatri mengulurkan beberapa lembar uang seratusan ribu saat kernet bus menarik ongkos.
"Waduh, ini mah kebanyakan, Neng," Kernet itu ingin mengembalikannya lagi, namun Gayatri buru-buru menolaknya.
"Untuk tambahan beli bensin, Mang."
"Nuhun … Terima kasih, Neng. Semoga si Eneng rejekinya selalu lancar ... barokah," Ucapnya lagi dengan wajah yang tulus.
"Amiin. Terima kasih, Mang."
"Memangnya teh … Si Eneng mau kamana?" tanya kernet bus itu lagi, masih dengan logat sunda yang cukup kental.
"Ke rumah nenek, di kampung." Jawab Gayatri singkat.
"Oh ya ya … ada acara apa disana, Neng?"
"Pengin liburan saja, Mang. Sudah lama sekali tidak menghirup udara pedesaan,"
"Betul betul … orang-orang kota mah dikurung terus, karantina, lockdown, apalah … nggak ngerti saya mah. Bikin pada takut saja ya, Neng?"
"Iya, Mang. Biar virusnya tidak semakin menyebar. Saya saja tidak berani pergi kalau belum vaksin. Karena sudah vaksin dan dinyatakan sehat, baru berani pergi," Terang Gayatri.
Kernet bus mengangguk-angguk dan meneruskan menarik ongkos pada penumpang lain.
Gayatri memasang earphone di telinganya, kemudian memutar lagu favoritnya. Satu lagu terdengar mengalun merdu di telinga. Gayatri menyandarkan kepalanya dengan santai di punggung kursi, pandangan matanya diarahkan keluar kaca. Dilihatnya pemandangan hijau yang indah sepanjang jalan. Gayatri sesekali memejamkan mata dan menarik nafas panjang. Inilah yang aku cari, memanjakan diri sendiri, bisiknya dalam hati.
***
"Neng … sudah sampai, Neng!" suara kernet bus membangunkan Gayatri yang tak sengaja tertidur di kursi penumpang.
Gayatri tergagap bangun, ia celingukan menengok kanan dan kiri.
"Sudah sampai, Mang?" tanyanya memastikan.
"Iya, Neng. Sudah sampai … itu di depan mobil-mobil angkutan desa. Eneng bisa cari sendiri kan?"
"Bisa, Mang. Bisa … Nuhun nya'," Gayatri segera menggendong tas ransel yang tadinya teronggok di bawah kakinya. Cukup berat, isinya baju perlengkapan pribadinya, untuk dua minggu.
Turun dari bus, Gayatri menuju ke pangkalan kendaraan angkutan pedesaan. Belum sampai ke mereka, para sopir dan kernet lebih dulu mendatangi dan menanyakan tujuannya.
"Badhe kamana, Neng? Mau kemana?" tanya seorang sopir angkot dengan ikat kepala khas.
"Ke Campaka, Pak." Jawab Gayatri.
"Oh itu, angkot yang warna merah. Naik saja yang paling depan, Neng. Biar cepat berangkat," Ujar sopir angkot.
Gayatri melangkah mendekati angkot yang ditunjukkan. Ia segera naik dan mencari tempat duduk yang masih kosong. Beberapa penumpang duduk tenang di dalamnya, rata-rata adalah pedangang pasar yang hendak pulang kampung.
Gayatri melirik ke arloji mungil di tangan kirinya. Jarum jam menunjuk angka 14.15. Sudah lewat tengah hari. Perutnya terasa lapar, tapi Gayatri tak ingin berlama-lama di jalan untuk sekedar mampir makan. Dibuka bagian depan atas tas ransel, lalu diambilnya botol minuman dan sebungkus roti.
"Ini saja cukup, buat ganjal perut," batin Gayatri sambil mengunyah roti.
Gayatri mengangguk pada penumpung di sebelahnya. Seorang wanita paruh baya yang membawa tas anyaman, penuh berisi sayuran dan buah.
"Mau kamana, Neng?" tanya ibu itu ramah.
"Ke rumah Nenek." Jawab Gayatri, sambil cepat-cepat mengunyah makanan di mulut. Dia baru teringat, dia sudah agak lupa jalan menuju rumah nenek buyutnya dan perlu bertanya-tanya dulu pada orang supaya tidak tersesat.
"Di desa mana?" tanya ibu itu lagi.
"Desa Karyamukti. Ibu tau?" tanya Gayatri sambil mengubah posisi duduknya menghadap penumpang di depannya itu.
"Oh ya, tahu sekali, Neng. Itu kan jalur yang ramai. Banyak orang dari jauh pergi kesana, ingin naik ke Gunung Padang," Jawab ibu itu.
Gayatri mengangguk.
"Tapi saya bukan mau ke gunungnya, Ibu. Saya mau ke rumah nenek saya,"
"Iya, Neng. Sudah hafal jalan kesana?"
"Sudah agak lupa, Bu. Boleh nanti saya ditunjukkan tempat berhentinya angkot ya?" pinta Gayatri.
"Iya, Neng. Nanti saya tunjukkan,"
"Terima kasih, Bu," Ucap Gayatri sambil membetulkan maskernya.
Sebagai pendatang, Gayatri merasa wajib untuk mejaga dirinya agar tidak menjadi pembawa virus. Apalagi kali ini dia hendak mengunjungi nenek buyutnya yang sudah sangat tua.
***
"Sampurasuun …" Ucap Gayatri sambil mengetuk pintu rumah Nini, panggilan untuk nenek buyutnya. Rumah tradisional itu cukup luas, namun masih sangat sederhana. Dikelilingi dengan pagar hidup dan beraneka pohon buah-buahan. Pohon mangga dan rambutan di depan rumah tampak sedang berbuah lebat.
"Rampees …" Gayatri mendengar jawaban dari dalam rumah. Suara Nini.
Pintu rumah terbuka, seorang perempuan tua terlihat muncul dari dalam rumah. Matanya memicing dan seperti mengingat-ingat sesuatu, sebelum kemudian heboh menyambut kedatangan cucu buyutnya.
"Gayatriiii …?! si anak Jakarta, buyut Nini …!" serunya sambil menepuk-nepuk tubuh Gayatri.
"Iya, Nini ... Ini Gaya. Maaf tidak mengabari dulu. Saya tidak tahu mesti telpon siapa sebelum kesini," Jawab Gayatri sambil mencium tangan Nini.
"Nini tidak punya HP, Gaya. Uwak Dede yang punya …" ucap Nini.
Tak lama berselang, seorang lelaki paruh baya terlihat mendatangi mereka. Uwak Dede adalah salah satu cucu Nini yang menemaninya tinggal di rumah itu.
"Uwak … apa kabar?" sapa Gayatri sambil menyalami lelaki yang ia panggil Uwak. Dilihat dari penampilannya Uwak Dede mungkin seumuran dengan almarhum ayahnya.
"Baik, Neng Gaya … Cuma sendiri kesininya?" tanya Uwak Dede sambil menyalami Gayatri.
"Iya, sendiri saja, Wak. Ingin menengok Nini, sekaligus liburan," Jawab Gayatri.
"O ya ya … pasti Nini senang sekali. Sudah lama tidak ada cucu dan buyut yang kesini. Rumah jadi terasa sepi," Jelas Uwak Dede.
"Oh begitu … anak-anak Uwak dimana?" tanya Gaya, ia ingat. Terakhir kesana anak-anak Uwak Dede masih memakai seragam sekolah.
"Sudah merantau ke kota semua, mereka sekarang di Bandung, Neng,"
Gayatri mengangguk-angguk. Dari dalam dapur, istri Kang Dede menyusul menyambutnya.
"Eleeuh eleeuh … Neng Gaya, kumaha kabarna'? Bagaimana kabarnya?" tanyanya ramah.
"Baik, Wak. Maaf tidak mengabari dulu, jadi seperti mendadak," Ucap Gaya sambil menyalami Uwak Rosmi, istri Uwak Dede.
"Nggak apa-apa, nanti bisa minta nomer HP-nya Uwak Dede,"
"Iya, nanti saya simpan nomernya,"
Tak lama berbasa-basi, Gayatri minta ijin untuk mandi dan berganti pakaian.
Uwak Rosmi mengantarkannya ke sumur di belakang rumah. Meskipun masih berupa sumur tradisional, tempat mandi itu cukup bersih dan airnya sangat segar.
Gayatri segera mandi dan sekalian mencuci baju yang dipakainya dalam perjalanan.
"Neng Gaya sudah makan belum ya?" terdengar suara Nini bertanya pada Uwak Rosmi.
"Mungkin belum, Ni. Ini saya sedang masak dan siapkan makanan," jawab Uwak Rosmi.
"Iya, buatkan makanan yang enak-enak buat dia … kasihan sudah jauh-jauh datang kesini," ujar Nini.
Mendengar pembicaraan mereka Gayatri tersenyum. Nini memiliki kebiasaan menyambut cucu dan buyutnya yang datang dengan aneka jamuan, sebagai ungkapan rasa gembiranya karena masih diingat oleh keturunannya.
Gayatri tak pernah tahu umur Nini yang sebenarnya, jika ditanya pun Nini hanya menjawab lahir saat ada gempa bumi dan gunung Galunggung meletus, mungkin hampir seabad yang lalu. Jadi Nini sudah tua sekali. Bahkan anak-anaknya pun sudah meninggal dunia semua, tinggal cucu-cucu dan buyutnya.
Menyadari hal itu, Gayatri tiba-tiba jadi ingin tahu apa rahasia umur panjang Nini.
***